Cinta, Capek Deh!
Tasmeera
E. B.
Cinta...
Huft, cinta...
Eh,
apa tadi? Cinta? Huft... lagi-lagi cinta...
Apa
sih cinta? Ada apa dengan cinta? Kenapa dunia tak pernah bosan membicarakan
cinta? Apa sih spesialnya C.I.N.T.A.?
Kata
orang cinta itu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata orang cinta itu adalah
ketika hati kita dag dig dug ketemu si dia. Kata orang cinta memberikan energi
luar biasa bagi para penikmatnya. Kata orang cinta itu indah berwarna-warni,
dan kata orang bla bla bla... Ah, entahlah! Semua kata orang itu terkesan
memuakkan bagiku. Kini, benar atau tidaknya opini orang itu mah, aku nggak
peduli.
Awalnya
aku tak mengeti apa pun tentang cinta. Aku tak tahu gimana rasanya, kapan aku
akan menikmatinya, dan kepada siapa aku akan melabuhkannya. Tak ada sedikit pun
yang terbesit dalam benakku. Yang ku tahu menjalani hidup sewajarnya, bermain
bersama teman seperti biasanya, tertawa dan bercanda tuk menghapus segala duka
dan belajar demi masa depan. Eghm, ya, belajar dan belajar. Kewajiban seorang pelajar,
bukan? Soal cinta? Ah, mana sempat memikirkannya. Capek deh!
Bukannya
aku tak pernah mengenal cinta. Aku mengenalnya melalu sahabat-sahabatku yang
selalu bercerita tentang kisah asmaranya. Setiap lagi kumpul bareng, pasti
mereka heboh sendiri dengan curhatan masing-masing. Kalau dibandingin sama
pasar, dijamin kalah deh ramenya. Tapi, kebanyakan yang keluar dari mulut
mereka pasti tentang duka laranya kisah asmara mereka. Bisa jadi hari ini yang
nangis Dina, besoknya Nadia, besoknya lagi Risa dan hingga kemudian harinya
pasti ada yang nangis. Haduuuh, pusing tujuh keliling kepala ini dengering
mereka mewek. Huft, capek deh!
Aku
tak tahu gimana ceritanya aku bisa bergabung sama geng beranggotakan 7 orang
ini. Kami menamai geng ini dengan sebutan D’Rona Manis. Nama itu berasal dari
nama anggotanya, yaitu Dina, Risa, Ola, Luna, Mala (aku), Nida dan Sani. Ke
enam temanku ini adalah cewek cantik berbakat di SMP-ku waktu itu.
Masing-masing dari mereka punya gebetan dengan latar belakang berbeda-beda dan yang
menurutku selalu bikin... capek deh!
Yang
pertama, Nida. Si bos geng yang berpostur jangkung, cantik, berkulit putih dan
jago main volly. Siapa juga cowok yang nggak kepincut sama cewek keren satu
ini? Eits, hati-hati. Cewek cool satu ini udah ada yang punya. Si doi adalah
seorang santri salah satu pondok pesantren yang telah lulus SMA dan menurutku
nggak jelas asal-usulnya. Udah nggak nerusin kuliah, pengangguran dan lumayan ndugal.
Santri sih santri, tapi nggak berperilaku layaknya santri. Dari curhatannya
Nida aku bisa menangkap bahwa si doi itu suka banget memaksakan kehendaknya
sama Nida. Tapi masih saja Nida betah sama si amburadul itu. Hah, capek deh!
Menuju
ke Dina, cewek cantik, smart, cakap, aktifis dan menjabat sebagai ketua OSIS.
Telah banyak menaklukan hati para cowok dan punya banyak mantan. Tapi yang
paling langgeng pacaran sama anak band yang tidak lain adalah kakak kelasnya
sendiri. Maklumlah, anak band, identik dengan sifat playboy-nya. Sungguh tragis
kisah cinta Dina. Meskipun sudah memergoki si dia selingkuh, tetap saja ia
bersikukuh. Katanya “Aku sudah terlanjur cinta, Mala.” Huft, mungkin ini yang
disebut hukum karma. Hah, capek deh!
Risa,
pemimpin redaksi majalah sekolah. Setiap orang yang bertemu dengannya pasti
akan memberikan kesan cantik, ramah, supel, dan ekspresif abis. Salah satu
cewek paling cerewet di geng ini sangat update dengan gosip-gosip yang beredar
di sekolah. Segala macam info, baik itu dari siswa lain, guru, bahkan pak
kebun, dia rangkum semuanya. Tapi, entah gimana asal-usulnya, si Risa ini
ngegebet adik kelas yang memancing kontrofersi seantero sekolah. Ada gosip yang
mengatakan mereka dijodohkan lah, apa lah, itu lah. Memang derita ratu bigos
yang digosipin. Hah, capek deh!
Temanku
yang satu ini namanya Ola. Cewek styelist, modis dan kemana-mana berlagak kaya
artis. Aduuh, illfeel aku kadang lihatnya. Sebuah cermin nggak pernag lepas
dari tangannya. Berbagai alat make up tak pernah absen dibawanya. Seperti
bedak, facial, eye liner, lip gloss, hand body dan perkakas kecantikan lain
yang aku nggak ngerti namanya. Padahal, menurutku tanpa polesan make up pun ia
sudah cantik.
Soal kisah cintanya, menurutku ini sangat
aneh. Ia menjatuhkan pilihannya pada seseorang yang usianya terpaut 10 tahun
diatasnya. Kalau dilihat-lihat, si cowok lebih pantas jadi omnya. Bayangin aja,
Ola yang masih berusia 14 tahun jalan bareng dengan seorang guru Bahasa Jawa
yang menurut analisaku, karena tampang katrok, dan udah terlanjur tua jadi
nggak laku-laku dan memilih ABG labil yang masih rentan kejiwaannya.
Pemandangan yang miris sekali, bukan? Aduuh, benar-benar cinta bikin pusing!
Hah, capek deh!
Beda
lagi dengan Sani, temanku ini adalah cewek genius yang tekun dan cukup anteng.
Meskipun dia jago olimpiade dan sangat hobi berkutat dengan rumus, jang dikira
dia kudet soal love. Punya pacar ganteng, tinggi, pintar dan kaya tentu dambaan
setiap cewek kan? Nah, Sani udah dapet nih. Tapi kasihan Sani, air matanya
harus terkuras karena dibakar apai cemburu. Bagaiman tidak? Ceritanya nih, si
doi aktifis dan anak teater. Sudah pekerjaannya kan sering bertemu cewek-cewek
di organisasi atau di sanggar teater. Namanya juga konsekuensi punya pacar
cakep, pasti banyak yang nge-fans.
Paling
nggak tahan kalau lihat Sani nangis pas nonton si dia beradegan mesra dengan
cewek lain saat pentas drama. Padahal aku selalu menyarankannya buat nggak
nonton karena aku yakin dia pasti makan hati. Tetap saja ia ngeyel dan bilang
cuma ingin memberi dukungan biar tampilnya keren. Kadang Sani juga selalu
bilang “Udah, aku nggak apa-apa kok. Itu kan emang tuntutan dia untuk kerja
profesional. Aku tetap sayang sama dia.” Hellooo, udah ngerti gitu kenapa masih
mewek?! Hah, capek deh!
Nah,
yang satu ini nih nggak punya pacar alias jomblo. Primadona sekolahku ini
berkomitmen buat nggak pacaran dulu. “Fokus ke pelajaran aja dulu. Perjalananku
masih panjang. Toh, yang namanya jodoh nggak kemana,” Gitu katanya. Padahal,
berjuta pejantan sudah berusaha benar buat mendekatinya. Yaiyalah, siapa yang
nggak kenal Luna? Udah cantik, multitalent, punya suara emas, cerdas, sholehah
lagi. Senyumnya itu lho, pasti bikin semua yang melihatnya langsung klepek-klepek.
Kalau
jalan bareng sama dia nih, pasti banyak siulan terdengar dari berbagai penjuru.
Layaknya top model yang berjalan di catwalk
dengan hembusan angin yang mengibarkan setiap helaian rambut. Ditambah dengan
diiringi musik klasik dan gerakan slow
motion. Aduh, alay mode on.
Kembali ke topik. Ya, begitulah nasib seorang primadona. Tapi, setiap aku
mendengarkan curhatan Luna tentang para cowok yang berusaha mendekatinya, aku
merasa risih sendiri. Ternyata, jadi kaya dia hidup jadi nggak nyaman juga.
Hah, capek deh!
Kalau
aku... hehe, nggak usah ditanya dan nggak usah ingin tahu ya? Intinya, dengar
cerita mereka aja aku sudah merinding. Takut, cemas, khawatir, ngeri, sedih,
waah, campur aduk deh pokoknya. Ya, begitulah tadi sekelumit kisah
sobat-sobatku di masa SMP yang rumit berkelit-kelit binti melilit. Tapi,
sekumpulan cewek D’Rona Manis ini telah mengajariku berbagai hal yang sangat berharga.
Terutama tentang ‘love’.
Pertama,
jatuh cinta itu bikin sakit. Gimana nggak, lha wong kalau udah terlanjur
jatuh pasti terperosok juga. Baru SMS nggak dibales, ditelpon nggak diangkat,
nggak ada kabar 1 jam saja, waduuuh, dampaknya parah. Awalnya sih galau nggak
jelas, mikirin yang aneh-aneh, terus keterusan dan akhirnya nafsu makan
berkurang, malas ngapa-ngapain, dan jatuh sakit deh. Nggak sehat bukan? Bukan
hanya berdampak buruk bagi diri sendiri, tapi juga orang lain yang menjadi
pelampiasan kekecewaannya. Bisa jadi, bukan hanya fisik aja yang sait, otak dan kejiwaan bisa
terganggu tuh!
Capek deh!
Kedua,
jatuh cinta itu menon-aktifkan fungsi otak.Coba kalian renungkan sendiri kisah
teman-temanku tadi.Atau mungkin yang sudah berpengalaman jatuh cinta bisa
diingat-ingat. Cinta memang nggak bisa dinalar kan? Kalau cinta sudah merasuk,
rasa-rasanya seluruh saraf di otak putus.Mereka nggak bisa berfikir jernih dan
menentukan mana yang sebenarnya pantas.Yang penting udah cinta, ngapain dan
diapain aja mau.Meskipun harus korban perasaan dan nangis 7 hari 7
malam.Terutama buat kaum hawa yang mainnya pakai hati.Haduuh, mikirnya jadi
pakai dengkul kali ya? Benar-benar
cinta telah melumpuhkan logika! Capek deh!
Ketiga, cinta adalah salah
satu penindasan terhadap kaum wanita.Lagi-lagi aku belajar dari pengalaman
D’Rona Manis. Tahu kan, teman-temanku itu sudah banyak membanjiri pipinya
dengan air mata. Mempertaruhkan harga diri dan berkorban perasaan.Tapi lelaki
yang mereka cintai setengah mati itu malah acuh begitu saja dan semakin
menyakiti. Ah, jahat sekali makhluk yang bernama laki-laki ini. Apa iya
semuanya sama seperti itu? Aku nggak terima dong! Ini namanya penindasan
terhadap terhadap wanita.Bisa juga disebut kekerasan batin dan pelanggaran HAM.
Hah, cinta itu kejam. Tapi saying, belum ada lembaga hokum yang mengatur semua
ini. Capek deh!
Yang terakhir, cinta itu
mnimbulkan wabah penyakit ‘kangker’ alias kantong kering.Nah loh. Yang namanya
cinta itu butuh dana yang nggak sedikit. Kalau lagi nge-date apa mau kasih
makan si doi kerikil? Nggak kan? Terus, kalau si doi ulang tahun mau dicuekin
gitu aja? Butuh kado kan? Ntar kalau nggak ngasih dikira pacar kere, pelit,
kikir dan amit-amit.Wah, mau ditaruh mana harkat dan martabat kamu?Lagipula,
tuh duit dari mana kalau bukan ngemis ke orang tua?Kalu udah berpenghasilan
sendiri sih, terserah.Kalu minta orang tua? Hah, capek deh!
Nah, begitulah… beberapa
alasan yang diberikan secara tidak langsung oleh D’Rona Manis kepadaku. Awalnya
sih, aku nggak se-sentimen itu sama yang
namanya cinta. Hingga suatu waktu aku mengalaminya sendiri.Sepertinya
bukan hanya sebuah penyesalan, tapi juga jera yang berkepanjangan.
Singkat cerita, tanpa aku
kehendaki ada seseorang cowok yang tiba-tiba mendekatiku di awal bulan
Ramadhan. Ngakunya sih, dia temanku masa SD dulu tapi beda sekolah. Katanya
juga aku suka nemenin dia main volley sama temen-temen. Mungkin karena kepalaku
baru terbentur sesuatu sehingga agak hilang ingatan, aku sama sekali nggak
ingat. Aku tanya deh ke teman-teman SDku dulu. Eh, meeka kenal dia dan ingat
masa kecil dulu. Tapi sumpah, aku nggak ingat secuil memori pun.Tampangnya pun
aku nggak tahu.
Setiap hari kami SMS-an.
Makin hari pula kami makin dekat.Padahal baru 2 minggu kami kenal dan belum
saling bertemu, dia mengungkapkan perasaannya padaku.Ku kira itu cuma bercanda.
Eh, tak tahunya serius. Itu pertama kali aku merasa ada sesuatu yang
membingungkan perasaanku.Perasaan ingin bertemu dan selalu ingin dekat
dengannya.Aku tentu belum bisa memberi jawaban.Bagaimana mungkin aku berkata
iya kepada orang yang baru aku kenal dan tak ku ketahui rupanya. Tapi, sulit
bagiku untuk berkata tidak karena… Ah entahlah! Bikin galau pokoknya. Capek
deh!
Akhirnya kami memutuskan
untuk bertemu diluar rumah.Ini juga pertama kali aku berani melanggar peraturan
mama.Harus bagaimana lagi, aku dilanda penasaran.Setelah pertemuan diam-diam
itu aku mulai ingat dengan masa kecilku.Dia lumayan.Yaa, tak begitu
mengecewakan sih.Tapi tetap saja aku ragu.Apalagi setelah aku menghianati mama.
Tiap hari dia selalu meminta
jawaban dariku.Masih saja aku bingung harus bagaimana. Hingga suatu hari seorang
temanku yang ternyata kenal sama dia memberi tahuku sesuatu yang bikin aku
kecewa. Rupanya si dia juga sedang PDKT sama cewek lain. Huh, dasar. Tanpa
pikir panjang aku kasih jawaban TIDAK.
Eh, setelah malamnya aku say
no, besoknya dia udah jadian sama cewek yang satu itu. Aaaargh… Nyebelin banget
tau nggak sih! Ternyata cuma buat main-main doang akunya. Rasanya pengen aku
samperin tuh orang terus aku pukulin sama pantat ompreng punya Mbok Ijah.
Apalagi setelah aku pergokin bahwa kenyataannya seperti itu, dia memutus kontak
denganku.Sama sekali tak pernah menghubungiku.Dasar, abis nyakitin, kabur gitu
aja. Capek deh!
Yaa, begitulah, cerita
singkat selama 1 bulan perjalanan cintaku yang tragis dan sadis. Huhuhu…
(lebay). Tapi aku tak pernah menceritakan semua ini pada D’Rona Manis.Nggak
tahu kenapa, aku tak suka berbagi kisah pribadiku.Biarkan saja aku yang tahu.
Sejak saat itu citra cinta
dimataku semakin buruk.Lagi-lagi bukan hanya menjadi sebuah penyesalan karena
telah melanggar aturan mama dan agama, tapi juga menjadi jera yang
berkepanjangan. Buat sekarang hati ini sedang dalam penjagaan yang ketat dan
masih akan dibuka suatu saat nanti jika aku sudah punya cukup bekal. Entah
kapan.Jadi, bagaimana pendapat kamu tentang cinta?Semua orang boleh berpendapat.
Namun bagiku, cinta selalu bikin… Capek deh!
Cinta Merpati
Fifi
Tiara
Marco. Itulah nama seorang anak SMP
yang sedang menjajaki masa remajanya. Dia sangat menikmati dunianya saat ini,
terutama permasalahan asmaranya yang rumit. Sebenarnya dia bingung mengapa
banyak cewek yang suka padanya, apa yang dilihat dari dirinya? Marco sadar, dia
tidak terlalu tampan, masalah prestasi masih banyak yang lebih pintar darinya.
Tapi kenyataannya banyak cewek yang tertarik sama dia. Salah satunya adalah
Lisa. Teman-temannya bilang kalau Lisa suka pada Marco dan dia sering menangis
melihat kedekatan Marco dengan Binar. Padahal Binar itu adalah sahabat Marco
sejak kecil juga teman Marco kursus renang jadi wajar saja jika mereka sedekat
itu.
“Co,
tuh si Lisa nangis lagi,”
ucap Edo. Edo adalah sahabatku sejak aku mengikuti ekstra pramuka di SMP
Harapan II ini.
“Ya
ampun gue sampai bosen tiap hari harus denger laporan lo tentang Lisa nangis
lah, cemburu lah ini, itu
lah,”
jawab Marco.
“Ih,lebay
banget sih tuh cewek. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit cemburu, pacar bukan
istri bukan pake cemburu segala,”
sahut Binar.
“Ciye..ada
yang jealous nih,”
Edo menggoda Binar.
Marco
juga bingung mengapa akhir-akhir ini Binar sepertinya ‘bete’ kalau mendengar
pembicaraan mengenai Lisa. Ah..tapi Marco tidak mau ke GR-an. Kembali ke Lisa,
sebenarnya Marco tidak terlalu mempedulikan tentang perasaan Lisa pada awalnya,
tetapi lama kelamaan dia luluh juga dengan semua perhatian yang telah diberikan
Lisa kepadanya selama hampir satu setengah tahun ini. Lisa selalu mengirim SMS
kepada Marco walaupun hanya menanyakan keadaannya saja, padahal Marco selalu
acuh tak acuh pada Lisa tapi dia tidak pernah mundur sedikitpun. Marco jadi
merasa bersalah pada Lisa karena Ia selalu membuat cewek berjilbab itu
menangis.
“Apaan
sih, siapa yang cemburu?”
ucap Binar salah tingkah.
“Tuh,
tuh,lihat Co gaya Binar ngomong jelas banget kalau dia cemburu sama si Lisa,” lagi-lagi Edo menggoda Binar.
“Udah,
kenapa jadi kalian yang heboh sih. Lo juga nambah masalah gue aja, mending
kalian bantu gue beresin masalah ini, gue kasihan juga sama tuh cewek lama-lama
air matanya bisa abis,”
kata Marco.
“Ngapain
bingung sih, lo aja yang bikin masalah ini jadi ribet. Si Lisa kan tiap hari
SMS lo, ya lo tinggal minta maaf sama dia. Pokoknya pesen gue lo jangan sampai
menggantung perasaannya, kasian Bro,”
Edo bicara panjang lebar.
“Gitu
ya?”
jawab Marco setengah menggumam.
“Ya
iya lah,” suhut Edo gemas.
Setelah pulang sekolah Marco segera
mengganti seragamnya dengan pakaian rumah dan melihat Hpnya. Biasanya selalu ada satu pesan
yang masuk di Hp
Marco siapa lagi kalau bukan dari Lisa. Tapi hari ini berbeda, tidak ada SMS
dari Lisa. Marco bingung pada perasaannya dia merasa ada yang hilang saat tahu
Lisa tidak mengirim SMS seperti biasa kepadanya, dia cemas, sedih, kecewa. “Apa gue mulai suka sama Lisa ya?” gumamnya. Sampai larut malam dia
tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Akhirnya dia memutuskan untuk SMS
Lisa.
To:
Lisa
Assalamu’alaikum, maaf ganggu.Gue cuma mau tanya, lo beneran suka ma gue?
To:
Marco
Wa’alaikumsalam, Iya.
Jawaban
yang singkat namun mampu membuat Marco membisu, ia tidak membalas SMS Lisa. Bingung,
gembira, lega semua menjadi satu. Perasaan ini berbeda dengan perasaannya
ketika dia tahu bahwa ada temannya yang suka padanya saat mereka masih duduk
dibangku SD dulu, Marco memberikan persyaratan padanya bahwa dia harus
mengenakan jilbab terlebih dahulu, baru Marco akan menyukainya, juga perasaan
sukanya pada seorang cewek non muslim. Marco kecil berkhayal bahwa suatu hari
nanti dia akan membuat cewek itu masuk islam dan ia akan menjadikan cewek itu sebagai
pendamping hidupnya. Marco kagum dengan apa yang telah dilakukan Lisa. Dia
tidak merasa gengsi sedikitpun karena harus mengirim SMS lebih dulu kepada
Marco, dan dia juga tidak lelah memberikan perhatiannya walaupun Marco selalu
cuek dengan apa yang telah diberikan Lisa padanya. Apa mungkin Marco telah
luluh dan mulai mencintainya juga?
Keesokan
harinya,
ketika disekolah Marco berpapasan dengan Lisa. Namun tidak seperti biasanya
kali ini Lisa tidak menyapa Marco dia memalingkan wajahnya. “Apa dia marah sama gue ya?” batin Marco.
“Gue
kenapa sih, sejak kapan gue jadi perhatian sama Lisa?” gumam Marco lirih ketika dia
sudah berada di dalam kelas.
Setelah kejadian tadi Marco tidak
bisa fokus pada pelajaran. Bayangan Lisa dan perasaannya terus berkelebat
dipikirannya. “Nggak
salah lagi gue suka sama tuh cewek?” kata Marco dalam hati.
Pulang
sekolah Marco segera mengambil Hpnya
tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Dia mengetikkan beberapa kata untuk
dikirimkan pada Lisa, tapi ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Ini sulit.
“Ternyata
begini ya rasanya nembak cewek. Mending gue dikasih 100 soal fisika daripada
harus ngadepin situasi kayak gini,”
gumamnya di dalam kamar.
Selama
lima belas menit Marco berkutat dengan pikiran dan perasaannya sambil memainkan
hp di tangannya. Marco melihat pesan yang akan Ia kirimkan kepada Lisa sekali
lagi,
To:
Lisa
Gue
suka sama lo, lo mau nggak jadi cewek gue?
Akhirnya
dengan perasaan yang sulit dijelaskan Marco menekan tombol ‘send’. Ada
perasaan lega setelah Marco mengirimkan pesan itu namun perasaan gundah yang
Marco rasakan juga tidak kalah hebatnya, dia memilih untuk menyibukkan diri dan
menunggu jawaban dari Lisa. 1 jam, 2 jam, 3 jam berlalu Lisa tak kunjung
membalas pesannya. Perasaan Marco semakin tak menentu. Drrrtttt..drrrrtt... Hp Marco bergetar tanda ada SMS
masuk.“Pasti
dari Lisa,”
batinnya. Marco segera membuka SMS itu dan kecewa karena yang SMS bukanlah Lisa
melainkan Binar. Mata Marco melotot ketika membaca SMS dari Binar, berulang
kali Marco membaca SMS itu. Dia tidak percaya pada apa yang telah Ia baca.
To:
Marco
Co,
sebenernya gue suka sama
lo, gue sayang sama lo. Lo suka juga kan ma gue?
“Astaga
permainan macam apa ini. Apa yang harus gue lakuin? Kalau Lisa sampai tahu bakal terjadi
perang dunia ketiga,”
gumam Marco.
Marco
benar-benar bingung. Binar yang selama ini sudah Ia anggap seperti saudaranya
sendiri suka padanya. Ternyata benar feeling nya selama ini kalau Binar
ada perasaan padanya. Hal ini tidak boleh dibiarkan, Marco tidak mau menyakiti
hati dua cewek sekaligus dia harus benar-benar bijak dalam menyelesaikan
masalahnya ini. Apalagi Binar sahabatnya dari kecil.
To:
Binar
Bi,
maaf gue nggak bisa. Gue
udah
anggep lo kayak saudara gue sendiri, gue
bersyukur punya sahabat seperti lo, smua perhatian yang gue berikan ke lo itu nggak lebih dari seorang sahabat. Bi, gue juga sayang sama lo, tapi sebatas sahabat, nggak lbh. Sekali lagi gue minta maaf, semoga lo bisa ngerti J.
To:
Marco
Ya,
seharusnya gue tahu diri. Lo hanya nganggep gue sahabat. Thank’s.
Marco
jadi semakin merasa bersalah ketika membaca SMS dari Binar. Tapi mau bagaimana
lagi perasaan tidak bisa dipaksa, dia cinta pada Lisa, bukan Binar. Sampai Marco beranjak
tidur,
Lisa tak kunjung membalas SMS darinya. Marco memutuskan Ia akan menemui Lisa
besuk dan bicara langsung padanya tentang perasaannya.
Di
perjalanan berangkat sekolah hati Marco sudah tak karuan. Hanya dengan membayangkan
dirinya akan mengungkapakan perasaannya saja sudah membuat keringat dinginnya
mengucur deras,
apalagi dihadapan Lisa bisa-bisa Marco pingsan. Tuhan memang Maha Adil, saat
istirahat tidak sengaja Marco bertemu dengan Lisa dan ia menyapanya.
“Sa,
tunggu!”
teriak Marco.
“Iya,
ada apa?” tanya Lisa.
“Nanti
pulang sekolah ada acara nggak?”
Marco mulai gerogi.
“Ngg...Nggak,” ucap Lisa setelah berpikir
sejenak.
“Kalau
gitu ntar kita ketemu di Coffe Shop deket sekolah ya, ada yang pengen aku
omongin,”
jelas Marco.
“Iya,” jawab Lisa singkat.
Marco
baru sadar kalau dia mulai ber aku-kamu sama Lisa.
Setelah
pulang sekolah Marco segera meluncur ke tempat ia dan Lisa akan bertemu. Hatinya mulai deg-degan.
Ia tidak mau Lisa menunggunya, biarlah dia yang menunggu Lisa. Marco duduk di
dekat jendela paling depan di pojok sebelah barat. Letak Coffe Shop ini sangat
strategis apalagi di tempat Marco duduk sekarang dia bisa melihat taman yang
tertata rapi didepan Coffe Shop ini dan juga bisa memperhatikan orang-orang
berlalu lalang. Dia sering kesini saat pikirannya berantakan. Namun hari ini ia
ingin menjadikan tempat ini spesial dan tidak lagi menjadi tempat yang ia
kunjungi saat lagi suntuk saja, melainkan saat dia bahagia. 5 menit
kemudian Lisa datang, Marco segera melambaikan
tangan ketika dia memasuki Coffe Shop.
“Hei,” sapa Marco salah tingkah. Lisa
hanya membalas dengan senyuman.
“Mau
ngomongin apa?” tanya Lisa to the point ketika ia sudah duduk didepan Marco.
“Nggak
mau pesen sesuatu dulu?” tanya Marco gugup.
“Boleh,” jawab Lisa.
“Mas,
coklat panas satu dikasih gula sedikit. Kamu pesen apa Sa?” Marco memandang
Lisa, dan ia
langsung menyesali hal itu karena semakin menambah rasa gugupnya.
“Aku..sama
aja deh” jawabnya. 5 menit kemudian pesanan kami datang.
“Kenapa
kamu kemarin nggak balas SMS aku?” tanya Marco, Lisa diam.
“Aku
suka sama kamu Sa, kamu mau nggak jadi pacar aku?” lanjut Marco.
“Co,
seharusnya tanpa aku kasih tahu kamu udah tahu jawabannya,” jelas Lisa.
“Jadi
kamu mau?” Lisa mengangguk. Marco lega, ingin rasanya ia umumkan pada dunia kalau sekarang
Lisa itu miliknya.
“Terus
gimana sama Binar?” tanyanya.
“Ca,
Binar itu sahabat aku dari kecil, jadi mulai sekarang kamu nggak boleh nangis
lagi gara-gara kedekatanku dengannya ya?” jelas Marco.
“Tadi
kamu manggil aku apa?
Ca? Terus siapa juga yang nangis gara-gara ngeliat kedekatan kamu sama Binar,
GR,”ucap
Lisa sambil mengaduk-aduk coklat panasnya.
“Iya,
mulai sekarang aku manggil kamu Chaca. Bener kamu nggak pernah nangis gara-gara
itu? Ya
udah deh kita nggak jadi jadian,”
canda Marco.
“Ih..apaan
sih. Iya,iya aku ngaku. Habisnya kamu nggak peka jadi cowok,” Lisa merajuk.
“Makasih
ya,
kamu selama ini udah perhatian sama aku. Maaf kalau aku kurang peka,” kata Marco.
“Aku
nggak nyangka ternyata kamu orangnya romantis juga ya..” ledek Lisa.
Selama
2 jam mereka menghabiskan waktu bersama disana. Lisa pamit pulang dulu karena
dia ada janji sama ibunya. Sedangkan Marco masih tetap disana, bedanya sekarang
Ia tidak duduk didalam melainkan ditaman depan Coffe Shop. Rencana Tuhan memang
indah, Marco memejamkan matanya dan menikmati udara segar yang Dia anugerahkan
untuk kita sebagai makhlukNya. Saat Ia membuka mata dia melihat Binar keluar
dari Coffe Shop dengan mata yang sembap.Jangan-jangan, Marco mulai cemas.
“Bi..tunggu!!!”
teriak Marco.
Binar
tidak menggubris teriakkan Marco. Dia terus berjalan menuju motornya dan Marco
segera lari menyusul Binar.
“Bi,
sejak kapan lo disini. Kok gue nggak liat lo?” tanya Marco ketika sudah didekat
Binar.
“Ya
iyalah lo nggak liat gue. Orang lo asyik pacaran sama si Lisa,” ucapnya judes.
“Aduh,
judes amat sih.Ntar
cantiknya hilang loh.Iya, iya, gue minta maaf. Ya udah masuk lagi
yuk?Gue
traktir. Gue dan Lisa baru jadian,”
ucap Marco senang.
“Co,
lo bener-bener nggak punya perasaan ya. Gimana bisa lo ngomong gitu sama cewek
yang suka juga sama lo. Jahat, lo jahat,” Binar tidak bisa lagi menahan air
matanya, setelah mengucapkan kata-kata itu ia segera mengenakan helmnya dan
beranjak pergi dari tempat itu.
Marco
bingung harus berkata apalagi. Dia pikir Binar sudah melupakan kejadian tadi
malam, ia
merasa bersalah kepada
Binar. Baru kali ini dia melihat Binar menangis seperti itu dan itu membuat
hatinya tersayat-sayat karena Marco telah membuat hati sahabatnya tersakiti.
Marco segera mengambil tas dan helmnya di taman dan menaiki motornya. Sampai
dirumah ia
segera mengambil Hpnya
dan mengirm pesan pada Binar.
To:
Binar
Bi,
Gue minta maaf. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Maaf..maaf..dan maaf.
Setengah
jam berlalu namun Binar tak kunjung membalas SMS Marco. Dia takut kalau Binar
memutuskan persahabatan mereka, dan Marco tidak akan membiarkan itu terjadi.
Drrrtt...drrrt...
Ada
pesan masuk, ternyata dari Lisa. Senyum Marco kembali merekah.
To:
Marco
Assalamu’alaikum,
To:
Lisa
Wa’alaikumsalam
Ca J
Seperti
itulah hari-hari mereka berdua setelah jadian. Saling memberikan perhatian.
Tapi hari ini pikiran Marco terbagi dua antara Lisa dan Binar. Sampai sekarang
Marco tidak berani memberitahu Lisa tentang masalahnya dengan Binar.
Ditengah-tengah komunikasinya dengan Lisa, Binar membalas SMS nya.
To:
Marco
Iya
Co, gak apa-apa. Gue juga minta maaf, sikap gue tadi kayak anak kecil.Gue tadi terlalu emosi. Kita masih bisa jadisahabat kan?
To:
Binar
Alhamdulilah,
iya lah,
Bi.Lo
masih tetap sahabat gue sampai kapanpun J
Akhirnya
Marco bisa menghela napas dengan lega, masalahnya satu-persatu terselesaikan.
Marco yakin malam ini Ia akan mimpi indah karena Tuhan telah memberikan
anugerah yang luar biasa hari ini padanya. Besuk dia akan berangkat sekolah
dengan status yang berbeda.
Hari
ini adalah jadwal latihan rutin untuk ekstra yang Marco ikuti. Setelah Ia
sampai disanggar ternyata disana sudah ada Edo, Dina, dan Binar mereka sedang
membicarakan masalah pergantian pengurus karena sebentar lagi mereka sudah
kelas 9. Aku duduk disamping Binar dan ikut mendengarkan. Tidak disangka ketika
kami sedang berunding Lisa datang dan melihat posisi duduk kami, dia pergi sambil mengusap air
matanya. Dina langsung menyusul Lisa dan menenangkannya, sedangkan Marco kecewa
dengan sikap Lisa yang seperti itu.Padahal kemarin Marco sudah menjelaskan semua kepada
Lisa. Ia sempat melihat ekspresi Binar dia kelihatan merasa bersalah.
“Co,
lo gimana sih. Kok Lisa nggak lo kejar?”
kata Edo. Dia memang sudah tahu tentang hubungan Marco dengan Lisa.
“Bi,
lo kenapa?” Marco tidak menggubris kata-kata Edo.
“Kayaknya
gue harus keluar dari pramuka,”
ucap Binar singkat tapi mampu membuat Marco dan Edo terbelalak.
“Kenapa
Bi, kan kemarin kita udah ngomongin masalah itu?” tanya Marco.
“Nggak
Co, bukan masalah itu. Kemarin mama gue nyuruh gue keluar dari pramuka karena
nilai gue menurun akhir-akhir ini,”
jelas Binar.
Marco
tidak percaya pada apa yang telah dikatakan Binar, ia yakin sedikit atau banyak masalah
internal Binar dengan Marco juga menjadi penyebabnya.
“Kenapa
lo Bi, kok nangis? Emang hari ini udah dinobatin sebagai hari nangis sedunia
ya? Gue heran deh,”
celetuk Dina saat dia kembali.
“Binar
mau keluar,”
ucap Edo.
“Apa? Kenapa, Bi? Apa gara-gara..” belum sempat
Dina menyelesaikan kalimatnya Binar sudah memotong.
“Nggak
Di, bukan gara-gara itu.
Mama
gue yang nyuruh. Ya udah,
mumpung disini udah ada semuanya, gue pamit ke kalian.Maaf gue egois, maaf gue nggak bisa bantu kalian
ngurusin pergantian pengurus.
Besuk
gue akan nemuin Bu Reni.Sekali
lagi maaf,” air mata Binar tak berhenti mengalir selama
dia mengucapkan kata-kata itu dan ia
langsung pergi.
“Jangan
disusul,
Di!”
kata Marco ketika tahu Dina mau menyusul Binar.
“Biar
nanti gue yang ngomong sama dia,”
lanjut Marco.
“Ya
udahlah,
lo cepet beresin masalah lo sebelum semuanya berantakan,” Dina memperingatkan, lalu Marco
bangkit dari tempat duduknya.
“Lisa
dimana?” tanyanya sebelum pergi.
“Di
samping aula,”jawab
Dina sambil menunjuk ke arah aula.
Marco
segera bergegas menuju samping aula dan benar saja Lisa masih sesenggukan
disana.
“Ca...”panggil
Marco. Lisa pun menoleh dan segera menghapus air matanya ketika mengetahui
kalau yang datang itu adalah Marco.
“Ca,
kenapa kamu nangis lagi? Kan udah aku jelasin kemarin kalau aku dan Binar itu
cuma sahabat nggak lebih. Aku harus gimana lagi supaya kamu nggak nangis kayak
gini. Hampir tiap hari kamu menangis gara-gara masalah yang sama, aku mohon
pengertian dari kamu. Tadi kamu juga lihat kan disana nggak cuma ada aku sama
Binar tapi juga ada Edo, Dina kita juga lagi bahas pergantian pengurus Ca..”
jelas Marco panjang lebar.
“Tapi
kan nggak perlu duduk sedekat itu?”
Lisa masih keras kepala.
“Ya
ampun Ca.. huufft,”
Marco menghela napas panjang. Kalau diterusin pasti masalahnya tambah panjang.
“Ok,
aku salah. Aku minta maaf, tapi asal kamu tahu Ca, Binar keluar dari pramuka,” ucap Marco kehabisan kata-kata.
“Ap..apa? Binar keluar dari pramuka?” Lisa
terkejut.
“Iya.
Apa dengan mendengar berita ini kamu masih tetap benci sama dia. Dia rela mengorbankan
ekstranya supaya kita nggak bertengkar terus supaya kamu nggak nangis terus
Ca..”
“Iya,
aku minta maaf. Aku nggak ada maksud supaya dia keluar dari pramuka, tapi aku juga nggak tahu gimana
cara mengatasi rasa cemburuku ini,
Co..” Lisa kembali meneteskan air matanya.
“Kalau
kamu mau minta maaf itu bukan sama aku,
tapi sama Binar,”
kata Marco menegaskan.
“Iya,
nanti aku minta maaf sama dia,”
Marco lega mendengar kata –kata itu.
Setelah
perbincangan mereka waktu itu, ternyata Lisa benar minta maaf pada Binar atas
semua perilakunya. Binar memaafkannya,
namun hal itu tidak bisa merubah keputusan Binar untuk keluar dari pramuka.
Marco sempat merasa lelah menjalani hubungannya dengan Lisa tapi ketika lelah
itu datang ia
selalu teringat akan usaha Lisa untuk mendekatinya dan besarnya cinta Lisa
untuk Marco. Marco selalu berusaha mengalah jika menghadapi sifat cemburu Lisa,
ia
tidak mau hubungannya dengan Lisa kandas hanya gara-gara masalah sepele. Tak
sedikit orang yang bilang kalau mereka adalah pasangan yang tidak cocok tapi
Marco tidak peduli Ia tetap mencintai Lisa apa adanya.
Tidak
terasa sudah saatnya perpisahan. Marco dan Lisa kembali menghadapi masalah,
mereka tidak siap menjalani LDR jadi mereka berusaha agar tetap bisa satu
sekolah. ‘Kalau jodoh nggak kemana,’
sepertinya kata-kata itu nyata dialami mereka berdua saat ini. Keduanya
diterima disekolah yang sama, rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak. Marco
sempat berpikir bahwa hubungannya dengan Lisa kedepan akan lancar, tidak ada
lagi yang bisa membuat Lisa cemburu karena Binar tidak satu sekolah dengan
mereka. Tapi ternyata dugaan Marco salah. Lisa ya tetap Lisa dengan rasa
cemburunya yang sulit dikendalikan. Dia selalu cemburu ketika melihat Marco
dekat dengan teman perempuannya walaupun itu adalah partner nya
bernyanyi di band yang Marco dan teman-temannya dirikan sejak ia menjadi siswa di SMA Jingga III
ini. Bahkan belakangan ini Marco mendapat informasi kalau ada salah satu teman
Lisa yang suka pada Marco dan hal itu sempat membuat Lisa tidak saling menyapa
dengan si cewek tersebut selama kurang lebih satu semester. Marco tahu Lisa
sangat cemburuan tapi dia sudah terbiasa dengan sifat pacarnya yang seperti itu
malah Ia merasa aneh jika Lisa tidak menampakkan wajah manyun dan cemburunya
ketika melihatnya sedang bergurau dengan teman perempuannya. Itulah
kenyataanya, mungkin orang diluar sana jika menempati posisi Marco Ia akan
meninggalkan Lisa, tapi Marco tidak. Ia sangat menikmati semua ini. Cowok yang
sekarang sudah duduk di kelas 2 itu pun sadar banyak cewek yang lebih cantik
dari Lisa diluar sana tapi sepertinya hati Marco sudah ‘mati rasa’.
Hujan
tidak kunjung reda setelah ia
dan sang pujaan hati tiba di Coffe Shop dekat SMP mereka dulu. Tempat yang
paling bersejarah untuk mereka berdua, dan disanalah sekarang mereka, duduk
didekat jendela paling depan di pojok sebelah barat, anehnya tempat itu selalu
kosong ketika mereka datang kesana.
“Ca..”
panggil Marco, setelah mereka duduk dan memesan coklat panas seperti biasanya.
“Iya,
“ Lisa memandang Marco.
“Sebenarnya
apa sih yang kamu suka dari aku? Emangnya kamu nggak pernah ya naksir sama
cowok lain. Kan banyak juga teman mu yang lebih ganteng dan pintar dari aku,” tanya Marco.
“Sebelum
aku jawab pertanyaan kamu, aku mau tahu dulu jawaban kamu kalau aku mengajukan
pertanyaan yang sama kayak yang kamu tanyain ke aku,” jawab Lisa. Marco terdiam
dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Tuh
kan kamu bingung. Sama Co, aku juga nggak tahu kenapa aku suka sama kamu cinta
itu tidak butuh alasan cinta nggak bisa dijelasin kapan, dengan siapa, dimana
dan mengapa kita jatuh cinta. Apalagi mengenai fisik. Rasa cinta yang kita
miliki itu adalah anugerah dari Tuhan jadi kalau kamu mau tahu kenapa aku cinta
sama kamu ya..kamu tanya aja ke Tuhan karena Tuhan yang ngasih perasaan ini,”
jelas Lisa sambil tersenyum kearah Marco.
Penjelasan
Lisa itu semakin membuat Marco terpana dan yakin akan perasaannya pada seorang
cewek yang sedang menatapnya dengan senyuman.
Cinta,
satu kata penuh makna begitulah kata salah satu girlband Indonesia.
Pernyataan itu memang benar cinta juga mampu membuat seseorang senyum-senyum
sendiri, cinta mampu membuat seseorang merasa bahagia, kecewa, sedih dan
cemburu. Tapi justru melalui cintalah kita belajar arti menyanyangi, memiliki,
dan menghargai perasaan orang lain. Tuhan telah menganugerahkan rasa cinta
dalam kehidupannya dan menghadiahkan Lisa untuknya. Marco akan selalu menerima
Lisa apa adanya dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Sampai kapanpun cinta
Marco kepada Lisa tidak akan pernah pudar. Ia berusaha menjaga hubungannya
dengan Lisa sebesar apapun ombak yang menghadang mereka akan melewati semuanya
bersama. Marco tidak akan meninggalkan Lisa hanya karena sifat cemburunya,
kecuali Lisa yang merasa bosan padanya. Begitulah komitmen Marco dalam hubungan mereka. Ia
ingin seperti merpati yang tidak akan meninggalkan keluarganya dalam keadaan
apapun dia akan tetap menyanyangi keluarganya. Manusia memang wajib berusaha
dan berdoa tapi hasilnya tetap Tuhan yang menentukan. Begitu pula dengan
hubungan asmara Marco dengan Lisa. Satu lagi persembahan Marco untuk Lisa, Ia
berharap suatu hari nanti dia bisa menyanyikan lagu ini didepan Lisa.
Aku
jatuh cinta
Awalnya
ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan
Segalanya
berubah dan rasa rindu itu pun ada
Sejak
kau hadir di setiap malam di tidurku
Aku
tahu sesuatu sedang terjadi padaku
Sudah
sekian lama kualami pedih putus cinta
Dan
mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara
Dan
hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku
Kau
berbeda dari yang kukira
Aku
jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh
cinta oh, apa adanya
Tak
pernah kuragu
Namun
tetap slalu menunggu,
Sungguh
aku....
Jatuh
cinta kepadanya
Coba...
Coba
dengarkan apa yang ingin aku katakan
Yang
selama ini sungguh telah lama terpendam
Aku
tak percaya
Membuatku
tak berdaya
Tuk
ungkapkan apa yang kurasa
Kadang
aku cemburu, kadang aku gelisah
Seringnya
ku tak tentu lalui hariku
Tak
dapat kupungkiri..
Hatiku
yang terdalam
Betapa
aku jatuh cinta kepadanya...
By:
Roulette
It’s
You
Lathifa Az-Zahra
Suasana
hening seketika tercipta saat Pak Hamdan, guru fisika, memasuki ruang kelas.
Hari ini adalah hari pembantaian menurutku dan segenap teman-temanku yang
menganggap fisika sebagai momok di jurusan IPA. Hari ini hari Senin, usai
melaksanakan upacara bendera, kelasku mendapat jadwal pelajaran fisika. Rasanya
otakku sudah kosong karena telah gosong dibakar sinar matahari dan terlalu
berat menyimpan memori untuk menghapal serentetan rumus-rumus yang dari mana
asalnya saja aku tak tahu pasti. Dengan segenggam materi yang aku kuasai berkat
belajar dengan sistem kebut semalam, aku mulai membaca soal pertama. Ahh,
rasanya pening di kepala. “Soal macam apa ini?” batinku dalam hati. Akhirnya
dengan percaya diri yang tinggi, aku menyelesaikan satu per satu soal yang
itupun aku tak yakin benar. Dua jam berlalu begitu saja tanpa membekas di hati.
Berlanjut
ke jadwal pelajaran jam kedua, olah raga. Sebenarnya aku juga tak terlalu suka
dengan pelajaran fisik semacam ini. Tapi aku masih dapat menikmati pelajaran
ini, karena banyak waktu yang bisa digunakan untuk bersantai. Seperti biasa,
aku harus mengganti kostum. Dari seragam resmi, menjadi pakaian olah raga yang
telah ditentukan sekolah. Dengan langkah malas aku berjalan menuju lapangan
olahraga yang berada di bagian paling belakang sekolahku. Terik matahari hari
ini lumayan membuat keringat bercucuran. Apalagi dengan materi olahraga lari,
lengkap sudah. Tak membutuhkan waktu lama, aku segera mendapat giliran lari.
Karena memang namaku berawalan abjad yang tergolong awal, Audia Karna Putri
atau dipanggil Audy. Dengan sekuat tenaga aku memulai lari 100 meterku dengan
start jongkok. Di garis finish, telah menanti sahabatku tercinta yaitu Rosa
dengan suaranya yang lantang menyemangatiku.
Satu,
dua, tiga…
Aku
mulai berlari secepat yang aku bisa, membayangkan aku layaknya anak panah yang
melesat tanpa hambatan. Namun, tiba di tengah perjalanan lariku, ada seseorang
yang sedang berjalan mundur ke arahku. Aku mulai panik, bagaimana jika aku
menabrak orang ini? Benar saja, hanya butuh beberapa detik saja, kejadian itu
benar terjadi. Aku menabrak orang itu tepat di punggungnya, dan kami berdua tak
dapat menghindar. Untungnya posisi jatuh kami masih aman, aku jatuh dengan
kepalaku bersandar pada lengannya yang membuka. Padahal, aku sempat
membayangkan posisi jatuh yang memalukan dan semacamnya. Kami sama-sama
merasakan kesakitan yang amat, karena aku harus menabrak orang yang mempunya
tubuh lebih kuat dariku. Begitu pula dengannya yang harus jatuh karena terdorong
tubuhku, ditambah lagi lengannya tertindih oleh kepalaku.
“Au,
sakit,” ujarku pelan.
“Memangnya
kamu saja yang sakit? Aku lebih sakit. Tidak bisakah kau cepat berdiri dan
menghindar dari lenganku? Aku tidak bisa bangun jika kau tetap disitu,”
protesnya setelah mendengar keluhku.
Segera
aku tersadar dari keluhku dan berdiri. Tanpa menunggu aba-aba dan respon
selanjutnya aku segera pergi meninggalkannya yang terlihat heran dengan
sikapku. Bukannya aku tak bertanggung jawab, tapi aku sudah cukup malu mengingat
kejadian tabrakan ini. Dengan sedikit berlari aku menghampiri Rosa yang
khawatir dengan keadaanku.
“Dy,
kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?”
ujar Rosa khawatir.
“Udah,
nggak sakit kok. Cuma jatuh biasa,”
jawabku menenangkan Rosa.
“Lain
kali hati-hati ya? Tapi, kamu kenal nggak
itu siapa?”
“Ha?
Memang penting ya tahu siapa yang ditabrak tadi?” tanyaku padanya memastikan.
“Audy,
kamu termasuk orang beruntung bisa tabrakan sama dia. Dia itu Kak Adrian, yang
sering menang olimpiade fisika itu,” ujar Rosa menerangkan padaku dengan rona
wajah terkagum-kagum.
Aku
tak merespon penjelasan dari Rosa dan hanya terheran dengan sikapnya yang
menurutku terlalu berlebihan itu. Bagiku siapapun orang tadi tak masalah dan
tak berefek padaku. Sebelum Rosa bertambah parah, aku segera menariknya ke
bawah pohon mangga yang ada di sudut lapangan. Kami menyandarkan diri pada
pohon yang menjadi favorit setiap siswa untuk berteduh saat kepanasan di
lapangan. Selain tempatnya yang teduh, posisi pohon mangga ini juga sangat strategis.
Pasalnya dari pohon manga ini setiap orang bisa melihat keseluruhan sisi
lapangan ini. Termasuk aku yang juga dapat mengamati setiap orang yang berada
di lapangan ini. Tidak terkecuali seseorang yang beberapa waktu lalu menjadi
patnerku menerima musibah. Aku melihatnya tengah lincah memainkan benda bundar
yang akrab disapa bola. Aku mulai memikirkan kembali kata-kata Rosa tentangnya.
Benarkan ia sepopuler itu di sekolah ini? Tapi, kemana saja aku hingga tak
mengenalnya.
--- Lat’z ---
Begitu
banyak materi yang harus dipelajari di sekolah, khususnya jika siswa memilih
jurusan IPA sepertiku. Tentunya akan selalu bertemu dengan yang namanya eksak.
Mulai dari pelajaran kimia, matematika, biologi dan tak ketinggalan fisika.
Beberapa orang berpendapat bahwa eksak lebih sulit dari pada sosial. Untuk yang
satu ini aku mungkin kurang setuju, karena bagiku IPA maupun IPS sama saja.
Sama-sama mempunyai tingkat kerumitan disetiap mata pelajarannya. Untuk
menghindari keduanya, aku lebih mencintai bahasa. Menurutku bahasa adalah seni
dari hidup. Tanpa bahasa, hidup ini akan terasa kosong. Kecintaanku terhadap
bahasa terbukti saat aku sering mengirim artikel, cerpen maupun puisi ke
majalah sekolah maupun majalah dinding. Beberapa orang di sekolah ini tidak
mengenalku sebagai Audy anak jurusan IPA, melainkan Audy sang Pujangga.
Kali
ini aku telah menulis beberapa puisi untuk kukirimkan ke redaksi majalah
dinding agar karyaku ikut dimuat pada edisi berikutnya. Tempat pengumpulan
karya ini termasuk tempat keramat bagiku. Mengapa keramat, karena aku jarang
sekali menginjakkan kakikku di tempat dimana berjajarnya rak berisi buku-buku
yang tertata rapi. Meskipun aku mencintai bahasa, namun aku tidak menyukai
buku-buku yang bersifat akademik. Aku lebih cenderung membaca karya-karya
sastra, seperti antologi, novel dan biografi. Namun, untuk kali ini aku
terpaksa harus menunjungi tempat tersebut agar karyaku dapat terpublikasi.
Dengan ditemani sahabat setiaku, Rosa, aku memasuki perpustakaan dengan raut
wajah sedikit tak suka. Tepat seperti dugaanku, meski saat ini adalah waktu
istirahat, namun tetap saja peminat perpustakaan dapat di bilang sangat kecil.
Setelah
melepas sepatu dan menatanya di rak yang telah disediakan, aku melangkahkan
kakiku memasuki ruangan gudang ilmu tersebut. Kuedarkan pandanganku sekeliling
ruangan. Terlihat seperti sedang mencari seseorang, tapi memang benar aku
mencari seseorang. Aku mencari Kak Rio, sang ketua majalah, untuk mengumpulkan
karyaku. Namun, setelah beberapa kali kuedarkan pandanganku, tak kunjung ku
temukan sosok Kak Rio. Hanya ada teman sekelasnya yaitu Kak Adrian yang
terlihat sibuk membaca buku biologi kelas XII. Sebenarnya aku tak punya banyak
waktu di tempat ini, namun aku juga tak mau jika harus bertegur sapa dengannya.
Aku masih menyimpan rasa malu dan bersalahku padanya yang waktu lalu belum
tersampaikan. Akhirnya dengan sedikit paksaan dari Rosa, akupun memberanikan
diri menyapanya terlebih dahulu. Namun, belum sempat aku memanggilnya, ia telah
menyadari keberadaanku di dekatnya.
“Mau
apa lagi ke sini?” tanyanya sinis.
“Mau
nemuin Kak Rio. Kak Rionya mana?” tanyaku dengan segera duduk di sebelahnya.
“Oh,
jadi kamu yang janjian sama Rio? Kamu siapanya Rio? Adiknya? Atau pacarnya?”
deretan pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku ditutup dengan tawa khas darinya.
Tunggu,
ada yang mengganggu pikiranku beberapa detik yang lalu saat Kak Adrian tertawa.
Aku merasa tawanya sedikit goyah. Ini bukan tawa menghina, tapi aku ragu untuk
memutuskan arti tawa Kak Adrian. Seperti ada dua perasaan yang bercampur dalam
hatinya. Aku dapat memahami bagaimana ekspresi seseorang menyangkut
parasaannya. Memang tak banyak yang mempunyai keahlian sepertiku. Aku pun tak
tahu darimana aku mendapatkan keahlian semacam ini.
Lamunanku
buyar ketika Rosa menggoyang-goyang tanganku. Aku menoleh ke arahnya, Rosa
mengisyaratkan padaku bahwa aku melupakan maksud kedatanganku ke tempat ini.
Pandanganku beralih kepada Kak Adrian. Sedikit terkejut memang, saat aku
mengetahui bahwa ia tengah menatapku dengan tatapan menyelidik. Dari sanalah
baru aku tersadar bahwa sedari tadi aku memperhtikan Kak Adrian tepat di
matanya. Dengan sedikit salah tingkah aku berusaha mencairkan suasana.
“Apaan
sih, Kak? Aku nitip ini aja, tolong kasihin ke Kak Rio. Makasih,” ujarku sambil
menyerahkan beberapa lembar HVS berisi puisi-puisi karyaku.
“Oke,”
jawabnya dengan menerima kertas-kertas yang aku sodorkan, kemudian memberikan
jempolnya sebagai pelengkap jawaban.
“Ya
udah, Kak. Kami permisi,” pamit Rosa tiba-tiba dengan senyumnya yang aneh. Usai
berpamitan Rosa segera menarik tanganku dan memintaku segera keluar bersamanya.
--- Lat’z ---
Hari
ini adalah hari yang sangat aku tunggu. Karena hari ini adalah hari dimana
majalah dinding edisi bulan ini akan terbit. Aku sudah tak sabar menunggu
karya-karyaku terpajang dan dapat menghipnotis setiap pembacanya. Diantara
tema-tema majalah dinding yang lain, menurutku tema bulan ini sangat menarik
dan menantang. Tema majalah dinding bulan ini adalah first love. Sebuah tema
yang hangat diperbincangkan, namun asing bagiku. Pasalnya aku belum pernah
merasakan yang namanya cinta pertama seperti yang orang-orang katakan. Jadi aku
segera ingin tahu apakah imajinasiku tentang cinta pertama itu sendiri sudah
cukup bagus bagi seorang yang belum pernah merasakannya seepertiku.
Bel
istirahat pun berbunyi, guru juga sudah menutup kegiatan belajar. Aku langsung
melesat menuju bangunan seberang kelasku dimana majalah dinding utama
terpajang. Saat di perjalanan tak henti-hentinya aku menebar senyum gembaira.
Namun, senyum itu kandas setelah aku mengetahui bahwa kolom puisi pada mading
bulan ini bukan terisi oleh karyaku. Kecewaku datang. Bercampur rasa tak
percaya, aku membaca kembali nama yang tertera sebagai penulis puisi tersebut.
Adriando Pangestu. Mataku langsung terbelalak tak percaya dengan apa yang aku
baca barusan. Bisa-bisanya puisi-puisiku terkalahkan oleh puisi karya seorang
anak yang menggandrungi fisika. Sungguh menggelikan.
Dengan
mata berkobar api kemarahan, aku segera berlari menuju kelas Kak Rio yang hanya
berjarak beberapa ruangan dari tempatku berdiri saat ini. Terlihat dari
kejauhan Kak Rio dan kawannya, Kak Adrian, sedang bersantai di depan kelas.
Melihat kedatanganku Kak Rio langsung melambaikan tangan. Namun, aku tak
membalas. Ku perlambat langkah kakiku saat telah berjarak beberapa meter dari
mereka.
“Kak Rio jahat. Kak Rio nggak adil,” makiku tiba-tiba kepada Kak
Rio.
“Maksud kamu apa? Aku salah apa
sih?” tanyanya bingung.
“Ah, kakak nggak usah sok nggak
tahu. Apalagi kamu, perampas hak orang,” ujarku sambil menunjuk ke arah Kak
Adrian.
Kak Adrian yang merasa tersalahkan
ikut ambil bagian, “Apa-apaan sih. Aku nggak
tahu apa-apa kenapa disalahkan? Apa salahku padamu? Kenal saja tidak,”.
Aku merasa kalimat terakhir dari Kak
Adrian terlalu sakit untuk didengar dan diterima oleh hatiku. Aku pun mengambil
sedikit napas dan memulai bicara. Tapi, tanpa aku sadari air mata yang sedari
tadi kutahan ternyata jatuh juga.
“Kak, aku salah apa? Apa karyaku
sudah tidak bagus? Jika iya, bilang saja. Biar aku perbaiki. Tapi jangan
tiba-tiba mengambil orang lain untuk menggantikanku. Aku perlu tahu
kesalahanku, Kak,” ucapku pada Kak Rio dengan sedikit terbata-bata.
“Loh, kamu kirim karya? Aku kira
kamu libur edisi ini. Kata Adrian…” tiba-tiba kata-kata Kak Rio terhenti karena
bungkaman Kak Adrian.
Aku mulai merasakan keanehan di
antara dua seniorku ini. Mereka berbicara lewat pandangan mata, bukan
kata-kata. Setelah dirasa mereka telah mencapai kepahaman masing-masing. Kak
Adrian melepas tangannya yang sedari tadi membungkam mulut Kak Rio. Belum
sempat aku melontarkan protes atas sikap mereka, Kak Adrian sudah meraih
tanganku dan menarikku menjauh dari Kak
Rio. Sekarang posisiku tidak lagi di sebelah Kak Rio, melainkan di sebelah Kak
Adrian. Aku pun sedikit heran dengan keadaanku saat ini. Tiba-tiba semua terasa
jelas saat Kak Adrian membuka suara.
“Ri, sebenernya ada hubungan apa
kamu sama Audy?” tanya Kak Adrian dengan sedikit emosi kepada Kak Rio. Sebelum
menjawab, Kak Rio menatapku dan Kak Adrian bergantian kemudian tersenyum.
“Aku pacarnya Audy. Kenapa?” jawab
Kak Rio yang membuat tubuhku seperti tersengat aliran listrik.
“Kak!” bentakku kepada Kak Rio yang
menjawab asal-asalan.
Bukannya menjawab, Kak Rio hanya
mengisyaratkan agar aku hanya diam.
“Kenapa?
Kamu ada rasa sama Audy?” tanya Kak Rio spontan kepada Kak Adrian.
Satu,
dua, tiga, empat, lima detik berlalu dan tak ada jawaban yang keluar dari mulut
Kak Adrian. Sesaat kemudian, Kak Adrian mengencangkan genggamannya pada
tanganku yang sempat melemah saat Kak Rio mengatakan bahwa aku adalah pacarnya.
“Maafkan
aku Rio,” ujar Kak Adrian sebelum menarikku pergi berlari meninggalkan Kak Rio
dalam kebingungan.
Kak
Adrian terus saja menarikku untuk mengikutinya. Aku tahu kemana ia akan
membawaku, ke lapangan. Tepatnya dibawah pohon mangga yang rindang. Di sana,
barulah Kak Adrian melepaskan genggamannya. Ia memutar tubuhku sehingga
menghadap tubuhnya. Jarak kami terlalu dekat bagiku, namun aku hanya diam dalam
kepasrahan. Selanjutnya ia mengangkat daguku sehingga wajahku mengahadap ke
wajahnya.
“Audy,
kali ini aku mengesampingkan hubunganku dengan Rio. Entah aku akan di cap
sebagai sahabat yang menusuk teman atau apa, yang jelas aku hanya ingin kamu
tahu kalau aku mencintaimu,” serentetan kata yang terucap dengan tegas dari
seorang yang sebelumnya sangat aku benci, malah membuat debar jantungku
meningkat.
Aku
hanya terdiam dan tak berkutik.
“Kamu
tahu? Tempat ini adalah tempat yang menjadi awal segalanya. Saat insiden itu
terjadi, aku merasa bukan hanya tubuh kita yang terbentur. Tapi juga hati kita.
Aku memperhatikanmu dari kejauhan, saat kau juga memperhatikanku. Tapi aku
merasa kalah saat kau menyerahkan berlembar-lembar kertas kepada Rio yang kau
titipkan padaku beberapa waktu lalu di perpustakaan. Aku tahu itu semua adalah
karyamu yang akan kau kirim ke redaksi majalah dinding. Tetapi, lewat bahasa
tubuhmu aku menangkap bahwa saat itu kau mengharap kehadiran Rio. Sehingga aku
tak memberikan karyamu kepada Rio, dan sebagai gantinya aku membuat sebuah
puisi untuk menggantikan karyamu agar dapat kuberikan kepada Rio. Semuanya kian
jelas saat Rio menegaskan dia adalah pacarmu. Ya, mau apa lagi. Aku telah
kalah. Tapi saat ini aku hanya mencoba menjadi lelaki yang tidak mau
terkalahkan oleh keadaan. Maafkan aku memberi tahumu tentang yang sebenarnya.
Aku hanya ingin kamu tahu, itu saja,” jelas Kak Adrian panjang sambil
menggenggam tanganku kembali dan memandang lurus ke mataku.
Usai
serentetan penjelsan itu terucap, barulah Kak Adrian melepaskan genggamannya
dari tanganku. Aku masih terpaku dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba.
Belum sempat aku menjawab perkataannya, ia melangkah meninggalkanku. Namun,
dengan cepat aku mencegahnya.
“Tunggu,
Kak” ucapku spontan.
Ia
menoleh ke arahku, menyimpan sejuta tanya dalam kalbu. Seseorang yang ku nanti
telah tiba, Kak Rio, dia yang akan mengakhiri semua ini. Pandanganku dan Kak
Adrian beralih ke arah Kak Rio yang tidak datang sendiri, melainkan bersama
Rosa.
“Adrian,
harusnya kamu juga bertanya kepada Audy, apakah aku ini pacanya?” ujar Kak Rio
dengan menahan senyum. Mimik wajah Kak Adrian berganti bingung, pandangannya
beralih padaku dan mengisyaratkan agar aku cepat memberi jawaban. Namun, aku
hanya tersenyum.
“Kalau
kamu ingin tahu siapa perempuan yang aku cintai? Dia ada di sini sekarang,”
perkataan Kak Rio menyimpan sejuta rahasia. “Ini adalah perempuan yang sejak
dulu aku cintai,” ujar Kak Rio sambil menoleh kepada Rosa yang berada di
belakangnya.
Bukan
hanya aku dan Kak Adrian saja yang terkejut, tetapi Rosa juga terlihat lebih
terkejut daripada kami berdua. Sedetik kemudian, Kak Adrian menatapku. Aku
berusaha menghindari kontak mata dengannya, namun tak bisa. Tak ada lagi yang
dapat ku katakan, hanya tersenyum menjawab pandangan dari Kak Adrian. Senyumku
telah mewakili segala jawaban di hatiku, aku yakin Kak Adrian sudah cukup
pintar menerjemahkan senyumku.
Akhirnya,
kami kembali ke area sekolah bersama-sama dengan perasaan bahagia. Aku tak
menyangka jika selama ini Kak Rio ternyata menyimpan rasa kepada sahabatku
sendiri, Rosa. Namun, yang lebih tidak dapat dipercaya lagi adalah Kak Adrian
yang sangat dingin kepadaku dan aku sendiri tak begitu mengenalnya malah
menyukaiku. Yang terakhir, aku sangat tidak percaya terhadap perasaanku sendiri
bahwa aku telah menjatuhkan cinta pertamaku kepada lelaki yang pada awal jumpa
denganku mengalami kejadian tidak menyenangkan. Kurasa inilah cinta yang
sebenarnya, yang tak akan memandang kapan dan kepada siapa dia akan berlabuh.
Kau Telah Membawanya (Hatiku)
Fifi
Tiara
Cuaca
hari ini sangat cerah, matahari bersinar begitu terang memberikan kehangatan
untuk semua insan di dunia, dan kehangatan itu semakin menambah semangatku.
Hari ini aku berangkat sekolah dengan status yang berbeda. Kenalin aku Bulan,
remaja dengan segudang bakat. Tinggi, putih, rambut lurus sebahu, dan ini
adalah bagian yang paling aku suka yaitu mata. Kata orang mataku cantik, kata
orang mataku mampu meyakinkan orang lain saat aku memaparkan gagasan, kata
orang mataku mampu menggoyahkan pendirian, dan masih banyak mampu-mampu yang
lain. Aku juga tergabung dalam ekstra beladiri di sekolahku, prestasi terakhir
yang aku raih yaitu juara satu beladiri tingkat nasional, juara satu menulis
cerpen tingkat provinsi , juara dua piano klasik tingkat nasional dan aku juga
merupakan salah satu duta pariwisata dikotaku.
Bagaimana para cowok? Bukankah aku
tipe cewek idaman kalian? Tapi sayang kalian sudah tidak mempunyai peluang lagi
karena hatiku sudah ada yang menempati. Kalian pasti sering mendengar ‘cinlok’
antara ketua OSIS dan sekretarisnya bukan? Hal itu aku alami sekarang. Awan
ketua OSIS di SMA Permata, tinggi, kulit sawo matang, hidung mancung, bagian
yang paling kusuka darinya adalah potongan rambutnya yang diatur sedemikian
rupa hingga mirip dengan tokoh kartun captain Tsubasa Ozora, belum lagi
ditambah dengan sikapnya yang sopan dan ramah, cewek mana yang tidak tertarik,
bahkan hanya dengan melihatnya saja mampu membuat para cewek disekolah
ternganga dan mereka langsung meleleh ketika sebuah senyuman tersungging dari
bibir Awan. Eitss, tapi kalian sudah tidak mempunyai peluang lagi untuk
memiliki Awan, kalian tahu kenapa? Karena dia sudah menjadi milik Bulan
sekarang. Ya, baru kemarin kita jadian. Kami pasangan yang sangat serasi bukan?
Jika aku jalan berdua dengan Awan pasti banyak tatapan iri, benci, marah,
kesal, kecewa dan berbagai ekspresi lain yang tentu saja ditujukan padaku. Tapi
aku tidak mempedulikan semua itu aku sudah bahagia, sangat bahagia. Tuhan
memang tidak pernah mengingkari janjiNya, “Perempuan baik-baik untuk laki-laki
baik-baik, dan sebaliknya,” itulah janjiNya untuk kita.
“La!!!”
teriak Mira histeris ketika dia melihat aku sudah berjalan dikoridor sekolah.
“Pagi
Mira,”
sapaku dengan senyum merekah.
“Lo
bener jadian sama Awan?” dia
menatapku serius. Mira ini sahabatku sejak kami duduk dikelas satu SMP, dan dia
juga salah satu fans gelap Awan. Aku tidak tega melihat raut mukanya yang
hampir menangis ketika mengucapkan pertanyaan itu.
“Iya,
baru kemarin kita jadian,”
aku menjawab dengan hati-hati supaya tidak menyakiti perasaannya.
“Hikksss..
gue udah nggak ada peluang dong?” dia menangis.
“Yah
Ra kok lo nangis..Udah
dong jangan nangis. Gue juga nggak tahu kalau bakal kayak gini, gue nggak ada
maksud buat nyakitin lo, maaf,” ucapku merasa bersalah. Tapi tiba-tiba..
“Hahahaha...
Bulan..Bulan..ngapain lo minta maaf sama gue. Gue cuma bercanda, lagian lo itu
jadi cewek terlalu berperasaan. Selamat ya, lo beruntung dapetin cowok kayak
Awan dan Awan juga beruntung dapetin lo pokoknya kalian pasangan yang paling
serasi di dunia,”
ucap Mira sambil memelukku.
“Dasar,
lo itu kebiasaan ya gue kira persahabatan kita bakal berakhir hanya gara-gara
gue jadian sama Awan, tapi btwthanks. Eh, ke kantin yuk gue traktir
deh..” ajakku.
“Asyik..kebetulan
banget gue tadi belum sarapan,”
Mira nyengir menatapku.
Selama perjalanan ke kantin banyak
tatapan sinis yang aku terima dari para cewek bahkan beberapa menggunjingku,
aku sudah menduga kalau berita ini akan cepat tersebar di seantero SMA Perdana.
Tapi ya sudahlah. Ketika kami tiba di kantin ternyata Awan juga sedang sarapan
disana bersama teman-temannya. “Aduh
kenapa gue deg-deg an ya?”
batinku. Padahal sebelum kami jadian aku biasa saja jika bertemu sama Awan,
tapi kenapa sekarang seperti ini?
“Bulan!”
Awan memanggilku, dia beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri aku dan
Mira. Dia duduk tepat di depanku sedangkan Mira disampingku. Aku menunduk tak
berani menatapnya.
“Hai, Ra,” Awan menyapa Mira.
“Em,
La besok sore kamu ada acara nggak?” Awan bertanya padaku.
“Bukannya
besok sore kita ada acara sama teman-teman OSIS ya?” tanya ku masih tidak
berani menatapnya aku mengaduk-aduk jus jerukku.
“Iya,
maksud aku setelah acara itu kamu ada acara lain nggak?” Awan sedikit
menundukkan kepalanya.
“Eh,
kayaknya nggak ada,”
jawab ku salah tingkah. Sepertinya Awan tahu apa yang aku rasakan, maksudnya
kegugupan ku karena aku mendengar dia tertawa geli. Haduh malu sekali aku.
“Ok,
kalau gitu besok habis acara di sini kita jalan. Ya udah aku kesana dulu ya,
ntar kalau aku disini kamu nggak jadi makan lagi,” candanya.
Baru saja beberapa langkah ia pergi dan aku
juga baru mengangkat wajahku Awan balik lagi. Kali ini aku tidak bisa
menghindari tatapannya. Dia mendekat padaku dan aku mulai gugup.
“Jangan
lupa bawa baju ganti,”
jantungku berdesir hebat ketika dia mengucapkan kata-kata itu di dekat
telingaku. Bukan karena kalimatnya melainkan karena jarak kami yang begitu
dekat ketika dia bicara tadi. Oh Tuhan jantungku seperti mau loncat.
“Hmm??”
aku menapnya penuh selidik. Tapi Ia hanya melemparkan senyum manisnya. Bukan
Awan namanya kalau tidak penuh dengan kejutan.
Keesokan
harinya setelah pulang sekolah aku mampir sebentar ke toko baju dan sepatu,
karena ini adalah kencan pertamaku jadi aku harus tampil perfect.
Setelah berkeliling selama hampir satu jam pilihanku jatuh pada dress warna
hijau selutut yang dipadu dengan warna putih dan tersemat sebuah pita yang
ditata sedemikian rupa hingga terlihat sangat cantik dan juga sepasang high
hills senada. Acaraku dengan teman-teman OSIS ini memang sedikit resmi
semacam perpisahan sebelum kami naik ke kelas XII dan posisi kami akan
digantikan oleh kelas XI kelak. Kubawa hasil belanja ku dengan perasaan yang
sulit dijelaskan. Pikiranku sudah melayang kemana-mana, aku jadi penasaran
tempat seperti apa yang akan kami berdua kunjungi nanti dan mengapa Awan
menyuruhku membawa baju ganti? Haahhh entahlah kita lihat saja. Senyum ku
mengembang.
Sesampainya
di rumah aku langsung mandi dan segera menyiapkan diri karena 15 menit lagi
Awan menjemputku. Selama berias aku deg-degan karena Awan adalah laki-laki
pertama yang berani datang ke rumahku dan meminta izin pada orang tuaku. Aku
kenal betul sifat ayah,
beliau sangat keras dan selektif dalam
masalah satu ini.Ya
maklumlah aku anak satu-satunya, cewek pula.
Ting
tong.. bel rumahku berbunyi.
“Haduh,
itu pasti Awan. Oh Tuhan lancarkan jalan kami, mudah-mudahan moodayah hari ini lagi baik,” gumamku dalam kamar. 15 menit
kemudian aku keluar dari kamar, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Ayah,
Ibu dan Awan berbincang dan bercanda dengan asyiknya, seperti sudah kenal lama.
Aku lega sekali,“Kayaknya
aku dapat lampu hijau nih,”
batinku riang.
“Aduh,
aduh cantik sekali anak ibu,” pujian Ibu semakin membuatku salah tingkah,
lagi-lagi aku tak berani menatap Awan.Tapi aku sempat meliriknya sedikit tadi
dia tampan seperti biasa juga tak tertinggal kharismanya yang luar biasa.
“Emm,
kalau gitu kami berangkat dulu ayah,
ibu,” Awan pamit pada orang tuaku. Tapi
eh, dia tadi memanggil orang tuaku apa, Ayah? Ibu? Sejauh itukah kedekatan
mereka? Aneh sekali..
“Hati-hati
ya nak Awan, Ibu titip Bulan,”
ibu
berpesan pada Awan.
“Jangan
pulang terlalu malam,”
sambung Ayah.
“Siap,yah..” Awan mengangkat tangannya dan
mengaturnya seperti posisi hormat.
“Bulan
pergi,yah,
bu..”
aku berpamitan pada Ayah dan Ibu.
Sesampainya
di depan Awan memberiku helm, dia menaiki motornya tapi aku masih berdiri
mematung disampingnya.
“Kenapa?Ayo acaranya keburu mulai,” ucapnya sambil menarik tanganku
lembut. Aku menurut saja, aku hanya canggung berada sedekat ini dengannya. Aku
bisa menghirup parfumnya yang kalem seakan menggambarkan kepribadiannya. Awan
segera menstater motornya, tak ada satu kata pun yang terucap dalam perjalanan,
hening. Kami sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing, aku tidak berani
melingkarkan tanganku di pinggang Awan, berada sedekat ini saja sudah membuat
jantungku seperti mau meloncat keluar apalagi melakukan itu. Tapi tiba-tiba
Awan seperti bisa membaca pikiranku,
karena dia menariktangan ku dan melingkarkan pada pinggangnya. Aku bingung tak
bisa mengelak.
Kami seperti pasangan yang paling
ditunggu-tunggu sore itu, tapi tetap saja banyak tatapan sinis yang aku terima.
Kami hanya satu jam disana, setelah Awan memberikan sambutan kami pergi. Aku
sudah mulai terbiasa berdekatan dengannya, jadi aku tidak merasa canggung lagi
melingkarkan tanganku di pingganya. Aku mulai tidak sabar menanti kejutan Awan.
“Sebenarnya
kita mau kemana sih?” tanyaku pada Awan ketika kami dalam perjalanan menuju
tempat rahasia itu.
“Kalau
aku kasih tahu nggak surprise dong” jawabnya.
“Hahh,
iya baiklah,”
aku menjawab sekenanya.
“Haha,
jangan ngambek dong bentar lagi sampai kok,” Awan menoleh kebelakang sekilas.
Ketika kita sampai disana Awan
menutup mataku, aku jadi semakin penasaran.
“Ok,
sudah sampai,”
katanya sambil membuka tutup mataku.
Aku
terkejut, melihat hidangan makan malam yang tersaji sedemikian rupa di pantai,
belum lagi ditambah bunga mawar yang dibentuk menyerupai hati di sekeliling
meja makan, dan lagi aku tidak tahu kalau di Bandung ternyata ada pantai yang
begitu indah. Tempat ini memang sangat jauh dari rumahku sekitar 2 jam
perjalanan.
“Bagaimana?
“ tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Kamu
yang nyiapin semua ini?” tanyaku kagum. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
“Suka?”
tanyanya lagi, dan sekarang giliran aku yang mengangguk. Kami dinner
dipantai. Sungguh moment yang sangat indah tak sedikitpun terbesit
dibenakku kalau dia akan memberikan surprise seperti ini, so sweet..
Setelah
makan malam kami sempat bermain air sejenak, ke pantai kalau tidak basah tidak
afdhol bukan? Setelah puas main air kami duduk sebentar di pinggir pantai
sambil bermain pasir.
“Btw,
makasih ya kamu udah nyiapin semua ini, aku suka, bagus,” kataku.
“Haah,
iya sama-sama,”
Awan tersenyum padaku, kali ini aku tidak menunduk aku membalas senyumnya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu,
“Eh,
aku penasaran deh selama aku ganti baju tadi waktu di rumah kalian ngomongin
apa sih seru banget kayaknya,” tanyaku sambil konsentrasi pada istana yang aku
buat.
“Rahasia
dong,”
jawab Awan singkat.
“Wan!!Terus
kok kamu manggil orang tuaku ayah dan ibu?Aku heran kamu pasti pake pelet ya supaya ayah dan ibu merestui
hubungan kita?” aku menyipitkan mata memandangnya.
“Hahaha, ya nggak lah, ngapain pake pelet
segala. Kamu lupa kalau aku ini ketua OSIS aku pandai dalam berpidato belum
lagi ditambah kharismaku ini, dijamin semua orang pasti yakin kalau aku anak
baik-baik hanya dengan melihatku,” ucapnya bangga.
“Idih,
kharisma darimana coba?” aku mengeluarkan ekspresi illfeel. Sedangkan
Awan tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku.
“La..aku
sayang kamu,”
ucapnya tiba-tiba.
“Hmm?
Apa nggak dengar” aku berpura-pura.
“Bulan, aku sayang kamu!!” Awan berteriak,
untung disini sepi jadi aku tidak perlu menutupi mukaku karena malu. Aku
tersenyum melihat tingkahnya.
“Awan, aku juga sayang sama kamu!!”
sekarang giliran aku yang meneriakkan kata-kata itu.
Malam
itu sungguh moment yang tak bisa kulupakan seumur hidup. Awan dan Bulan,
aku berharap hubungan kita langgeng. Kami sampai dirumah pukul 11 malam, aku
sudah takut dengan omelan ayah, tapi apa yang aku terima ketika sampai rumah
sungguh membuatku lega. ayah tidak memarahi kami, bahkan ayah sempat menawarkan
Awan untuk mampir sebentar. Tapi ia menolak karena ini sudah malam.
“Aku
pulang dulu ya, sweet dream” pamit Awan sambil memegang tanganku
sekilas.
“Kamu
hati-hati, kalau udah sampai di rumah kabarin aku,” jawab. Dia hanya mengangguk dan tersenyum
sesaat sebelum pergi.
Sudah
hampir satu bulan aku menyandang status sebagai pacar Awan. Aku merasa menjadi
wanita paling beruntung di dunia. Dia adalah laki-laki yang aku nantikan, aku berharap dialah jawaban dari doa ku
selama ini. Besok adalah hari ulang tahunku, juga sekaligus 1 bulan hubunganku
dengannya. Aku tidak sabar menunggu hari itu.
“Ciye..sumringah
banget sih. Ada apa? Dapet kejutan lagi ya dari Awan?” tanya Mira yang entah
sejak kapan duduk disampingku.
“Kejutan
apaan sih, nggak,”
jawabku
sekenannya.
Keesokan harinya aku pulang dengan
perasaan yang kacau. Bayangin saja pacarmu lupa dengan hari ulang tahunmu dan
juga anniversary hubungan kalian bagaimana coba persaanmu? Hari ini Awan
tidak seperti biasanya, dia cuek sekali sama aku. Awalnya aku mengira kalau dia
mau nyiapin surprise buat aku tapi kenyataannya sampai pulang sekolah
tak ada apa-apa. Haaahh,
inilah akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan. Bahkan dia tidak
mengajakku pulang bareng seperti biasanya. Entahlah, aku juga menolak waktu
Mira menawariku pulang bareng. Hari ini aku mau menyegarkan pikiranku aku
memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Pukul 7 malam aku baru sampai di rumah,
ku buka pintu tapi aneh kok lampunya belum dinyalain sih apa mungkin ayah sama ibu
keluar ya? Tapi kan di rumah ada Bi
Inem.
“Yah.. Bu..” tak ada jawaban.
“Bi
Inem, kok lampunya nggak dinyalain sih” aku meraba-raba mencari stop kontak
karena ini benar-benar gelap. Tiba-tiba..
“Happy
birthday Bulan.. Happy birthday Bulan.. Happy birthday, Happy
birthday, Happy birthday Bulan..,”
aku tak bisa membendung air mataku. Rasa sesak didadaku kutumpahkan semua,
kukira sudah tidak ada lagi orang yang peduli denganku. Ayah, ibu, Mira, teman-teman OSIS, Bi Inem mereka semua berbaris sambil
membawa cup cake serta tak lupa lilin. Aku meniup lilin itu satu persatu
di tangan mereka sambil terus mengusap air mataku. Barisan ini ternyata
bermuara di taman belakang rumahku. Aku penasaran siapa yang membawa cake
ke tujuh belasku, dan aku tekejut ketika Awan berdiri dihadapanku dengan cake
ke tujuh belasku. Kukira dia sudah tak peduli denganku dan hubungan kita. Air
mataku semakin deras mengalir, aku meniup lilinnya tapi tak berani menatapnya
dengan wajah ku yang seperti ini aku pasti terlihat jelek sekali. Dia
meletakkan cake itu di meja sementara
aku tetap berdiri mematung disana kemudian Awan kembali dan memelukku.
“Selamat
ulang tahun ya, dan juga happyanniversary.Maaf dari tadi pagi aku nyuekin kamu,” aku tak
bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengusap air mataku.“Udah kamu mandi dulu sana,
bau tau,”
candanya, seketika aku tersenyum.
Ya,sudah kubilang kan diawal cerita tadi,
bukan Awan namanya kalau tidak penuh dengan kejutan. Rencananya membuat aku badmood
benar-benar berhasil, begitu juga dengan kejutan yang dia siapin, ternyata
satu minggu sebelum ulang tahunku dia sudah mengatur semuanya termasuk memberi
tahu ayah dan ibu. Setelah ganti pakaian aku segera turun dan membaur dengan
semuanya. Satu-persatu ucapan selamat keluar dari mulut teman-temanku, aku
mengucapkan terima kasih pada mereka semua. Tapi aku tidak melihat Awan, dimana
dia?
“Di, lo lihat Awan nggak” tanyaku pada
Dio,
sahabat Awan.
“Kayaknya
di taman depan deh,”
jawabnya.
“Thank’s,” aku segera ke taman depan dan
benar saja dia duduk dibangku taman depan rumahku.
“Hei,
kok disini?”tanyaku.
“Langitnya
lagi bagus.Sini
deh!”
kata Awan sambil memandang langit lalu menuntunku duduk disampingnya. Dia
menggenggam tanganku erat.
“Maaf
ya kamu hari ini pasti bete banget sama aku, karena dari tadi pagi aku nyuekin
kamu,”
ucapnya sambil memandangku.
“Iya,
udah aku maafin.Justru aku yang terima kasih, kamu udah nyiapin semua ini,
lagi-lagi rencana kamu sukses,” aku tersenyum memandangnya.
“La,”
caranya memanggilku dan memandangku sedikit aneh.
“Hmm?”
“Aku
sayang kamu.”
“Iya,
aku tahu. Aku juga sayang kamu.”
“Kamu
milik aku selamanya, aku janji akan menjaga hubungan kita dan kepercayaan kamu,”
ucapnya serius.
“Kamu
kenapa sih, nggak usah serius gitu,
aku takut tau,”
kataku tersenyum geli.
“Nggak
La,
aku serius,”
genggamannya semakin erat, itu tanda kalau Awan tidak becanda. Tapi ini aneh
dia tidak biasanya bertingkah seperti ini.
“Iya,
iya. Aku juga akan melakukan hal yang sama,” aku tersenyum lembut padanya.
Acaranya selesai pukul 10 malam.
Satu persatu temanku pulang hingga hanya tersisa Awan disini.
“Udah
malam aku pulang dulu ya, besok kita jalan, kamu bisa kan?” tanyanya.
“Pasti.
Kenapa buru-buru sih?” aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku,
rasanya aku ingin berada lebih lama didekatnya.
“Haha,
kamu masih kangen ya sama aku? Baru dicuekin satu hari efeknya udah kayak gini
apalagi aku tinggal ya..” Awan memang suka menggodaku, tapi aku menangkap
sesuatu yang ganjil pada ucapannya.
“Awan,
kok kamu ngomongnya gitu sih?Pergi
kemana?”
“Iya,
iya. Duh..tambah cantik aja kalau ngambek kayak gini. Ya udah, keburu hujan aku pulang dulu, sweet
dream” tak seperti biasanya, Awan mengecup keningku sekilas. Hatiku
berdesir, tapi kenapa perasanku tidak enak ya?
“Sampai
di rumah kabarin aku ya?” dia mengangguk aku bisa melihat senyumnya dari balik
helmnya.
Satu jam setelah Awan pulang aku
mendapat kabar kalau ia
kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Aku dan orang tuaku
segera kesana, tapi setelah aku sampai disana ternyata Awan sudah dibawa
pulang. Lalu kami segera pergi ke rumah Awan, mataku mulai memanas. Awan sudah dibawa kerumah itu
berarti keadaan dia tidak parah tapi kenapa ada yang ganjil ya, dari kejauhan
rumahnya aku melihat ada bendera putih. Tidak aku pasti salah lihat, mungkin
saja itu bukan di depan rumah Awan tapi di rumah tetangganya. Ya rumah
tetangganya, aku meyakinkan diriku sendiri. Aku menguatkan hati dan pikkiranku.
Tapi ternyata salah, bendera itu memang benar berada di depan rumah Awan.
Perasaan ku sudah kacau, aku segera berlari masuk dan kudapati orang tua Awan
menangis tersedu-sedu di samping jenazah. Aku sudah tak bisa membendung air
mataku.
“Nggak,
ini nggak mungkin,”
gumamku. Aku menghampiri tubuh Awan yang terbujur kaku, kubuka kain yang
menutupi wajahnya, dan air mata ku semakin deras mengalir itu memang benar
jasad Awan.
“Awan,
kenapa kamu tinggalin aku, kamu kan janji besok mau mengajak aku jalan, dan
kamu juga tahu kan kalau aku nggak bisa jauh dari kamu lama-lama karena efeknya
pasti aku kangen berat sama kamu. Tapi kenapa sekarang...” aku tak sanggup lagi
meneruskan kata-kataku.
“Sudah
sayang.., biarkan Awan pergi dengan tenang,” ibu menenangkanku. Aku terus
menangis dan menangis di pangkuan Ibu sampai akhirnya semua berubah menjadi
gelap. Aku sudah berada di kamarku saat aku terbangun,dan orang pertama yang
aku ingat adalah Awan.
“Bu,
kok kita disini?Pemakaman
Awan jam berapa? Ayo kita kesana kasian kan Tante Indah sama Om Jamal ngurusin semuanya sendiri,” ucapku pada ibu.
“Sayang,
kamu tenang dulu ya..Awan sudah dimakamkan 15 menit yang lalu,” jelas beliau yang semakin
menambah keterpurukanku, hatiku kacau.
“Maafkan
aku Awan aku nggak bisa nganter kamu untuk yang terakhir kali semoga kamu
tenang disana,” ucapku dalam hati.
Aku mencoba merelakan kepergiannya.
Berat, sungguh sangat berat Awan, aku melewati hari-hari tanpa kamu, tanpa
keusilanmu, tanpa senyumanmu, tanpa kejutanmu tanpa perhatianmu. Kamu telah
sukses membobol hatiku, dengan kharisma mu yang luar biasa dengan perilakumu
yang santun,
semuanyaaku suka semua darimu. Kamu masih ingat janji kita berdua di taman
depan rumahku? bahwa kita akan menjaga hubungan ini dan menjaga kepercayaan
masing-masing. Kamu telah melakukannya dengan sukses juga, terimakasih telah
datang di kehidupanku, terima kasih untuk satu bulan yang penuh kejutan, terima
kasih karena kamu sudah menepati janjimu dan terima kasih karena kamu mau
mencintai aku dengan segala kekuranganku. Kamu akan selalu ada di memory
dan hatiku. Karena kamu telah berhasil
membawanya, hatiku dalam
keabadian.
Labirin Cinta
Lathifa Az-Zahra
Suasana
gaduh menyelimuti atmosfir kelasku hari ini. Tepatnya saat pelajaran Story.
Sesuai namanya, pelajaran ini membahas berbagai macam cerita dari berbagai
belahan dunia. Tak hanya itu, pelajaran ini juga mempelajari berbagai genre cerita. Tahukah kalian tentang
pelajaran ini? Mungkin sebagian dari kalian tak mengenal pelajaran yang satu
ini, atau bahkan semuanya tak pernah mendengar jenis pelajaran ini? Hah,
mungkin saja iya. Sangat bisa dimaklumi, mengingat pelajaran ini hanya ada di
Lord High School. Tahukah kalian tentang Lord High School? Lord High School ini
berada di sebuah negeri yang bernama Vortuna. Seperti namanya juga, negeri ini
dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Vortuna. Simtem yang digunakan di
negara ini semacam sistem pemerintahan di Inggris yang menggunakan sistem
kerajaan dengan Ratu Elizabeth. Banyak orang mengatakan negeriku ini adalah
negeri impian atau dream state.
Perkenalkan,
namaku Chatalijne. Tapi beberapa orang terdekatku memanggil Chatty. Namaku
berasal dari Bahasa Belanda yang mempunyai arti sesuatu yang bersih dan murni.
Kurasa pantas jika nama itu tersemat pada diriku. Mengingat aku bisa dibilang
mempunyai perawakan propotional. Tinggi,
putih, semampai, rambut pirang tergerai indah hingga punggung, serta mata yang
berwarna biru.Aku termasuk
siswa idaman di Lord High School, terutama pada jenjang junior.Ya, perlu
diketahui bahwa Lord High School terbagi menjadi dua jenjang, yaitu junior dan
senior.
Kurasa cukup sudah
perkenalannya.Sekarang kita kembali ke cerita yang sebenarnya.
Di
awal sudah kubilang bahwa kelasku sedang dalam keadaan gaduh saat pelajaran
story.Betapa tidak, saat ini Bu Rose tengah menceritakan kepada siswanya
tentang cerita cinta Romeo and Juliet.Bagi kami cinta merupakan hal baru yang
asing didengar, apalagi di rasakan.Entah cerita itu benar atau tidak, yang
jelas kami antusias.Meskipun sebenarnya masih terlarang bagi kami untuk
mempelajari hal itu. Di Lord High School Seniorlah kami akan mendapat kajian
mengenai cinta. Lucu bukan?Aku juga berpikir demikian.
Oh,
aku melupakan satu hal. Lord High School adalah sekolah khusus yang mempelajari
tentang ilmu sihir.Jadi, kami yang bersekolah di sini adalah anak-anak pilihan
yang mempunyai bakat khusus di bidang ilmu sihir. Perlu diketahui juga, Negeri
Vortuna adalah negeri dimana semua penduduknya memiliki keahlian khusus,
seperti dapat membaca pikiran atau dapat mengetahui masa depan. Di negeri ini,
ilmu sihir adalah keahlian yang bisa dibilang paling banyak pemiliknya.Untuk
itu dengan khusus Ratu Vortuna mendirikan Lord High School.
Usai
pelajaran Story, aku menuju perpustakaan. Sebenarnya ada mata pelajaran lain
yang harus aku ikuti, namun aku sedang dalam perasaan buruk untuk mengikuti
pelajaran itu. Perpustakaan bertempat di gedung C, sedangkan kelasku berada di
gedung A. itu berarti aku harus melewati gedung B untuk dapat sampai ke gedung
C. Melewati gedung B sama saja menguji nyali. Pasalnya gedung B adalah gedung
dimana para senior bersarang.Kalian tentu tahu bagaimana rasanya seorang junior
melewati sarang para seniornya.Mendebarkan.
Ketika
di perjalanan menuju perpustakaan, tepatnya saat di gedung B, aku melewati
sebuah kelas yang terdengar lebih gaduh daripada kelasku beberapa waktu
lalu.Awalnya aku tak menghiraukan hal itu, namun telingaku berdiri ketika aku
mendengar satu kata yang langsng membuat hatiku berdesir.Cinta.Aku melangkah ke
belakang beberapa langkah.Menyesuaikan tubuhku pada jendela agar aku bisa
melihatdan mendegar dengan jelas.
Terdengar
sayup-sayup sang guru menerangkan apa itu cinta.
“Kalian
tahu, cinta adalah sebuah rasa yang pasti akan kalian rasakan.Perasaan yang
bahagia ketika bertemu atau hanya memandang seseorang.Rasa mengagumi yang
sangat.Namun, jangan sekali-sekali melanggar peraturan. Kalian tahu bukan bahwa
di negeri ini cinta baru dapat di realisasikan ketika kalian lulus dari
sekolah.”
Aku
terkejut dengan penjelasan guru itu.Ada-ada saja peraturan semacam itu.Tapi,
memang itulah kenyataan di Negeri Vortuna ini.Aku merasa sudah cukup mendengar
penjelasan illegal dari salah satu kelas seniorku ini. Aku akan segera beranjak
melanjutkan perjalanan ke perpustakaan. Banyak yang akan aku lakukan di sana.
Daripada aku hanya berdiam diri di sini dan mendengarkan hal yang belum menjadi
porsiku.
Aku
mulai langkahku dengan satu langkah ke belakang, namun belum sempat aku
melanjutkan langkah keduaku ke depan, tubuhku terasa menyentuh tubuh lain.
Astaga, ada orang di belakangku.Aku ingin melarikan diri selagi bisa, namun
terlambat sudah.
“Estrofia
Frozen,” sebuah mantra terucap dari seseorang di belakangku.
Dengan
mantra itupun seketika tubuhku seakan membeku, dan tak bisa berbuat apa-apa,
aku pasrah. Kemudian tubuh itu bergeser menuju ke depan tubuhku, dan aku baru
dapat melihat siapa seseorang itu. Ternyata ia adalah seniorku. Habislah aku
ketahuan menguping.
“Hei,
anak kecil kenapa kau di sini?Kau menguping ya?” tanyanya padaku sambil
mengarahkan telunjuknya padaku.Aku hanya bisa menggerakkan kedua bola mataku ke
kiri dan ke kanan untuk menjawab pertanyaannya.
“Kalau
begitu kenapa kau berada di jendela kelasku?Hei, gadis kecil, tahukah kau
perbuatanmu ini menyalahi peraturan sekolah kita.Bukankah kau tahu seorang
junior dilarang mengetahui materi pelajaran seniorya?Kau tahu seberapa
bahayanya jika kau mengetahuinya disaat yang belum tepat?” serentetan
pertanyaan meluncur dengan cepat.Aku hanya diam.
Sepertinya
seniorku ini mengerti keadaanku. Akhirnya ia melepaskan mantra dari tubuuhku.
“Eskafia
Frozen.”
Aku
tersenyum membalasnya. Aku hendak melangkah pergi sebelum posisiku menjadi
semakin dekat dengan seniorku ini saat ia semakin mendekat ke arahku. Sedangkan
aku tak dapat merubah posisiku, karena aku sudah terpepet di dinding.Aku
semakin takut dengan keadaan ini.Hampir aku berteriak, namun urung ketika
tangannya dengan sigap menutup mulutku.
“Aku
akan melaporkanmu kepada guru kalau kau sudah melanggar peraturan Lord High
School.Tapi, aku masih berbaik hati. Aku tidak akan mengadukanmu jika kau mau
menuruti satu hal permintaanku. Bagaimana?” ujarnya mengajukan penawaran.
Aku
tak menjawab, hanya mengangguk pasrah.
“Bagus,
kau tahu kan dua hari lagi Lord High School akan merayakan hari ulang tahunnya.
Kau pasti juga tahu tradisi di sini kan, meskipun kau masih seorang junior.
Permintaanku mudah saja, kau hanya tinggal menjadi rekan dansaku saat
malampuncak nanti.Setuju?” ucapnya dengan senyum licik.
Aku
terdiam lagi.
“Baiklah,
aku menganggap diammu adalah persetujuan.Temui aku di tempat pesta pukul 21.00,
paham?”
Usai
mengatakan hal itu ia langsung melepas bungkamannya dan melenggang pergi
meninggalkanku dalam kebingungan. Ya Tuhan, orang macam apa dia. Bisa-bisanya
mengajak seorang gadis ke pesta dansa dengan cara seperti itu? Sangat tidak
elite. Untunglah aku sempat melirik papan nama di dada kanannya. Newell Orlando.
Nama yang cukup bagus.
*****
Dua
hari berlalu begitu cepat. Malam ini akan menjadi malam yang paling indah bagi
seluruh siswa Lord High School. Namun, tidak denganku. Bagaimana tidak, sejak
kejadian pemaksaan beberapa waktu lalu hampir tak dapat berpikir jernih,
gara-gara otakku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi malam nanti.
Ah,
aku terlalu pusing untuk memikirkan hal itu lagi. Aku memutuskan untuk
mengunjungi perpustakaan dimana aku akan mendapatkan ketenangan dalam setiap
detikku. Sejak kejadian beberapa waktu lalu aku jadi mempercepat langkah kakiku
saat aku memasuki kawasan gedung B. Aku takut jika aku harus bertemu dengan
senior Ando, Newell Orlando.Ketika aku sampai di perpustakaan barulah hatiku
lega.
Aku
mulai memilah buku yang akan aku baca.
“The
Secrets of Love, Orlavondo,” aku mengucapkan mantra yang akan membuat buku yang
aku mau datang ke tempaatku duduk saat ini. Menakjubkan bukan?
Aku
membaca lembar demi lembar.Aku sangat menyukai buku-buku, apalagi jika dalam
buku itu menyimpan gambar. Karena buku di negeri ini yang di dalamnya terdapat
gambar, gambar itu akan bergerak layaknya dalam film. Tiba-tiba sebuah surat
bersayap datang di hadapanku dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Aku bingung.
Tiba-tiba surat itu membuka dengan sendirinya. Mulai kubaca huruf demi huruf di
dalamnya. Ternyata surat dari senior Ando yang memperingatkan aku tentang malam
ini. Ya, aku tidak akan lupa.
*****
Malam ini aku tampil berbeda
dari biasanya.Biasanya aku hanya mengenakan rok pendek dan blazer seragamku,
atau jika aku di rumah, aku hanya mengenakan celana jeans dan kaus polos.Namun,
tidak malam ini.Aku mengenakan gaun panjang hingga ekornya dapat menyapu
lantai.Ini adalah kali pertama aku mengenakan pakaian semacam ini. Jika bukan
karena ketentuan pesta, tak akan aku mau repot-repot berpakaian semacam ini.
Kembali kuperjelas, aku
mengenakan gaun panjang berwarna putih dengan hiasan payet-payet berkilau di
bagian dada dan hiasan bunga mawar putih mengelilingi pinggangku.Rambutku
kutata sedemikian rupa hingga menyerupai gelungan indah. Tak lupa kusematkan
jepit bulu putih yang akan memperindah rambutku. Aksesoris lain yang harus aku
kenakan adalah topeng. Karena konsep pesta malam ini adalah pesta topeng.Satu
lagi, aku juga mengenakan sepatu high heels warna perak yang juga
menyempurnakan penampilanku.
Aku siap.Aku memasuki gedung
pesta dengan perasan bercampur.Senang namun takut jika harus bertemu dengan senior
Ando. Kuharap ia lupa dengan permintaannya. Baru saja aku berharap, sosok itu
muncul dari kejauhan.Berdiri tegak menatap ke arahku. Aku tak begitu bisa menangkap
ekspresinya, namun aku tahu kalau ia menatapku. Perlahan ia melangkah mendekati
aku. Aku mulai bingung. Saat ia telah berjarak satu langkah dariku, ia
memintaku menatap matanya.
“Feloshiane Ich Liebe,” ia
mengucap sebuah mantra. Kemudian menariku meninggalakan keramain dalam gedung
pesta.
Kami menuju ke labirin di
tengah gedung A dan gedung B. Di sana lampu taman bersinar redup namun indah.
Senior Ando membawaku semakin dalam ke dalam labirin ini.Tiba-tiba aku merasa
gaunku tersangkut dan langkahku macet.Namun, karena senior Ando tetap
menarikku, aku jadi terjatuh ke arahnya, dan kami berpelukan.Sungguh tak
terduga. Tapi apa ini, mengapa jantungku berdegup dengan kencang? Astaga..
“Maaf,” ucapku pelan.
Kami melepas pelukan tak
sengaja itu dengan cepat.Aku canggung.Senior Ando melepas topengnya.Mata indah
itu menatapku dalam, aku takut menjawab pandangan itu.Namun, tiba-tiba tangan
senior Ando melepas topengku, dan terlihat jelas wajahku di bawah sinar
rembulan yang redup.
“Cantik,” sayup-sayup
kudengar ia mengatakan hal itu.
Aku tersipu malu.Kemudian
aku merasa wajahku disentuh olehnya.Ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku takut,
aku memejamkan mataku.Aku merasakan sebuah sentuhan di bibirku.Sebuah
ciuman.Aku membalasnya dengan senyuman, kemudian memeluknya.Erat. Seketika
lampu taman mati, dan kami berada dalam kegelapan.
Kalian tahu apa arti senyumku?
Aku menerima cinta senior Ando kepadaku. Berawal dari dia mengucapkan mantra di
tengah-tengah pesta kepadaku, yang sebenarnya aku tahu itu adalah mantra yang
akan membuat seseorang jatuh cinta kepadamu. Namun, sebenarnya mantra itu tidak
bekerja terhadapku, karena mantra itu hanya bekerja ketika seseorang yang
mengatakan sudah menginjak usia 20 tahun. Sedagkan senior Ando belum mencukupi
usia tersebut.
Sebenarnya ada yang belum
kalian ketahui tentang serba-serbi negeriku ini. Di negeriku ini, seseorang
akan merasakan cinta jika seseorang yang mencintaimu telah menciummu, dan itu
telah terjadi kepadaku. Jadi, bukan karena mantra yang ia ucapkan padaku
sehingga aku mencintainya. Namun karena ciumannya kepadaku yang membuat aku
membalas cintanya. Sebenarnya aku tahu jika hal ini sangatlah salah, namun
biarlah lika-liku labirin dan redupnya sinar rembulan yang akan menutupi apa
yang kami rasakan dari semua orang. Juga biarlah kami yang menjalani setiap
belokan dan kebuntuan dalam labirin cinta kami, cinta pertama.
Musim Cinta
Aleya Najma
Kawan,
akan kuceritakan padamu tentang tempat tinggal temanku, yang jika kuberitahu
namanya, mungkin kau tak akan pernah tau tempat apa itu. Hidup satu abad di
negerinya membuatku sedikit banyak mengerti tentang dunia mereka. Jangan salah
sangka dulu. Aku bukanlah satu-satunya jenis manusia pitechantropus erectus
yang masih tersisa di dunia ini. Jika kalian percaya, usiaku masih sangatlah
belia, 17 tahun.
Asal
kalian tau kawan. Satu tahun di negeri kita , sama dengan sepuluh dasawarsa di
negeri mereka. Ya, satu abad. Yang membuatku lebih bingung adalah, satu abad di
negeri mereka sama dengan 360 hari di negeri kita. Satu tahun. Kau tau kenapa?
Temanku bilang, itu adalah kesalahan besar leluhur mereka yang mengganti
istilah tahun dengan abad. Aku terpingkal ketika temanku menceritakan hal itu. Tapi
lalu dipukulnya kepalaku penuh kekhawatiran.
“Kau
tak boleh tertawa hingga terlihat gigi.”
“Kenapa?”
“Di
negeriku, tertawa hingga terlihat gigi itu pelanggaran norma kesopanan. Kau
bisa dipenjara.”
Ini
sangatlah menarik kawan. Bahkan ketika kau melihat hal terlucu sekalipun, kau
harus mengatupkan dua bibirmu hingga rapat. Barulah kau boleh tertawa
terpingkal sepuasmu. Ingat, jika sampai bibirmu membuka, kau akan dipenjara.
Sulit dibayangkan? Tidak. Aku sudah pernah satu tahun hidup tanpa terbahak.
Aku
semakin heran dengan tempat ini. Bahkan untuk tahu bagaimana aku bisa sampai di
negeri ini, aku harus berkawan dengan entah. Saat itu ketika aku terbangun,
tiba-tiba aku sudah berada di sebelah monumen wortel di tengah kota.
Disekitarku muda-mudi seusiaku sedang malu–malu untuk saling menatap satu sama
lain. Di sudut lain, yang kulihat adalah muda–mudi sedang bertukar surat, dan
bersemu ketika masing-masing telah mendapatkan suratnya.
Hei,
tak hanya mereka. Seluruh kota sepertinya penuh sesak oleh pasangan-pasangan
yang bertingkah hampir sama. Apakah mereka sedang merayakan hari salah tingkah
nasional? Kenapa yang melakukannya hanya anak mudanya saja?
Temanku
menemukanku di antara pasangan muda-mudi itu. Melihatku hanya sendiri, ia
menarikku menjauh dari kerumunan. Ia paham aku adalah makhluk asing yang
tersesat di negerinya. Tak bisa heran. Di sini terlalu sering terjadi hal aneh
yang tak bisa ditemukan di negeri kita. Seperti guide, dijelaskannya
padaku tentang segala yang kulihat.
Negeri
ini dipimpin oleh seorang Kepala Negara yang cakap. Kesopanan menjadi barang
yang sangat murah. Kau tau? Barang termurah di negeri ini adalah senyuman. Kau
bisa saja mendapatkannya secara cuma-cuma tanpa harus melakukan apapun dari
setiap orang yang kau temui, sekalipun kau tak mengenalnya.
Seperti
temanku ini. Laki-laki yang sangat gampang menebar senyum. Usianya sekitar 35
abad. Ia tinggal di rumah panggung di tepi kanal pinggir kota. Di tepi kanal
itulah aku tinggal selama satu abad di negeri ini. Di tepi kanal itu pula kudapatkan
banyak sekali cerita tak terduga tentang negeri ini.
“It’s
time to eat,” temanku menggandengku ke meja makan. Saat makan adalah best
time. Manusia normal dibelahan bumi manapun pasti menyetujui pernyataan
ini. Meja makan telah siap. Aku hanya tinggal duduk , mengambil roti, daging
asap, telur mata sapi, selada, bawang bombay, dan sedikit maizena serta saus
tomat sebagai topingnya. Sayangnya daging asap dan telur mata sapi yang kucari
tak ada disana. Oh, aku lupa satu hal. Semua orang di negeri ini adalah vegetarian.
Tak boleh ada unsur hewan apapun di makanan mereka. Jika di ketahui makanan
mereka mengandung hewan, mereka akan terkena pasal “Penggunaan unsur hewan pada
makanan” dan tentu saja dipenjara.
Ini
sangat keren. Meskipun manusia-manusia di negeri ini tentu sangat rendah akan
protein hewani. Mereka tak pernah
membunuh binatang untuk kepuasan sendiri. Apalagi sampai berburu menggunakan
senapan yang bisa membuat punah hewan –hewan malang di hutan sana. Sangat tidak
mungkin terjadi.
Urusan
makan usai. Saatnya aku jalan-jalan berkeliling kota. Sangat indah. Sepanjang
jalan yang kulihat adalah pohon oak berdaun sedikit di ujung-ujungnya. Ini
musim semi, aku datang disaat yang amat tepat. Di musim ini aku bisa
menyaksikan satu fenomena aneh. Musim semi, berarti musim jatuh cinta. Muda–mudi berusia 17- 30 abad akan merasakan
virus-virus jatuh cinta yang menyerang dengan ganas. Hanya bagi yang berusia
17-30 abad yang belum menikah. Bagi yang sudah pernah jatuh cinta, cintanya
akan bersemi kembali. Sedangkan bagi yang belum pernah jatuh cinta, maka ia
akan merasakan sensasi cinta pertama.
Tak
heran jika sejak aku datang, taman kota selalu ramai dengan muda-mudi yang
berkencan, pedagang bunga selalu kehabisan stok, penjual amplop surat sering
memesan lebih banyak barang, dan tukang pos banyak berlalu –lalang dijalan
raya. Musim semi rupanya juga membuat para-para itu kebanjiran rejeki.
Ini
sangat lucu. Aku hanya bisa tersenyum saja melihat muda-mudi itu bertingkah.
Berharap, kelak ketika aku kembali ke negeriku, aku juga akan merasakan jatuh
cinta. Lebih tepatnya, cinta yang pertama.
Sayangnya
ada cerita lain. Aku merasakan cinta pertama itu disini. Entahlah, padahal aku
bukan penduduk asli yang mau tidak mau harus merasakan cinta sesuai musimnya.
Kata temanku, itu karena aku sedang berada disini, maka aku harus mengikuti
aturan main di tempat ini.
Aku
jatuh cinta pada anak gadis tentangga. Seperti halnya muda-mudi lain, kami
saling bertukar surat, bersemu saat bertemu, dan diam-diam saling memikirkan saat
malam tiba, berdoa menjelang tidur supaya dipertemukan lewat mimpi malam ini.
Apa
tadi? Aturan main? Apakah disini semuanya diatur, termasuk ketika harus jatuh
cinta?
Tentang
itu, ada cerita yang datang dari zaman beratus abad silam. Ketika itu, ilmuwan
kota sedang bad mood berat. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia lalu
dengan jailnya mengutak–atik software pembuat program. Meraciknya dengan
berbagai bahan yang diinginkannya dengan serabutan. Jadilah program love season. Tanpa pemikiran
yang panjang, diterapkannya program itu. Sehingga yang terjadi di negerinya
adalah sesuai dengan program yang dibuatnya.
Seluruh
penjuru negeri resah minta ampun. Cinta yang seharusnya murni dan kekal, harus
putus nyambung karena itu. Sang ilmuwan semakin tak peduli. Ia malah menambah
karyanya dengan fitur–fitur yang lebih gila.
Suatu
hari cinta sang ilmuwan terbalas. Ia tak lagi bad mood. Ia bermaksud
menghapus program gila yang dipasanganya di komputer kota beberapa bulan silam.
Tapi percuma. Ia lupa jika software nya dipasang permanen dan tidak bisa
dihapus meski komputer telah rusak sekalipun.
Akhirnya
dengan pikiran yang berbelit-belit, ia hanya bisa memperbaiki kejadian-kejadian
yang diprogramkan. Soal cinta musiman itu, tak boleh ada sedikitpun harapan
untuk lepas darinya. Selamanya cinta musiman akan terus terjadi di negeri itu,
dan tentu saja menjadi ciri khas negeri itu.
Ada
tiga musim lain lagi yang belum kuceritakan. Musim pertama setelah musim semi
adalah musim panas. Seiring memanasnya suhu di kota ini, suhu percintaan yang
melanda muda-mudi yang baru saja jatuh cinta di musim semi lalu juga memanas.
Tempat-tempat diseluruh kota semakin ramai. Lebih ramai dibanding saat musim
semi. Saat musim semi, mereka hanya salah tingkah bertemu pasangannya, duduk
berjauhan, menunduk ketika diajak bicara, dan main lirik-lirikan tak berani
memandang. Saat berjalanpun mereka minimal berjarak satu meter. Berbeda sekali
dengan musim panas. Mereka lebih banyak
berkencan, duduk lebih dekat, memandang lekat-lekat ketika diajak bicara,
seakan mereka sedang berlomba-lomba membuktikan bahwa mereka benar-benar sedang
jatuh hati.
Kencan
mulai merambah ke rumah-rumah. Pasangan-pasangan itu saling saling
memperkenalkan diri kepada keluarga pasangannya. Bahkan bagi yang beruntung,
cinta mereka akan terparkir di pelaminan. Berbeda dengan musim lalu , musim ini
adalah rejeki nomplok bagi pedagang perhiasan. Cincin dan kalung adalah barang
terlaku saat ini. Sedikit pemandangan
berbeda juga terlihat dijalanan kota. Tak ada lagi tukang pos yang
berlalu-lalang mengantarkan surat-surat
cinta mereka. Musim ini bukan zamannya. Mereka sudah sangat sama-sama tahu
tentang hati masing–masing. Tak ada yang lebih istimewa dibanding dengan
bertemu langsung dengan pujaan hati.
Berada
di musim ini sangat mengasyikkan. Kau bisa melihat cerita cinta jenis apapun
disini. Serasa melihat 1000 film romantis setiap harinya. Cinta-cinta yang
lebih bersemi dari sebelumnya. Tanpa sadar, ternyata cinta yang kuceritakan
musim lalu tengah memperkenalkan diriku kepada orangtuanya.
Musim
setelah ini adalah musim gugur. Bisa kutebak. Di musim ini akan banyak cerita
yang berguguran. Tidak semuanya memang. Mereka yang sepakat untuk menikah di
musim panas akan tetap melangsungkan pernikahannya. Hanya saja, nasib malang
bagi yang belum ingin serius. Cinta mereka harus gugur dimusim ini. Mau tak
mau, hidup mereka sedang dikendalikan oleh program ilmuwan ceroboh itu. Cinta
yang sedang panas-panasnya bersemi,
jatuh gugur mengikuti musim.
Sebenarnya
mereka bukannya menggugurkan cintanya secara sengaja. Tapi ada saja masalah
yang ditemukan yang membuatnya harus berpisah. Mereka tak berpening-pening
terlalu sakit hati. Toh, mereka akan menemukan gantinya si musim semi
selanjutnya.
Aneka
masalah melanda. Kebanyakan mereka gugur karena terhambat masalah persetujuan
orangtua. Tak jarang diantara mereka berpisah karena ditemukannya pasangan
mereka telah bermain serong.
Bagaimana
sempat memikirkan untuk bermain serong jika dimusim panas lalu mereka sedang
sibuk memanasi cinta dengan pasangannya?
Ternyata
manusia-manusia yang berselingkuh itu melakukan perselingkuhannya dimusim panas
juga. Ketika mereka tak puas dengan target cintanya di musim semi, mereka lalu
memilih untuk mencari pasangan simpanan. Tapi percuma saja mereka menyimpannya
rapat-rapat. Semuanya pasti akan terbuka dimusim gugur ini.
Tunggu
dulu. Menyakiti hati orang itu bukan kesenangan penduduk negeri ini. Bahkan ini
lebih parah dari sekedar melanggar norma kesopanan. Tentu mereka akan
dipenjara, atau bahkan lebih parah bukan?
Tidak
kawan. Pejabat kota tak akan mengambil kebijakan seperti itu mengenai masalah
cinta musiman ini. Khusus untuk cinta musiman saja. Lagipula penduduk negeri
ini tak se-lebay di negeri kita untuk masalah sakit hati karena putus cinta.
Mereka tak sampai meneteskan air mata lalu mengobrak abrik seluruh isi rumah,
bahkan sampai bunuh diri. Bagi mereka, sakit hati adalah hanya untuk sekedar
kekecewaan. Tak lebih.
Oiya,
bagaimana dengan cintaku tadi? Tentu saja musnah. Sama seperti cinta-cinta lain
yang belum ingin serius. Kandas. Orang
tua gadis itu tak menyetujui. Mereka bilang , kami berbeda dunia, beda alam.
Bagi mereka, aku tak lebih dari seorang makhluk asing yang menumpang hidup di
negeri mereka. Lagipula, aku pun tak terlalu yakin dengan cinta yang ini. Hanya
saja, aku merasa hebat bisa merasakan
cinta pertama di negeri antah-berantah yang jujur saja aku tak tau dimana ini.
Setelah
ini musim dingin. Aku belum bisa memastikan apa yang akan terjadi. Sejauh ini
yang kulihat adalah jalanan lengang yang memutih. Bulir-bulir putih lembut
berguguran dari atas langit. Pohon-pohon yang baru saja keguguran daun di musim
gugur membeku. Dipeluk oleh benda putih
dingin bernama slaju itu. Dingin. Sangat dingin. Apa yang terjadi dengan mereka
yang bernasib malang?
Cinta
mereka membeku. Seperti musimnya. Hati mereka juga membeku. Mungkin masih
terbawa kecewa, dan tentu saja hati mereka telah terprogram untuk tak jatuh
cinta di musim ini. Tak ada cinta muda-mudi 17-30 abad-an di musim ini. Benar-benar bersih dari yang
disebut cinta muda-mudi yang belum
menikah.
Aku
salut dengan negeri ini. Bukan soal musim-musim cintanya. Tapi tentang pasangan
–pasangan menikah yang cintanya tetap dan selalu bersemi sepanjang tahun. Tentang yang ini, bukan programan, tapi
memang karena hati mereka telah yakin. Ini tak ada hubungannya dengan
pemrograman cinta seperti cerita love season tadi.
Di
negeri ini tak ada lembaga khusus yang menangani perceraian, karena memang tak
pernah ada pasangan yang berpisah karena perceraian. Hati mereka yang telah yakin berlabuh pada
satu dermaga, akan selalu menjaga komitmen itu apapun yang terjadi. Semoga
kelak ketika kembali ke negeriku, aku akan melihat hal-hal hebat yang pernah kulihat di negeri ini.
Musim
dingin ini hampir membuatku beku. Aku ingin pulang.
Why?
Aleya
Najma
Aku baru saja melakukan riset asal-
asalan tentang hatiku yang sering gundah akhir-akhir ini. Tentu tak akan kulakukan
riset gila ini jika tak ada pemicunya. Entahlah apa namanya, belum bisa
kujelaskan jenis benda aneh yang menggantung beberapa hari terakhir ini.
Mataku memanas jika menangkap
bayangannya. Darahku serasa mendesir ganas ketika dia lewat di depanku.Jantungku seperti dibanting-banting
ketika dia melemparkan senyum kepadaku. Sangat aneh, baru kali ini aku
merasakannya. Pernah suatu ketika aku menanyakan hal ini pada abangku. Sial,
habis aku di tertawakannya “Itu namanya kau sedang jatuh cintrong. Dasar anak
SD.“
Jatuh cinta? Oh, jadi begini
rasanya.
Namanya Pipit. Gadis cantik kampung
sebelah, dan dia adalah teman sekelasku. Badannya semampai, lebih tinggi
dariku, matanya bulat teduh, pipinya tembem tanpa lesung, kulitnya bersih, dan
bibirnya kemerahan. Jika ia tersenyum, wajah imut itu akan menampakkan
keindahan tersendiri. Manis sekali.
Sebenarnya sudah lama aku
mengenalnya. Tiga tahun di sekolah ditambah dua tahun di TK dulu. Akupun juga
sangat gemar menjahilinya, dan selama itu pula, aku tak pernah terpikir untuk menyukainya. Semuanya
berubah ketika aku mendengar berita bahwa ia mengagumiku.
“Katanya kamu unyu-unyu, Yu. Pipit ngefans kamu,” kata Deni terkekeh . Seketika
wajahku serasa panas. Mungkin saat itu aku lebih mirip udang rebus baru
diangkat dari panci. Parahnya lagi, berita itu cepat tersulut keseluruh pelosok
sekolah.
“Cieeeh, si preman punya pacaaar,”
seru segerombol gadis yang biasa kujahili ketika jam istirahat. Mereka lalu
tertawa. Puas bisa membalasku.
“Heh, berani kalian denganku?”
hardikku dengan gaya seperti biasa. Mata melotot, tangan di pinggang, dan satu
kaki menghentak galak.
“Etetet, tuh ada Pipit,”
jawab salah seorang lagi sambil menunjuk kearah belakangku. Perlahan aku
menoleh, sesosok makhluk cantik lewat. Ia menoleh kearahku. Tersenyum, lalu
mengangguk. Ah... ia membuatku meleleh..
“Ciiiieee...”
*****
Aku semakin penasaran dengan Pipit.
Tak puas jika setiap hari hanya main lempar–lemparan senyum saja. Aku ingin tahu rumahnya dikampung sebelah.
Masalahnya, aku sedang ada cekcok dengan anak-anak kampung sebelah. Gara –gara
Deni memalak Uyun seminggu yang lalu, mereka jadi sensitif dengan anak-anak
kampung kami.
“Den.”
“Hm.”
“Aku ingin tau rumah pipit.”
“Di kampung sebelah?” Deni
membelalak. Aku mengangguk.
“Gila kau. Tak mau. Bisa jadi pepes
aku jika injakkan kaki di kampung itu.”
Aku manyun, “Ah, kau Den. Dengan
kawan saja tak mau bantu.”
“Bukan begitu, tapi tahulah kau masalahku dengan bocah –
bocah sialan itu, dengan yang lain saja Yu, Dimas bisa kan.”
Aku diam serius. Mencari-cari cara
lain supaya bisa menjangkau rumah Pipit. Baru kali ini aku berfikir serius
sampai tak bergerak barang sedikitpun. Biasanya aku hanya berfikir sekedarnya
saja. Satu jam aku mematung , akhirnya
bertemu jalan juga.
“Dim,” teriakku pada Dimas yang sedang
bersantai
diranting pohon karsen belakang rumahnya.
“Apa Yu?”
“Punya kenalan anak kampung sebelah
tidak?”
“Ada.”
“Ada yang kenal dengan Pipit?”
“Santi karibnya Pipit, temanku
cari tebu. Aku juga sering main dengan
Pipit jika sedang mencari tebu.”
“Serius kau Dim?” aku terlonjak
semangat, Dimas mengangguk.
“Asek, berarti bolehlah kapan–kapan
aku ikut kau cari tebu?”
Dimas mengangguk lagi. Aku
loncat-loncat kegirangan, mirip orang sedang kesetanan lutung. Dimas hanya
memandangku datar.
“Jangan loncat-loncat, kau sudah
mirip anak-anak perempuan yang genit itu, jika ada yang melihat, hilanglah
citra kau sebagai jagoan kampung.”
Aku manyun.
“Tau rumah Pipit Dim?”
“Tau, kau ingin ajak aku kesana?”
“Pandai kau, Dim.”
“Ah, aku sudah bisa menebak
modusmu. Minggir! Aku mau turun. Kita kesana sekarang,” kata Dimas jutek. Aku terkekeh
senang. Kami menyambar dua sepeda milik kami, lalu mengayuhnya ke kampung
sebelah. Tak lama setelah kami masuk gerbang kampung, Dimas menunjuk –nunjuk
rumah bercat merah muda disebelah kanan jalan.
“Ini rumah Pipit, Dim?” tanyaku semangat.
Dimas tertawa tertahan “Bukan, ini
rumah Santi rumah Pipit di belakangnya,” pipiku memerah . Lalu sepeda kami
melaju ke arah 90 derajat dari jalur semula. Gang kecil berpaving rapi. Dimas
lalu berhenti di depan rumah mungil berkelir hijau segar. Di depannya halaman
luas bertaman. Perpaduan yang asri.
“Ke rumah Pipit untuk pertama
kalinya,”
gumamku dalam hati. Tiba–tiba darahku kembali berdesir kencang.
*****
Gel pengatur rambutku berfungsi
lagi. Setelah vacum satu bulan tak terpakai. Terakhir aku menyentuhnya
ketika mamak
mengajakku datang ke pernikahan Bang
Nanang keponakan mamak.
Aku memang hanya memakainya jika datang ke acara penting saja.
Hari ini pun aku akan datang ke
acara penting. “Cari Tebu Bersama Pipit”, terdengar konyol memang. Akupun
sadar sepenuhnya. Memakai gel rambut lalu berlama–lama dibawah sinar matahari
hanya akan merusak rambutku. Tapi, aku ingin membuat Pipit terpesona dengan
penampilanku. Aku bisa pikirkan urusan rambut rusak nanti saja.
“Wahyu,” sayup –sayup suara yang sudah
kukenal mengaung dari depan rumah. Itu Dimas. Segera kubereskan barang-barang
didepanku, dan bergegas menghambur ke sumber suara.
“Tak jadi ikut?”
“Jadilah... tak lihat kau aku sudah
tampan macam ini.”
Dimas terkekeh tertahan, sambil
menutup mulutnya.
“Mau cari tebu apa mau kondangan
kau Yu?”
“Mau kondangan di sawah tebu,” Aku manyun.
“Jahat Kau Dim, menghina kawan saja
bisamu,”
protesku tak terima. Tanganku mengibas ringan ke pundaknya. Dimas semakin
terbahak.
“Jadi ikut tidak? Kalau tidak, aku
berangkat sendiri ya?”
Dimas mengancam.
“Etetet.. kebiasaan kau,
berangkat!”
Aku dan Dimas lalu mengayuh sepeda
perlahan. Rencananya kami akan mencari tebu di sawah paman Jarwo. Abangku
bilang, akan ada panen besar-besaran di sawah paman Jarwo. Siapa tahu kami
nanti diberi seikat besar tebu-tebu montong. Tapi entahlah. Kata orang–orang
kampungku, Paman Jarwo itu pelit. Ia kadang hanya memberi satu batang saja pada
anak –anak yang meminta. Padahal di atas dua hektare tanahnya, sudah
pekat diselimuti tebu semua. Itu kata orang–orang. Aku sendiri belum pernah
mencari tebu kesana. Biasanya jika sedang ingin makan tebu, aku bisa saja
menebang satu atau dua batang disawah kakek. Ini kali pertama aku harus
berlalah-lelah mengayuh sepeda untuk mencari tebu. Lebih detailnya untuk mencari
tebu bersama Pipit.
“Pipit itu cantik ya, Dim?” tanyaku usai melamunkan Pipit.
“Ya iyalah cantik. Kau benar–benar
suka,Yu?
Kau jatuh cinta?”
“Tak taulah, Dim. Kalau sudah bertanya aneh
macam ini, namanya jatuh cinta kah?”
“Apa? Jadi kau belum pernah jatuh
cinta sebelumnya?”
Aku
menggeleng, “Ini
yang pertama,
Dim,” darahku berdesir lagi. Jantungku berdegup–degup
cepat.
Satu kilometer kami berdua
mengayuh. Perjalanan pendek ini berujung pada deretan sawah yang sebagian besar
ditanami padi. Hanya beberapa petak saja yang ditanami tebu. Mungkin itu yang
disebut-sebut sebagai sawah Paman
Jarwo.
Aku dan Dimas lalu menepi. Memarkir
sepeda di tanggul sungai sebelah sawah, lalu duduk di risdam sungai. Sebentar
kemudian, aku dikagetkan oleh sebuah suara.
“Dimas,” suaranya terdengar agak jauh.
Kami menoleh untuk jarak pandang dekat ke kanan dan ke kiri. Namun tak juga
menemukan pemilik suaranya.
“Dimas,” nama Dimas kembali terpanggil.
Dua orang gadis terlihat berlari–lari kecil dari kejauhan, tangannya
melambai-lambai. Itu Pipit dan Santi.
Kami lalu melambaikan tangan untuk
menjawabnya.
“Sudah lama kau disini?” Santi
terengah-engah.
“Tidak. Baru saja sampai. Duduklah
dulu, tak lelahkah kalian berlari–lari?” Dimas menepuk–nepuk ris kosong
disebelahnya. Santi menurut.
“Eh, Wahyu ikut juga kau?” Pipit
berseru melihatku. Matanya berbinar. Senyumnya yang seperti gula-gula itu
mengembang. Ia terlihat gembira sekali. Heuh, terbang aku dibuatnya. Ragu –ragu
kujawab dengan senyum canggung dan satu anggukan pelan.
“Tumben? Tebu disawah kakek kau
sudah habis kah?” gadis itu lalu duduk disebelahku. Si jantung kembali beraksi.
Seperti berdisko di dalam, dadaku bergerak-gerak. Kucoba mengubah posisi duduk
supaya tak terlihat grogi. Sial, aku malah salah tingkah. Lagipula dari mana Ia
tau kalau selama ini aku hanya mencari tebu disawah kakek. Jangan-jangan ia memerhatikanku? Kepo
tentangku?“Kau
membuatku GR,
Pit,”
batinku.
“Tidak, ingin cari suasana baru
saja” jawabku canggung, persis seperti orang baru berkenalan. Padahal biasanya
aku selalu berteriak koar-koar memangilnya dengan nama Sapi jika bertemu. Kali
ini aku benar-benar speechless. Seperti ada yang memporak-porandakan
kata-kataku yang akan keluar.
“Kenapa kau, Yu? Tak sedang sakit kan? Biasanya
gemar sekali kau ajak aku ribut kalau sudah bertemu begini,” alis Pipit mengerut. Tangannya yang halus
itu mendarat di dahiku, lalu menariknya kembali ketika tak ditemukannya suhu
tinggi .“Ah, sebentar lagi aku leleh,” batinku.
Badan kecilku serasa tergoncang
ringan. Keringat dingin mulai bercucuran. Kulirik Dimas dan Santi disebelah
kananku. Mereka sedang tertawa heboh hingga hampir jungkir balik. Sial, hilang
sudah citraku sebagai jagoan sekolah.
Aku mencoba menanggapinya sesantai
mungkin. Tapi rupanya aura Pipit menculik tabiatku yang satu ini. Aku kehilangan
kata-kata, gojlokan, kebiasaan
koar-koar, bahkan hasrat untuk menjahilinya. Aku seperti diikat kencang
–kencang sampai berkedip pun susah.
Untung saja Dimas cepat bertindak.
Diajaknya kami bertiga masuk ke rimbunan batang manis yang kira–kira tingginya
dua kali badan kami. Sedikit lega lah, setidaknya ikatan ditubuhku mulai
mengendur.
Tangan Dimas mulai bekerja.
Menyentil-nyentil batang tebu yang menarik matanya. Jika dirasa cocok,
tangannya akan meraba benda yang menggantung di pinggangnya, dan bagai algojo,
ditebaskannya beberapa kali golok tajam itu ke batang yang di sentil-sentilnya
tadi. Begitulah, sang ahli tebu selalu
berhasil mendapatkan tebu yang empuk, renyah, manis, dan tentu saja besar.
Itupun yang dilakukannya ketika sedang mencari tebu disawah kakekku. Jika
sedang mencari tebu dengan Dimas, kami tak perlu repot-repot memotong banyak tebu. Tugasku hanya
membawakan tebu-tebu pilihan bernasib malang itu. Sedang Pipit dan Santi
membantu Dimas menyeleksi batang tebu mana yang nantinya akan disentil-sentil
Dimas.
Tak perlu menunggu lama. Sepuluh
menit kami berpetualang, karung kami sudah berisi delapan batang tebu yang
montong-montong. Jumlah itu sudah sangat lebih dari cukup untuk kami makan.
Mengingat jumlah kami hanya empat, kurasa kami akan berpesta tebu hari ini.
“Menurut kau, kita mencuri tidak, San?” aku mengupas satu batang
tebu. Sial, ujungnya boleng. Semoga
dalamnya tidak.
“Ya mencurilah... Kita belum permisi dengan Paman
Jarwo kan?”
Santi menggigit ujung tebu yang sudah dikerat. Ekspresinya sangat innocent.
“Hoiiii!! Aku masih takut dosa
kawan. Lalu bagaimana dengan tebu-tebu ini?” seperti memegang api, reflek
kulempar batang tebu yang masih setengah kupasan tadi.
“Heleh, preman masih takut dosa
juga kau,
Yu?” Pipit terkekeh lepas. Dilemparkannya satu kerat bonggol tebu kepadaku.
Sepertinya Ia mulai mengajakku ribut. Anehnya, aku hanya senyum–senyum saja.
Tak seperti biasanya yang langsung nyerocos ketika ada rangsangan begini.
“Tak apa, nanti kalau kapan-kapan
kita bertemu Paman
Jarwo, kita baru minta izin. Sudahlah Yu, makan saja itu tebu, sayang kalau kau
buang–buang.” Dimas menyela.
“Tapi kan telat, Dim,” aku masih ragu.
“Yang penting izin,”jawab Dimas tak menggubris. Ia
sibuk dengan batang tebu keduanya. Pipit dan Santi terpingkal puas.
“Kau berdua ini dari tadi gemar
sekali manertawaiku. Sudah puas? Hah?” kuberanikan diri menanggapi yang satu
ini.
“Kau itu lucu ya, Yu?Kalau sedang
tak galak, unyu-unyu,” Pipit masih terkekeh. Mukaku panas. Didalam dada sana
sedang terjadi desiran kencang.
“Kau
membuatku grogi Pit,”
lagi-lagi aku hanya bisa berkata dalam hati.
*****
Sejak tragedi tebu itu, kami
berempat jadi sering bersama. Biasanya Santi dan Pipit yang main ke kampungku.
Tapi lebih sering aku dan Dimas yang main ke kampung mereka. Kami bahkan telah
lupa jika kampung kami sedang berseteru.
Aku menyebut kejadian itu tragedi,
karena hari itu adalah hari yang bersejarah untukku. Pertama kalinya main
diluar rumah dan diluar sekolah dengan Pipit. Kami bermain apapun. Petak umpet,
patil lele, apolo, lipat-lipat kardus bekas rokok, layangan, cari kacang, cari
tebu, membuat gubuk-gubukan, sampai permainan gadis macam pasaran pun sering
kami kerjakan.
Hari ini, jadwal kami sepulang
sekolah adalah main layangan. Meskipun perempuan, Pipit dan Santi adalah
ahlinya di dunia perlayang-layangan. Mereka mengerjakannya sendiri. Meraut
bambu, membuat kerangka, menempeli kertas, membuat ekor, sampai menerbangkannya
pun mereka lakukan dengan sempurna.
Aku jadi semakin kagum dengan Pipit. Cantik, pandai, manis, tak
manja seperti umumnya gadis-gadis lain, dan menurut berita yang kudapat dari
Santi, Pipit itu pandai memasak. Hampir sama denganku yang suka mengutak–atik
pekerjaan mamak jika sedang di dapur.
Ah, kenapa setiap ingat gadis itu
aku jadi seperti mengalami masalah di otak kecilku? Macam kehilangan
keseimbangan. Salah tingkah tak karuan. Aneh sekali orang jatuh cinta itu.
Sekarang aku baru tau, kenapa abangku sering senyum-senyum sendiri sepulang dari surau,
atau loncat-loncat sambil mengepalkan tangan ke udara sepulang sekolah. Pasti ia baru saja mendapat sesuatu entah
senyum entah apa dari Teh
Lilis. Kakak cantik pindahan dari Bandung satu tahun lalu itu.
Lamunanku terpecah ketika kudengar
isak tangis disekitarku
PIPIT?
“Kenapa dia, San?” tanyaku panik.
“Layangannya putus, Yu. Sudahlah Pit, nanti kita buat
lagi ya. Kamu.........”aku tak dengar lagi kata Santi setelah itu, yang harus
kulakukan adalah mengejar layangan yang berlari ke utara itu. Aku harus dapat.
0,5 km aku berlari. Hup, dapat.
Untung saja dia takluk tersangkut di pohon trembesi di depannya. Jika tidak,
bisa kurus mendadak aku mengejarnya.
“Pit..” aku mencoba menenangkan.
Pipit masih saja memeluk lutut sambil terisak sesak dibawah pohon jati
dipinggir sungai.
“Aku sedang tak ingin bergurau, Yu. “
“Aku tak ingin mengajakmu bergurau, Pit. Lihatlah dulu aku pegang apa.”
Pipit lalu bangun dari tundukannya.
Matanya sedikit sembab. Pipi tembemnya basah. Tak tega aku melihatnya.
“Mengapa kau pegang-pegang benang,Yu? Aku ingin layanganku. Aku bahkan
harus mecari 15 lembar koran bekas untuk membuat ekornya. Aku ingin layanganku, Yu,” kembali dibenamkannya kepalanya ke
tangan yang melingkar diatas lutut.
“Lihat dulu kemana ujung benang ini, Pit,” aku menggoncang tangannya pelan.
Pipit lalu terbangun. Diikutinya arah benang hingga ke ujung
“Itu?”
“Iya, ini layanganmu,” kuserahkan ujung benang ini ke
tangannya. Pipit masih tak percaya.
“Dia mengejarkannya untukmu, Pi.Jangan menangis lagi ya,” Santi menepuk-nepuk pundak Pipit, lalu melirik wajahku
dan mengedip. Begitupun yang dilakukan Dimas. Wajahku memanas.
Senyum Pipit mengembang lagi. Air
matanya kembali menetes. Mungkin dia bahagia layangannya kembali. Masih saja aku
tak tega melihatnya menangis. Rasanya ingin kuhapus titik air di pipinya itu,
tapi aku tak kuasa menggerakkan tanganku. Pada akhirnya, Dimaslah yang
menghapus air mata Pipit. Dimas?
*****
“Kau ini kenapa,Yu? Sedih sekali sejak kemarin. PMS
kau?” Dimas mengejarku. Aku menggeleng, merajuk, dan ngeloyor pergi. Dimas masih saja membuntutiku. Mulutnya tak
berhenti bergerak, menjelaskan berbagai hal padaku. Aku tetap tak peduli, yang
ku tahu Dimas menghapus air mata Pipit.Entah apa maksudnya, aku sakit hati.
Sangat amat sakit sekali kuadrat.
“Tak ingin melihat wajahmu lagi aku, Dim. Jangan temui aku lagi,” aku lalu berlari. Dimas tak
mengejarku lagi, yang kudengar hanya ia
memanggilku, setelah itu aku tak peduli.
Aku telah sampai di tanggul danau.
Agendaku hari ini adalah memancing ikan dengan Pipit dan Santi. Tanpa Dimas.
Kucoba memasang wajah seceria mungkin.
“Tumben tak datang dengan Dimas?”
Santi telah standby di tepi danau. Lengkap dengan seperangkat alat
pancing sederhana, disampingnya Pipit tengah menggelar alas duduk untuknya menunggu pancing di tenggak.
“Sakit,” jawabku sekenanya.
“Sakit? Aneh sekali. Kemarin Dimas mengantar
lemang kerumahku. Dia sehat-sehat saja,”
Santi heran.
“Tidak tau, tadi ia tak mau berangkat. Katanya sedang
tak sehat,”
aku berbohong. Tak mau keributanku dengan Dimas diketahui oleh mereka. Apalagi
penyebab kami ribut adalah karena Pipit.
“Ooo..” Santi dan Pipit serentak. Mereka
agak tak memerhatikanku. Aku paham tentang ini. Mereka sebenarnya harus
konsentrasi penuh pada kail pancing mereka. Lama kami terdiam. Tiba-tiba senar
Santi bergerak-gerak. Sudah bisa ditebak. Pancingnya di tenggak. Diangkatnya
satu ekor lele danau berukuran jumbo dari pancingnya, lalu dimasukkannya ke
timba yang sudah disiapkan.
Senyum puas mengembang dari wajah
Santi. Pipit yang melihat temannya berhasil
juga ikut gembira. Wajahnya terlihat lebih bersemangat.
Berdesir lagi sesuatu didalam
tubuhku sana. Wajah ayu itu mendinginkan hatiku yang sedang kalut. Diam-diam
aku mengamatinya lebih lekat. Sangat menenangkan. Apalagi wajahnya lebih ceria
ketika tak lama setelah pancing Santi ditenggak, pancingnya pun juga ikut
ditenggak.
Aku lalu memecah lamunanku sendiri.
Ketika kulihat sekitar 50 meter dari
tempatku duduk ada sesuatu yang menarik. Kuhampiri benda itu, sebuah batu yang
amat cantik. Warnanya putih, bentuknya menyerupai hati. Ukurannya juga tak
terlalu besar untuk disimpan . Tak perlu mengambil pikiran yang panjang. Aku
lalu mengambilnya, dan kembali ke tempat semula.
Senyumku mengembang. Seakan
mengganti kegusaranku yang tadi, ditanganku telah ada simbol hatiku. Simbol
jatuh cinta.
“Cantik sekali, Yu,” Pipit yang tak sengaja melihatku
itu kagum. Aku tersenyum lalu mengangguk.
“Untukmu, Pit.”
“Ah,
bagaimana bisa?”gerutuku
dalam hati, aku benar-benar reflek. Belum pernah merencanakan sebelumnya, yang
ingin ku tahu adalah bagaimana perubahan air mukaku sekarang. Jantungku sudah
berlari-lari kencang sekali.
“Untukku? manis sekali,”Pipit menerimanya. Santi yang
sejak tadi konsen dengan pancingnya sedang ber-cie ria. Wajah Pipit bersemu Ia
terlihat sangat gembira, dicubitnya dengan gemas pipiku yang tak kalah chubby
dari pipinya.Rasanya aku ingin menepi dari sini, dan berteriak kencang-kencang
sekarang juga. Tak salah lagi. Pipit pasti juga tak hanya mengagumiku. Aku
yakin, ia pasti suka denganku.
“Semoga
kau paham Pit. Batu itu, tentang hatiku,” harapku dalam hati.
*****
Besok adalah tepat 10 tahun Pipit
dilahirkan. Aku harus memberikan kado istimewa untuknya. Tak perlu
berpelik-pelik memikirkan kado apa dan dimana aku bisa mendapatkannya.
Santi bilang, Pipit sedang ingin
gelang hitam kecil-kecil yang sedang trend sekarang . Pipit belum sempat
membelinya, karena ia
harus ke kota kecamatan yang jaraknya tidak dekat jika harus mendapatkannya.
Apa lalu aku harus ke kota kecamatan untuk mendapatkannya? Tentu saja.
Setelah menabung berhari-hari dan
mengayuh sepeda terjauh yang pernah kulakukan, dapat juga akhirnya. Lima buah
gelang hitam kecil-kecil, dan sepasang jepit rambut berwarna ungu. Warna
kesukaan Pipit.
Kado sudah cantik terbungkus.
Saatnya aku beraksi. Rencananya aku sekaligus menembak Pipit. Sebelum diserobot
oleh Dimas tentunya. Tekanan dan dorongan dari berbagai unsur ternyata
membuatku kuat juga. Selain itu, ekspresi Pipit yang selama ini salah tingkah
saat aku menggombal pun juga rambu-rambu bahwa Pipit tentu juga merasakan hal
yang sama denganku.
Gadis cantik itu sedang duduk
mengayun-ayunkan kaki di tongkrongan belakang kelas. Aku menghampirinya.
Seperti biasa jantungku berdebar–debar, darah mendesir kencang, keringat dingin
berguguran, dan muka mulai terasa panas. Satu lagi, kakiku lemas. Benar-benar
lemas. Jika dilihat sepintas, mungkin aku lebih mirip seperti penderita
penyakit jantung yang sedang kambuh. Untuk menghilangkan gerogi,
kuhentak-hentakkan kakiku tiga kali ke tanah. Kembali meluruskan niat.
“Pipit, selamat ulang tahun ya,” aku gugup. Kuserahkan kotak kecil
berpita ini. Pipit menerimanya dengan riang.
“Waa..., makasih Wahyu. “
“Sama–sama. Emm... aakuu, mau
bilang sesuatu boleh?” hampir saja penyakit gerogiku kambuh lagi. Tapi segera
hilang ketika Santi mengacungkan jempolnya padaku. Pipit menjawab dengan satu
anggukan pelan.
“Aku suka kamu, Pit,” praktis,lugas, padat, jelas.
Air muka Pipit berubah. Sepertinya ini pertanda buruk, dari
kejauhan Dimas berlari-lari
kearah kami. Jangan-jangan?
“Lalu selama ini apa,Pit? Ada apa dengan pipimu yang
tiba-tiba bersemu ketika aku menggombalimu?”
Pipit menunduk.
“Atau jangan–jangan kau sudah
menjadi pacarnya?” aku menunjuk Dimas yang baru saja hadir ditengah-tengah
kami. Pipit menggeleng cepat. Dimas hanya melongo tak tau maksudnya.
“Maaf Yu, aku hanya bisa menganggap
kau sebagai adikku. Aku hanya mengagumimu yang lucu. Tak lebih, dan tentang
tingkahku yang itu, bukankah kau sudah
paham? 5 tahun sekelas denganku harusnya kau sudah hafal jika itu memang sifatku.
Siapapun yang bertingkah manis padaku, mukaku akan bersemu. Bukan hanya kau.”
Aku berlari meninggalkan mereka
bertiga. Aku sangat malu. Pertama kali jatuh cinta, pertama kali menembak, dan
pertama kali di tolak.
Ini bukan jalan cerita yang
kuinginkan. Harusnya cinta pertamaku berakhir bahagia. Tapi, kenapa dia tak
menerimaku? Why? Kenapa?
My first love broke my
heart for the first time.
0 komentar:
Posting Komentar