RSS

Kumpulan Cerpen Serba-Serbi Cinta Pertama

Beberapa bulan yang lalu, saya di ajak teman saya bergabung dalam timnya untuk mengikuti kompetisi menulis cerpen. sebagai pengalaman pertama, saya mengiyakan tawaran teman saya tersebut. inilah beberapa tulisan kami .

Cinta, Capek Deh!
Tasmeera E. B.
Cinta...
Huft, cinta...

Eh, apa tadi? Cinta? Huft... lagi-lagi cinta...
Apa sih cinta? Ada apa dengan cinta? Kenapa dunia tak pernah bosan membicarakan cinta? Apa sih spesialnya C.I.N.T.A.?
Kata orang cinta itu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata orang cinta itu adalah ketika hati kita dag dig dug ketemu si dia. Kata orang cinta memberikan energi luar biasa bagi para penikmatnya. Kata orang cinta itu indah berwarna-warni, dan kata orang bla bla bla... Ah, entahlah! Semua kata orang itu terkesan memuakkan bagiku. Kini, benar atau tidaknya opini orang itu mah, aku nggak peduli.
Awalnya aku tak mengeti apa pun tentang cinta. Aku tak tahu gimana rasanya, kapan aku akan menikmatinya, dan kepada siapa aku akan melabuhkannya. Tak ada sedikit pun yang terbesit dalam benakku. Yang ku tahu menjalani hidup sewajarnya, bermain bersama teman seperti biasanya, tertawa dan bercanda tuk menghapus segala duka dan belajar demi masa depan. Eghm, ya, belajar dan belajar. Kewajiban seorang pelajar, bukan? Soal cinta? Ah, mana sempat memikirkannya. Capek deh!
Bukannya aku tak pernah mengenal cinta. Aku mengenalnya melalu sahabat-sahabatku yang selalu bercerita tentang kisah asmaranya. Setiap lagi kumpul bareng, pasti mereka heboh sendiri dengan curhatan masing-masing. Kalau dibandingin sama pasar, dijamin kalah deh ramenya. Tapi, kebanyakan yang keluar dari mulut mereka pasti tentang duka laranya kisah asmara mereka. Bisa jadi hari ini yang nangis Dina, besoknya Nadia, besoknya lagi Risa dan hingga kemudian harinya pasti ada yang nangis. Haduuuh, pusing tujuh keliling kepala ini dengering mereka mewek. Huft, capek deh!
Aku tak tahu gimana ceritanya aku bisa bergabung sama geng beranggotakan 7 orang ini. Kami menamai geng ini dengan sebutan D’Rona Manis. Nama itu berasal dari nama anggotanya, yaitu Dina, Risa, Ola, Luna, Mala (aku), Nida dan Sani. Ke enam temanku ini adalah cewek cantik berbakat di SMP-ku waktu itu. Masing-masing dari mereka punya gebetan dengan latar belakang berbeda-beda dan yang menurutku selalu bikin... capek deh!
Yang pertama, Nida. Si bos geng yang berpostur jangkung, cantik, berkulit putih dan jago main volly. Siapa juga cowok yang nggak kepincut sama cewek keren satu ini? Eits, hati-hati. Cewek cool satu ini udah ada yang punya. Si doi adalah seorang santri salah satu pondok pesantren yang telah lulus SMA dan menurutku nggak jelas asal-usulnya. Udah nggak nerusin kuliah, pengangguran dan lumayan ndugal. Santri sih santri, tapi nggak berperilaku layaknya santri. Dari curhatannya Nida aku bisa menangkap bahwa si doi itu suka banget memaksakan kehendaknya sama Nida. Tapi masih saja Nida betah sama si amburadul itu. Hah, capek deh!
Menuju ke Dina, cewek cantik, smart, cakap, aktifis dan menjabat sebagai ketua OSIS. Telah banyak menaklukan hati para cowok dan punya banyak mantan. Tapi yang paling langgeng pacaran sama anak band yang tidak lain adalah kakak kelasnya sendiri. Maklumlah, anak band, identik dengan sifat playboy-nya. Sungguh tragis kisah cinta Dina. Meskipun sudah memergoki si dia selingkuh, tetap saja ia bersikukuh. Katanya “Aku sudah terlanjur cinta, Mala.” Huft, mungkin ini yang disebut hukum karma. Hah, capek deh!
Risa, pemimpin redaksi majalah sekolah. Setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan memberikan kesan cantik, ramah, supel, dan ekspresif abis. Salah satu cewek paling cerewet di geng ini sangat update dengan gosip-gosip yang beredar di sekolah. Segala macam info, baik itu dari siswa lain, guru, bahkan pak kebun, dia rangkum semuanya. Tapi, entah gimana asal-usulnya, si Risa ini ngegebet adik kelas yang memancing kontrofersi seantero sekolah. Ada gosip yang mengatakan mereka dijodohkan lah, apa lah, itu lah. Memang derita ratu bigos yang digosipin. Hah, capek deh!
Temanku yang satu ini namanya Ola. Cewek styelist, modis dan kemana-mana berlagak kaya artis. Aduuh, illfeel aku kadang lihatnya. Sebuah cermin nggak pernag lepas dari tangannya. Berbagai alat make up tak pernah absen dibawanya. Seperti bedak, facial, eye liner, lip gloss, hand body dan perkakas kecantikan lain yang aku nggak ngerti namanya. Padahal, menurutku tanpa polesan make up pun ia sudah cantik.
 Soal kisah cintanya, menurutku ini sangat aneh. Ia menjatuhkan pilihannya pada seseorang yang usianya terpaut 10 tahun diatasnya. Kalau dilihat-lihat, si cowok lebih pantas jadi omnya. Bayangin aja, Ola yang masih berusia 14 tahun jalan bareng dengan seorang guru Bahasa Jawa yang menurut analisaku, karena tampang katrok, dan udah terlanjur tua jadi nggak laku-laku dan memilih ABG labil yang masih rentan kejiwaannya. Pemandangan yang miris sekali, bukan? Aduuh, benar-benar cinta bikin pusing! Hah, capek deh!
Beda lagi dengan Sani, temanku ini adalah cewek genius yang tekun dan cukup anteng. Meskipun dia jago olimpiade dan sangat hobi berkutat dengan rumus, jang dikira dia kudet soal love. Punya pacar ganteng, tinggi, pintar dan kaya tentu dambaan setiap cewek kan? Nah, Sani udah dapet nih. Tapi kasihan Sani, air matanya harus terkuras karena dibakar apai cemburu. Bagaiman tidak? Ceritanya nih, si doi aktifis dan anak teater. Sudah pekerjaannya kan sering bertemu cewek-cewek di organisasi atau di sanggar teater. Namanya juga konsekuensi punya pacar cakep, pasti banyak yang nge-fans.
Paling nggak tahan kalau lihat Sani nangis pas nonton si dia beradegan mesra dengan cewek lain saat pentas drama. Padahal aku selalu menyarankannya buat nggak nonton karena aku yakin dia pasti makan hati. Tetap saja ia ngeyel dan bilang cuma ingin memberi dukungan biar tampilnya keren. Kadang Sani juga selalu bilang “Udah, aku nggak apa-apa kok. Itu kan emang tuntutan dia untuk kerja profesional. Aku tetap sayang sama dia.” Hellooo, udah ngerti gitu kenapa masih mewek?! Hah, capek deh!
Nah, yang satu ini nih nggak punya pacar alias jomblo. Primadona sekolahku ini berkomitmen buat nggak pacaran dulu. “Fokus ke pelajaran aja dulu. Perjalananku masih panjang. Toh, yang namanya jodoh nggak kemana,” Gitu katanya. Padahal, berjuta pejantan sudah berusaha benar buat mendekatinya. Yaiyalah, siapa yang nggak kenal Luna? Udah cantik, multitalent, punya suara emas, cerdas, sholehah lagi. Senyumnya itu lho, pasti bikin semua yang melihatnya langsung klepek-klepek.
Kalau jalan bareng sama dia nih, pasti banyak siulan terdengar dari berbagai penjuru. Layaknya top model yang berjalan di catwalk dengan hembusan angin yang mengibarkan setiap helaian rambut. Ditambah dengan diiringi musik klasik dan gerakan slow motion. Aduh, alay mode on. Kembali ke topik. Ya, begitulah nasib seorang primadona. Tapi, setiap aku mendengarkan curhatan Luna tentang para cowok yang berusaha mendekatinya, aku merasa risih sendiri. Ternyata, jadi kaya dia hidup jadi nggak nyaman juga. Hah, capek deh!
Kalau aku... hehe, nggak usah ditanya dan nggak usah ingin tahu ya? Intinya, dengar cerita mereka aja aku sudah merinding. Takut, cemas, khawatir, ngeri, sedih, waah, campur aduk deh pokoknya. Ya, begitulah tadi sekelumit kisah sobat-sobatku di masa SMP yang rumit berkelit-kelit binti melilit. Tapi, sekumpulan cewek D’Rona Manis ini telah mengajariku berbagai hal yang sangat berharga. Terutama tentang ‘love’.
Pertama, jatuh cinta itu bikin sakit. Gimana nggak, lha wong kalau udah terlanjur jatuh pasti terperosok juga. Baru SMS nggak dibales, ditelpon nggak diangkat, nggak ada kabar 1 jam saja, waduuuh, dampaknya parah. Awalnya sih galau nggak jelas, mikirin yang aneh-aneh, terus keterusan dan akhirnya nafsu makan berkurang, malas ngapa-ngapain, dan jatuh sakit deh. Nggak sehat bukan? Bukan hanya berdampak buruk bagi diri sendiri, tapi juga orang lain yang menjadi pelampiasan kekecewaannya. Bisa jadi, bukan hanya fisik aja yang sait, otak dan kejiwaan bisa terganggu tuh! Capek deh!
Kedua, jatuh cinta itu menon-aktifkan fungsi otak.Coba kalian renungkan sendiri kisah teman-temanku tadi.Atau mungkin yang sudah berpengalaman jatuh cinta bisa diingat-ingat. Cinta memang nggak bisa dinalar kan? Kalau cinta sudah merasuk, rasa-rasanya seluruh saraf di otak putus.Mereka nggak bisa berfikir jernih dan menentukan mana yang sebenarnya pantas.Yang penting udah cinta, ngapain dan diapain aja mau.Meskipun harus korban perasaan dan nangis 7 hari 7 malam.Terutama buat kaum hawa yang mainnya pakai hati.Haduuh, mikirnya jadi pakai dengkul kali ya? Benar-benar cinta telah melumpuhkan logika! Capek deh!
Ketiga, cinta adalah salah satu penindasan terhadap kaum wanita.Lagi-lagi aku belajar dari pengalaman D’Rona Manis. Tahu kan, teman-temanku itu sudah banyak membanjiri pipinya dengan air mata. Mempertaruhkan harga diri dan berkorban perasaan.Tapi lelaki yang mereka cintai setengah mati itu malah acuh begitu saja dan semakin menyakiti. Ah, jahat sekali makhluk yang bernama laki-laki ini. Apa iya semuanya sama seperti itu? Aku nggak terima dong! Ini namanya penindasan terhadap terhadap wanita.Bisa juga disebut kekerasan batin dan pelanggaran HAM. Hah, cinta itu kejam. Tapi saying, belum ada lembaga hokum yang mengatur semua ini. Capek deh!
Yang terakhir, cinta itu mnimbulkan wabah penyakit ‘kangker’ alias kantong kering.Nah loh. Yang namanya cinta itu butuh dana yang nggak sedikit. Kalau lagi nge-date apa mau kasih makan si doi kerikil? Nggak kan? Terus, kalau si doi ulang tahun mau dicuekin gitu aja? Butuh kado kan? Ntar kalau nggak ngasih dikira pacar kere, pelit, kikir dan amit-amit.Wah, mau ditaruh mana harkat dan martabat kamu?Lagipula, tuh duit dari mana kalau bukan ngemis ke orang tua?Kalu udah berpenghasilan sendiri sih, terserah.Kalu minta orang tua? Hah, capek deh!
Nah, begitulah… beberapa alasan yang diberikan secara tidak langsung oleh D’Rona Manis kepadaku. Awalnya sih, aku nggak se-sentimen itu sama yang  namanya cinta. Hingga suatu waktu aku mengalaminya sendiri.Sepertinya bukan hanya sebuah penyesalan, tapi juga jera yang berkepanjangan.
Singkat cerita, tanpa aku kehendaki ada seseorang cowok yang tiba-tiba mendekatiku di awal bulan Ramadhan. Ngakunya sih, dia temanku masa SD dulu tapi beda sekolah. Katanya juga aku suka nemenin dia main volley sama temen-temen. Mungkin karena kepalaku baru terbentur sesuatu sehingga agak hilang ingatan, aku sama sekali nggak ingat. Aku tanya deh ke teman-teman SDku dulu. Eh, meeka kenal dia dan ingat masa kecil dulu. Tapi sumpah, aku nggak ingat secuil memori pun.Tampangnya pun aku nggak tahu.
Setiap hari kami SMS-an. Makin hari pula kami makin dekat.Padahal baru 2 minggu kami kenal dan belum saling bertemu, dia mengungkapkan perasaannya padaku.Ku kira itu cuma bercanda. Eh, tak tahunya serius. Itu pertama kali aku merasa ada sesuatu yang membingungkan perasaanku.Perasaan ingin bertemu dan selalu ingin dekat dengannya.Aku tentu belum bisa memberi jawaban.Bagaimana mungkin aku berkata iya kepada orang yang baru aku kenal dan tak ku ketahui rupanya. Tapi, sulit bagiku untuk berkata tidak karena… Ah entahlah! Bikin galau pokoknya. Capek deh!
Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu diluar rumah.Ini juga pertama kali aku berani melanggar peraturan mama.Harus bagaimana lagi, aku dilanda penasaran.Setelah pertemuan diam-diam itu aku mulai ingat dengan masa kecilku.Dia lumayan.Yaa, tak begitu mengecewakan sih.Tapi tetap saja aku ragu.Apalagi setelah aku menghianati mama.
Tiap hari dia selalu meminta jawaban dariku.Masih saja aku bingung harus bagaimana. Hingga suatu hari seorang temanku yang ternyata kenal sama dia memberi tahuku sesuatu yang bikin aku kecewa. Rupanya si dia juga sedang PDKT sama cewek lain. Huh, dasar. Tanpa pikir panjang aku kasih jawaban TIDAK.
Eh, setelah malamnya aku say no, besoknya dia udah jadian sama cewek yang satu itu. Aaaargh… Nyebelin banget tau nggak sih! Ternyata cuma buat main-main doang akunya. Rasanya pengen aku samperin tuh orang terus aku pukulin sama pantat ompreng punya Mbok Ijah. Apalagi setelah aku pergokin bahwa kenyataannya seperti itu, dia memutus kontak denganku.Sama sekali tak pernah menghubungiku.Dasar, abis nyakitin, kabur gitu aja. Capek deh!
Yaa, begitulah, cerita singkat selama 1 bulan perjalanan cintaku yang tragis dan sadis. Huhuhu… (lebay). Tapi aku tak pernah menceritakan semua ini pada D’Rona Manis.Nggak tahu kenapa, aku tak suka berbagi kisah pribadiku.Biarkan saja aku yang tahu.
Sejak saat itu citra cinta dimataku semakin buruk.Lagi-lagi bukan hanya menjadi sebuah penyesalan karena telah melanggar aturan mama dan agama, tapi juga menjadi jera yang berkepanjangan. Buat sekarang hati ini sedang dalam penjagaan yang ketat dan masih akan dibuka suatu saat nanti jika aku sudah punya cukup bekal. Entah kapan.Jadi, bagaimana pendapat kamu tentang cinta?Semua orang boleh berpendapat. Namun bagiku, cinta selalu bikin… Capek deh!



Cinta Merpati
Fifi Tiara
            Marco. Itulah nama seorang anak SMP yang sedang menjajaki masa remajanya. Dia sangat menikmati dunianya saat ini, terutama permasalahan asmaranya yang rumit. Sebenarnya dia bingung mengapa banyak cewek yang suka padanya, apa yang dilihat dari dirinya? Marco sadar, dia tidak terlalu tampan, masalah prestasi masih banyak yang lebih pintar darinya. Tapi kenyataannya banyak cewek yang tertarik sama dia. Salah satunya adalah Lisa. Teman-temannya bilang kalau Lisa suka pada Marco dan dia sering menangis melihat kedekatan Marco dengan Binar. Padahal Binar itu adalah sahabat Marco sejak kecil juga teman Marco kursus renang jadi wajar saja jika mereka sedekat itu.
“Co, tuh si Lisa nangis lagi,” ucap Edo. Edo adalah sahabatku sejak aku mengikuti ekstra pramuka di SMP Harapan II ini.
“Ya ampun gue sampai bosen tiap hari harus denger laporan lo tentang Lisa nangis lah, cemburu lah ini, itu lah,” jawab Marco.
“Ih,lebay banget sih tuh cewek. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit cemburu, pacar bukan istri bukan pake cemburu segala,” sahut Binar.
“Ciye..ada yang jealous nih,” Edo menggoda Binar.
Marco juga bingung mengapa akhir-akhir ini Binar sepertinya ‘bete’ kalau mendengar pembicaraan mengenai Lisa. Ah..tapi Marco tidak mau ke GR-an. Kembali ke Lisa, sebenarnya Marco tidak terlalu mempedulikan tentang perasaan Lisa pada awalnya, tetapi lama kelamaan dia luluh juga dengan semua perhatian yang telah diberikan Lisa kepadanya selama hampir satu setengah tahun ini. Lisa selalu mengirim SMS kepada Marco walaupun hanya menanyakan keadaannya saja, padahal Marco selalu acuh tak acuh pada Lisa tapi dia tidak pernah mundur sedikitpun. Marco jadi merasa bersalah pada Lisa karena Ia selalu membuat cewek berjilbab itu menangis.
“Apaan sih, siapa yang cemburu?” ucap Binar salah tingkah.
“Tuh, tuh,lihat Co gaya Binar ngomong jelas banget kalau dia cemburu sama si Lisa,” lagi-lagi Edo menggoda Binar.
“Udah, kenapa jadi kalian yang heboh sih. Lo juga nambah masalah gue aja, mending kalian bantu gue beresin masalah ini, gue kasihan juga sama tuh cewek lama-lama air matanya bisa abis,” kata Marco.
“Ngapain bingung sih, lo aja yang bikin masalah ini jadi ribet. Si Lisa kan tiap hari SMS lo, ya lo tinggal minta maaf sama dia. Pokoknya pesen gue lo jangan sampai menggantung perasaannya, kasian Bro,” Edo bicara panjang lebar.
“Gitu ya?” jawab Marco setengah menggumam.
“Ya iya lah,  suhut Edo gemas.
            Setelah pulang sekolah Marco segera mengganti seragamnya dengan pakaian rumah dan melihat Hpnya. Biasanya selalu ada satu pesan yang masuk di Hp Marco siapa lagi kalau bukan dari Lisa. Tapi hari ini berbeda, tidak ada SMS dari Lisa. Marco bingung pada perasaannya dia merasa ada yang hilang saat tahu Lisa tidak mengirim SMS seperti biasa kepadanya, dia cemas, sedih, kecewa. Apa gue mulai suka sama Lisa ya? gumamnya. Sampai larut malam dia tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Akhirnya dia memutuskan untuk SMS Lisa.
To: Lisa
Assalamualaikum, maaf ganggu.Gue cuma mau tanya, lo beneran suka ma gue?
To: Marco
Waalaikumsalam, Iya.
Jawaban yang singkat namun mampu membuat Marco membisu, ia tidak membalas SMS Lisa. Bingung, gembira, lega semua menjadi satu. Perasaan ini berbeda dengan perasaannya ketika dia tahu bahwa ada temannya yang suka padanya saat mereka masih duduk dibangku SD dulu, Marco memberikan persyaratan padanya bahwa dia harus mengenakan jilbab terlebih dahulu, baru Marco akan menyukainya, juga perasaan sukanya pada seorang cewek non muslim. Marco kecil berkhayal bahwa suatu hari nanti dia akan membuat cewek itu masuk islam dan ia akan menjadikan cewek itu sebagai pendamping hidupnya. Marco kagum dengan apa yang telah dilakukan Lisa. Dia tidak merasa gengsi sedikitpun karena harus mengirim SMS lebih dulu kepada Marco, dan dia juga tidak lelah memberikan perhatiannya walaupun Marco selalu cuek dengan apa yang telah diberikan Lisa padanya. Apa mungkin Marco telah luluh dan mulai mencintainya juga?
Keesokan harinya, ketika disekolah Marco berpapasan dengan Lisa. Namun tidak seperti biasanya kali ini Lisa tidak menyapa Marco dia memalingkan wajahnya. Apa dia marah sama gue ya? batin Marco.
“Gue kenapa sih, sejak kapan gue jadi perhatian sama Lisa?” gumam Marco lirih ketika dia sudah berada di dalam kelas.
            Setelah kejadian tadi Marco tidak bisa fokus pada pelajaran. Bayangan Lisa dan perasaannya terus berkelebat dipikirannya. Nggak salah lagi gue suka sama tuh cewek?” kata Marco dalam hati.
Pulang sekolah Marco segera mengambil Hpnya tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Dia mengetikkan beberapa kata untuk dikirimkan pada Lisa, tapi ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Ini sulit.
“Ternyata begini ya rasanya nembak cewek. Mending gue dikasih 100 soal fisika daripada harus ngadepin situasi kayak gini,” gumamnya di dalam kamar.
Selama lima belas menit Marco berkutat dengan pikiran dan perasaannya sambil memainkan hp di tangannya. Marco melihat pesan yang akan Ia kirimkan kepada Lisa sekali lagi,
To: Lisa
Gue suka sama lo, lo mau nggak jadi cewek gue?
Akhirnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan Marco menekan tombol ‘send’. Ada perasaan lega setelah Marco mengirimkan pesan itu namun perasaan gundah yang Marco rasakan juga tidak kalah hebatnya, dia memilih untuk menyibukkan diri dan menunggu jawaban dari Lisa. 1 jam, 2 jam, 3 jam berlalu Lisa tak kunjung membalas pesannya. Perasaan Marco semakin tak menentu. Drrrtttt..drrrrtt... Hp Marco bergetar tanda ada SMS masuk.Pasti dari Lisa,” batinnya. Marco segera membuka SMS itu dan kecewa karena yang SMS bukanlah Lisa melainkan Binar. Mata Marco melotot ketika membaca SMS dari Binar, berulang kali Marco membaca SMS itu. Dia tidak percaya pada apa yang telah Ia baca.
To: Marco
Co, sebenernya gue suka sama lo, gue sayang sama lo. Lo suka juga kan ma gue?
“Astaga permainan macam apa ini. Apa yang harus gue lakuin? Kalau Lisa sampai tahu bakal terjadi perang dunia ketiga,” gumam Marco.
Marco benar-benar bingung. Binar yang selama ini sudah Ia anggap seperti saudaranya sendiri suka padanya. Ternyata benar feeling nya selama ini kalau Binar ada perasaan padanya. Hal ini tidak boleh dibiarkan, Marco tidak mau menyakiti hati dua cewek sekaligus dia harus benar-benar bijak dalam menyelesaikan masalahnya ini. Apalagi Binar sahabatnya dari kecil.
To: Binar
Bi, maaf gue nggak bisa. Gue udah anggep lo kayak saudara gue sendiri, gue bersyukur punya sahabat seperti lo, smua perhatian yang gue berikan ke lo itu nggak lebih dari seorang sahabat. Bi, gue juga sayang sama lo, tapi sebatas sahabat, nggak lbh. Sekali lagi gue minta maaf, semoga lo bisa ngerti J.
To: Marco
Ya, seharusnya gue tahu diri. Lo hanya nganggep gue sahabat. Thanks.
Marco jadi semakin merasa bersalah ketika membaca SMS dari Binar. Tapi mau bagaimana lagi perasaan tidak bisa dipaksa, dia cinta pada Lisa, bukan Binar. Sampai Marco beranjak tidur, Lisa tak kunjung membalas SMS darinya. Marco memutuskan Ia akan menemui Lisa besuk dan bicara langsung padanya tentang perasaannya.
Di perjalanan berangkat sekolah hati Marco sudah tak karuan. Hanya dengan membayangkan dirinya akan mengungkapakan perasaannya saja sudah membuat keringat dinginnya mengucur deras, apalagi dihadapan Lisa bisa-bisa Marco pingsan. Tuhan memang Maha Adil, saat istirahat tidak sengaja Marco bertemu dengan Lisa dan ia menyapanya.
“Sa, tunggu!” teriak Marco.
“Iya, ada apa?” tanya Lisa.
“Nanti pulang sekolah ada acara nggak?” Marco mulai gerogi.
“Ngg...Nggak,” ucap Lisa setelah berpikir sejenak.
“Kalau gitu ntar kita ketemu di Coffe Shop deket sekolah ya, ada yang pengen aku omongin,” jelas Marco.
“Iya,” jawab Lisa singkat.
Marco baru sadar kalau dia mulai ber aku-kamu sama Lisa.
Setelah pulang sekolah Marco segera meluncur ke tempat ia dan Lisa akan bertemu. Hatinya mulai deg-degan. Ia tidak mau Lisa menunggunya, biarlah dia yang menunggu Lisa. Marco duduk di dekat jendela paling depan di pojok sebelah barat. Letak Coffe Shop ini sangat strategis apalagi di tempat Marco duduk sekarang dia bisa melihat taman yang tertata rapi didepan Coffe Shop ini dan juga bisa memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Dia sering kesini saat pikirannya berantakan. Namun hari ini ia ingin menjadikan tempat ini spesial dan tidak lagi menjadi tempat yang ia kunjungi saat lagi suntuk saja, melainkan saat dia bahagia. 5 menit kemudian  Lisa datang, Marco segera melambaikan tangan ketika dia memasuki Coffe Shop.
“Hei,” sapa Marco salah tingkah. Lisa hanya membalas dengan senyuman.
“Mau ngomongin apa?” tanya Lisa to the point ketika ia sudah duduk didepan Marco.
“Nggak mau pesen sesuatu dulu?” tanya Marco gugup.
“Boleh,” jawab Lisa.
“Mas, coklat panas satu dikasih gula sedikit. Kamu pesen apa Sa?” Marco memandang Lisa, dan ia langsung menyesali hal itu karena semakin menambah rasa gugupnya.
“Aku..sama aja deh” jawabnya. 5 menit kemudian pesanan kami datang.
“Kenapa kamu kemarin nggak balas SMS aku?” tanya Marco, Lisa diam.
“Aku suka sama kamu Sa, kamu mau nggak jadi pacar aku?” lanjut Marco.
“Co, seharusnya tanpa aku kasih tahu kamu udah tahu jawabannya,” jelas Lisa.
“Jadi kamu mau?” Lisa mengangguk. Marco lega, ingin rasanya ia umumkan pada dunia kalau sekarang Lisa itu miliknya.
“Terus gimana sama Binar?” tanyanya.
“Ca, Binar itu sahabat aku dari kecil, jadi mulai sekarang kamu nggak boleh nangis lagi gara-gara kedekatanku dengannya ya?” jelas Marco.
“Tadi kamu manggil aku apa? Ca? Terus siapa juga yang nangis gara-gara ngeliat kedekatan kamu sama Binar, GR,”ucap Lisa sambil mengaduk-aduk coklat panasnya.
“Iya, mulai sekarang aku manggil kamu Chaca. Bener kamu nggak pernah nangis gara-gara itu? Ya udah deh kita nggak jadi jadian,” canda Marco.
“Ih..apaan sih. Iya,iya aku ngaku. Habisnya kamu nggak peka jadi cowok,” Lisa merajuk.
“Makasih ya, kamu selama ini udah perhatian sama aku. Maaf kalau aku kurang peka,” kata Marco.
“Aku nggak nyangka ternyata kamu orangnya romantis juga ya..” ledek Lisa.
Selama 2 jam mereka menghabiskan waktu bersama disana. Lisa pamit pulang dulu karena dia ada janji sama ibunya. Sedangkan Marco masih tetap disana, bedanya sekarang Ia tidak duduk didalam melainkan ditaman depan Coffe Shop. Rencana Tuhan memang indah, Marco memejamkan matanya dan menikmati udara segar yang Dia anugerahkan untuk kita sebagai makhlukNya. Saat Ia membuka mata dia melihat Binar keluar dari Coffe Shop dengan mata yang sembap.Jangan-jangan, Marco mulai cemas.
“Bi..tunggu!!!” teriak Marco.
Binar tidak menggubris teriakkan Marco. Dia terus berjalan menuju motornya dan Marco segera lari menyusul Binar.
“Bi, sejak kapan lo disini. Kok gue nggak liat lo?” tanya Marco ketika sudah didekat Binar.
“Ya iyalah lo nggak liat gue. Orang lo asyik pacaran sama si Lisa,” ucapnya judes.
“Aduh, judes amat sih.Ntar cantiknya hilang loh.Iya, iya, gue minta maaf. Ya udah masuk lagi yuk?Gue traktir. Gue dan Lisa baru jadian,” ucap Marco senang.
“Co, lo bener-bener nggak punya perasaan ya. Gimana bisa lo ngomong gitu sama cewek yang suka juga sama lo. Jahat, lo jahat,” Binar tidak bisa lagi menahan air matanya, setelah mengucapkan kata-kata itu ia segera mengenakan helmnya dan beranjak pergi dari tempat itu.
Marco bingung harus berkata apalagi. Dia pikir Binar sudah melupakan kejadian tadi malam, ia merasa bersalah kepada Binar. Baru kali ini dia melihat Binar menangis seperti itu dan itu membuat hatinya tersayat-sayat karena Marco telah membuat hati sahabatnya tersakiti. Marco segera mengambil tas dan helmnya di taman dan menaiki motornya. Sampai dirumah ia segera mengambil Hpnya dan mengirm pesan pada Binar.
To: Binar
Bi, Gue minta maaf. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Maaf..maaf..dan maaf.
Setengah jam berlalu namun Binar tak kunjung membalas SMS Marco. Dia takut kalau Binar memutuskan persahabatan mereka, dan Marco tidak akan membiarkan itu terjadi.
Drrrtt...drrrt...
Ada pesan masuk, ternyata dari Lisa. Senyum Marco kembali merekah.
To: Marco
Assalamu’alaikum,
To: Lisa
Wa’alaikumsalam Ca J
Seperti itulah hari-hari mereka berdua setelah jadian. Saling memberikan perhatian. Tapi hari ini pikiran Marco terbagi dua antara Lisa dan Binar. Sampai sekarang Marco tidak berani memberitahu Lisa tentang masalahnya dengan Binar. Ditengah-tengah komunikasinya dengan Lisa, Binar membalas SMS nya.
To: Marco
Iya Co, gak apa-apa. Gue juga minta maaf, sikap gue tadi kayak anak kecil.Gue tadi terlalu emosi. Kita masih bisa jadisahabat kan?
To: Binar
Alhamdulilah, iya lah, Bi.Lo masih tetap sahabat gue sampai kapanpun J
Akhirnya Marco bisa menghela napas dengan lega, masalahnya satu-persatu terselesaikan. Marco yakin malam ini Ia akan mimpi indah karena Tuhan telah memberikan anugerah yang luar biasa hari ini padanya. Besuk dia akan berangkat sekolah dengan status yang berbeda.
Hari ini adalah jadwal latihan rutin untuk ekstra yang Marco ikuti. Setelah Ia sampai disanggar ternyata disana sudah ada Edo, Dina, dan Binar mereka sedang membicarakan masalah pergantian pengurus karena sebentar lagi mereka sudah kelas 9. Aku duduk disamping Binar dan ikut mendengarkan. Tidak disangka ketika kami sedang berunding Lisa datang dan melihat posisi duduk kami, dia pergi sambil mengusap air matanya. Dina langsung menyusul Lisa dan menenangkannya, sedangkan Marco kecewa dengan sikap Lisa yang seperti itu.Padahal kemarin Marco sudah menjelaskan semua kepada Lisa. Ia sempat melihat ekspresi Binar dia kelihatan merasa bersalah.
“Co, lo gimana sih. Kok Lisa nggak lo kejar?” kata Edo. Dia memang sudah tahu tentang hubungan Marco dengan Lisa.
“Bi, lo kenapa?” Marco tidak menggubris kata-kata Edo.
“Kayaknya gue harus keluar dari pramuka,” ucap Binar singkat tapi mampu membuat Marco dan Edo terbelalak.
“Kenapa Bi, kan kemarin kita udah ngomongin masalah itu?tanya Marco.
“Nggak Co, bukan masalah itu. Kemarin mama gue nyuruh gue keluar dari pramuka karena nilai gue menurun akhir-akhir ini,” jelas Binar.
Marco tidak percaya pada apa yang telah dikatakan Binar, ia yakin sedikit atau banyak masalah internal Binar dengan Marco juga menjadi penyebabnya.
“Kenapa lo Bi, kok nangis? Emang hari ini udah dinobatin sebagai hari nangis sedunia ya? Gue heran deh,” celetuk Dina saat dia kembali.
“Binar mau keluar,” ucap Edo.
“Apa? Kenapa, Bi? Apa gara-gara..” belum sempat Dina menyelesaikan kalimatnya Binar sudah memotong.
“Nggak Di, bukan gara-gara itu. Mama gue yang nyuruh. Ya udah, mumpung disini udah ada semuanya, gue pamit ke kalian.Maaf gue egois, maaf gue nggak bisa bantu kalian ngurusin pergantian pengurus. Besuk gue akan nemuin Bu Reni.Sekali lagi maaf,  air mata Binar tak berhenti mengalir selama dia mengucapkan kata-kata itu dan ia langsung pergi.
“Jangan disusul, Di!” kata Marco ketika tahu Dina mau menyusul Binar.
“Biar nanti gue yang ngomong sama dia,” lanjut Marco.
“Ya udahlah, lo cepet beresin masalah lo sebelum semuanya berantakan,” Dina memperingatkan, lalu Marco bangkit dari tempat duduknya.
“Lisa dimana?” tanyanya sebelum pergi.
“Di samping aula,”jawab Dina sambil menunjuk ke arah aula.
Marco segera bergegas menuju samping aula dan benar saja Lisa masih sesenggukan disana.
“Ca...”panggil Marco. Lisa pun menoleh dan segera menghapus air matanya ketika mengetahui kalau yang datang itu adalah Marco.
“Ca, kenapa kamu nangis lagi? Kan udah aku jelasin kemarin kalau aku dan Binar itu cuma sahabat nggak lebih. Aku harus gimana lagi supaya kamu nggak nangis kayak gini. Hampir tiap hari kamu menangis gara-gara masalah yang sama, aku mohon pengertian dari kamu. Tadi kamu juga lihat kan disana nggak cuma ada aku sama Binar tapi juga ada Edo, Dina kita juga lagi bahas pergantian pengurus Ca..” jelas Marco panjang lebar.
“Tapi kan nggak perlu duduk sedekat itu?” Lisa masih keras kepala.
“Ya ampun Ca.. huufft,” Marco menghela napas panjang. Kalau diterusin pasti masalahnya tambah panjang.
“Ok, aku salah. Aku minta maaf, tapi asal kamu tahu Ca, Binar keluar dari pramuka,” ucap Marco kehabisan kata-kata.
“Ap..apa? Binar keluar dari pramuka?” Lisa terkejut.
“Iya. Apa dengan mendengar berita ini kamu masih tetap benci sama dia. Dia rela mengorbankan ekstranya supaya kita nggak bertengkar terus supaya kamu nggak nangis terus Ca..”
“Iya, aku minta maaf. Aku nggak ada maksud supaya dia keluar dari pramuka, tapi aku juga nggak tahu gimana cara mengatasi rasa cemburuku ini, Co..” Lisa kembali meneteskan air matanya.
“Kalau kamu mau minta maaf itu bukan sama aku, tapi sama Binar,” kata Marco menegaskan.
“Iya, nanti aku minta maaf sama dia,” Marco lega mendengar kata –kata itu.
Setelah perbincangan mereka waktu itu, ternyata Lisa benar minta maaf pada Binar atas semua perilakunya. Binar memaafkannya, namun hal itu tidak bisa merubah keputusan Binar untuk keluar dari pramuka. Marco sempat merasa lelah menjalani hubungannya dengan Lisa tapi ketika lelah itu datang ia selalu teringat akan usaha Lisa untuk mendekatinya dan besarnya cinta Lisa untuk Marco. Marco selalu berusaha mengalah jika menghadapi sifat cemburu Lisa, ia tidak mau hubungannya dengan Lisa kandas hanya gara-gara masalah sepele. Tak sedikit orang yang bilang kalau mereka adalah pasangan yang tidak cocok tapi Marco tidak peduli Ia tetap mencintai Lisa apa adanya.
Tidak terasa sudah saatnya perpisahan. Marco dan Lisa kembali menghadapi masalah, mereka tidak siap menjalani LDR jadi mereka berusaha agar tetap bisa satu sekolah. ‘Kalau jodoh nggak kemana,’ sepertinya kata-kata itu nyata dialami mereka berdua saat ini. Keduanya diterima disekolah yang sama, rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak. Marco sempat berpikir bahwa hubungannya dengan Lisa kedepan akan lancar, tidak ada lagi yang bisa membuat Lisa cemburu karena Binar tidak satu sekolah dengan mereka. Tapi ternyata dugaan Marco salah. Lisa ya tetap Lisa dengan rasa cemburunya yang sulit dikendalikan. Dia selalu cemburu ketika melihat Marco dekat dengan teman perempuannya walaupun itu adalah partner nya bernyanyi di band yang Marco dan teman-temannya dirikan sejak ia menjadi siswa di SMA Jingga III ini. Bahkan belakangan ini Marco mendapat informasi kalau ada salah satu teman Lisa yang suka pada Marco dan hal itu sempat membuat Lisa tidak saling menyapa dengan si cewek tersebut selama kurang lebih satu semester. Marco tahu Lisa sangat cemburuan tapi dia sudah terbiasa dengan sifat pacarnya yang seperti itu malah Ia merasa aneh jika Lisa tidak menampakkan wajah manyun dan cemburunya ketika melihatnya sedang bergurau dengan teman perempuannya. Itulah kenyataanya, mungkin orang diluar sana jika menempati posisi Marco Ia akan meninggalkan Lisa, tapi Marco tidak. Ia sangat menikmati semua ini. Cowok yang sekarang sudah duduk di kelas 2 itu pun sadar banyak cewek yang lebih cantik dari Lisa diluar sana tapi sepertinya hati Marco sudah ‘mati rasa’.
Hujan tidak kunjung reda setelah ia dan sang pujaan hati tiba di Coffe Shop dekat SMP mereka dulu. Tempat yang paling bersejarah untuk mereka berdua, dan disanalah sekarang mereka, duduk didekat jendela paling depan di pojok sebelah barat, anehnya tempat itu selalu kosong ketika mereka datang kesana.
“Ca..” panggil Marco, setelah mereka duduk dan memesan coklat panas seperti biasanya.
“Iya, “ Lisa memandang Marco.
“Sebenarnya apa sih yang kamu suka dari aku? Emangnya kamu nggak pernah ya naksir sama cowok lain. Kan banyak juga teman mu yang lebih ganteng dan pintar dari aku,” tanya Marco.
“Sebelum aku jawab pertanyaan kamu, aku mau tahu dulu jawaban kamu kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama kayak yang kamu tanyain ke aku,” jawab Lisa. Marco terdiam dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Tuh kan kamu bingung. Sama Co, aku juga nggak tahu kenapa aku suka sama kamu cinta itu tidak butuh alasan cinta nggak bisa dijelasin kapan, dengan siapa, dimana dan mengapa kita jatuh cinta. Apalagi mengenai fisik. Rasa cinta yang kita miliki itu adalah anugerah dari Tuhan jadi kalau kamu mau tahu kenapa aku cinta sama kamu ya..kamu tanya aja ke Tuhan karena Tuhan yang ngasih perasaan ini,” jelas Lisa sambil tersenyum kearah Marco.
Penjelasan Lisa itu semakin membuat Marco terpana dan yakin akan perasaannya pada seorang cewek yang sedang menatapnya dengan senyuman.
Cinta, satu kata penuh makna begitulah kata salah satu girlband Indonesia. Pernyataan itu memang benar cinta juga mampu membuat seseorang senyum-senyum sendiri, cinta mampu membuat seseorang merasa bahagia, kecewa, sedih dan cemburu. Tapi justru melalui cintalah kita belajar arti menyanyangi, memiliki, dan menghargai perasaan orang lain. Tuhan telah menganugerahkan rasa cinta dalam kehidupannya dan menghadiahkan Lisa untuknya. Marco akan selalu menerima Lisa apa adanya dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Sampai kapanpun cinta Marco kepada Lisa tidak akan pernah pudar. Ia berusaha menjaga hubungannya dengan Lisa sebesar apapun ombak yang menghadang mereka akan melewati semuanya bersama. Marco tidak akan meninggalkan Lisa hanya karena sifat cemburunya, kecuali Lisa yang merasa bosan padanya. Begitulah komitmen Marco dalam hubungan mereka. Ia ingin seperti merpati yang tidak akan meninggalkan keluarganya dalam keadaan apapun dia akan tetap menyanyangi keluarganya. Manusia memang wajib berusaha dan berdoa tapi hasilnya tetap Tuhan yang menentukan. Begitu pula dengan hubungan asmara Marco dengan Lisa. Satu lagi persembahan Marco untuk Lisa, Ia berharap suatu hari nanti dia bisa menyanyikan lagu ini didepan Lisa.
Aku jatuh cinta
Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan
Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada
Sejak kau hadir di setiap malam di tidurku
Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku
Sudah sekian lama kualami pedih putus cinta
Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara
Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku
Kau berbeda dari yang kukira
Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh cinta oh, apa adanya
Tak pernah kuragu
Namun tetap slalu menunggu,
Sungguh aku....
Jatuh cinta kepadanya
Coba...
Coba dengarkan apa yang ingin aku katakan
Yang selama ini sungguh telah lama terpendam
Aku tak percaya
Membuatku tak berdaya
Tuk ungkapkan apa yang kurasa
Kadang aku cemburu, kadang aku gelisah
Seringnya ku tak tentu lalui hariku
Tak dapat kupungkiri..
Hatiku yang terdalam
Betapa aku jatuh cinta kepadanya...
By: Roulette



It’s You
Lathifa Az-Zahra
Suasana hening seketika tercipta saat Pak Hamdan, guru fisika, memasuki ruang kelas. Hari ini adalah hari pembantaian menurutku dan segenap teman-temanku yang menganggap fisika sebagai momok di jurusan IPA. Hari ini hari Senin, usai melaksanakan upacara bendera, kelasku mendapat jadwal pelajaran fisika. Rasanya otakku sudah kosong karena telah gosong dibakar sinar matahari dan terlalu berat menyimpan memori untuk menghapal serentetan rumus-rumus yang dari mana asalnya saja aku tak tahu pasti. Dengan segenggam materi yang aku kuasai berkat belajar dengan sistem kebut semalam, aku mulai membaca soal pertama. Ahh, rasanya pening di kepala. “Soal macam apa ini?” batinku dalam hati. Akhirnya dengan percaya diri yang tinggi, aku menyelesaikan satu per satu soal yang itupun aku tak yakin benar. Dua jam berlalu begitu saja tanpa membekas di hati.
Berlanjut ke jadwal pelajaran jam kedua, olah raga. Sebenarnya aku juga tak terlalu suka dengan pelajaran fisik semacam ini. Tapi aku masih dapat menikmati pelajaran ini, karena banyak waktu yang bisa digunakan untuk bersantai. Seperti biasa, aku harus mengganti kostum. Dari seragam resmi, menjadi pakaian olah raga yang telah ditentukan sekolah. Dengan langkah malas aku berjalan menuju lapangan olahraga yang berada di bagian paling belakang sekolahku. Terik matahari hari ini lumayan membuat keringat bercucuran. Apalagi dengan materi olahraga lari, lengkap sudah. Tak membutuhkan waktu lama, aku segera mendapat giliran lari. Karena memang namaku berawalan abjad yang tergolong awal, Audia Karna Putri atau dipanggil Audy. Dengan sekuat tenaga aku memulai lari 100 meterku dengan start jongkok. Di garis finish, telah menanti sahabatku tercinta yaitu Rosa dengan suaranya yang lantang menyemangatiku.
Satu, dua, tiga…
Aku mulai berlari secepat yang aku bisa, membayangkan aku layaknya anak panah yang melesat tanpa hambatan. Namun, tiba di tengah perjalanan lariku, ada seseorang yang sedang berjalan mundur ke arahku. Aku mulai panik, bagaimana jika aku menabrak orang ini? Benar saja, hanya butuh beberapa detik saja, kejadian itu benar terjadi. Aku menabrak orang itu tepat di punggungnya, dan kami berdua tak dapat menghindar. Untungnya posisi jatuh kami masih aman, aku jatuh dengan kepalaku bersandar pada lengannya yang membuka. Padahal, aku sempat membayangkan posisi jatuh yang memalukan dan semacamnya. Kami sama-sama merasakan kesakitan yang amat, karena aku harus menabrak orang yang mempunya tubuh lebih kuat dariku. Begitu pula dengannya yang harus jatuh karena terdorong tubuhku, ditambah lagi lengannya tertindih oleh kepalaku.
“Au, sakit,” ujarku pelan.
“Memangnya kamu saja yang sakit? Aku lebih sakit. Tidak bisakah kau cepat berdiri dan menghindar dari lenganku? Aku tidak bisa bangun jika kau tetap disitu,” protesnya setelah mendengar keluhku.
Segera aku tersadar dari keluhku dan berdiri. Tanpa menunggu aba-aba dan respon selanjutnya aku segera pergi meninggalkannya yang terlihat heran dengan sikapku. Bukannya aku tak bertanggung jawab, tapi aku sudah cukup malu mengingat kejadian tabrakan ini. Dengan sedikit berlari aku menghampiri Rosa yang khawatir dengan keadaanku.
“Dy, kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?” ujar Rosa khawatir.
“Udah, nggak sakit kok. Cuma jatuh biasa,” jawabku menenangkan Rosa.
“Lain kali hati-hati ya? Tapi, kamu kenal nggak itu siapa?”
“Ha? Memang penting ya tahu siapa yang ditabrak tadi?” tanyaku padanya memastikan.
“Audy, kamu termasuk orang beruntung bisa tabrakan sama dia. Dia itu Kak Adrian, yang sering menang olimpiade fisika itu,” ujar Rosa menerangkan padaku dengan rona wajah terkagum-kagum.
Aku tak merespon penjelasan dari Rosa dan hanya terheran dengan sikapnya yang menurutku terlalu berlebihan itu. Bagiku siapapun orang tadi tak masalah dan tak berefek padaku. Sebelum Rosa bertambah parah, aku segera menariknya ke bawah pohon mangga yang ada di sudut lapangan. Kami menyandarkan diri pada pohon yang menjadi favorit setiap siswa untuk berteduh saat kepanasan di lapangan. Selain tempatnya yang teduh, posisi pohon mangga ini juga sangat strategis. Pasalnya dari pohon manga ini setiap orang bisa melihat keseluruhan sisi lapangan ini. Termasuk aku yang juga dapat mengamati setiap orang yang berada di lapangan ini. Tidak terkecuali seseorang yang beberapa waktu lalu menjadi patnerku menerima musibah. Aku melihatnya tengah lincah memainkan benda bundar yang akrab disapa bola. Aku mulai memikirkan kembali kata-kata Rosa tentangnya. Benarkan ia sepopuler itu di sekolah ini? Tapi, kemana saja aku hingga tak mengenalnya.
--- Lat’z ---
Begitu banyak materi yang harus dipelajari di sekolah, khususnya jika siswa memilih jurusan IPA sepertiku. Tentunya akan selalu bertemu dengan yang namanya eksak. Mulai dari pelajaran kimia, matematika, biologi dan tak ketinggalan fisika. Beberapa orang berpendapat bahwa eksak lebih sulit dari pada sosial. Untuk yang satu ini aku mungkin kurang setuju, karena bagiku IPA maupun IPS sama saja. Sama-sama mempunyai tingkat kerumitan disetiap mata pelajarannya. Untuk menghindari keduanya, aku lebih mencintai bahasa. Menurutku bahasa adalah seni dari hidup. Tanpa bahasa, hidup ini akan terasa kosong. Kecintaanku terhadap bahasa terbukti saat aku sering mengirim artikel, cerpen maupun puisi ke majalah sekolah maupun majalah dinding. Beberapa orang di sekolah ini tidak mengenalku sebagai Audy anak jurusan IPA, melainkan Audy sang Pujangga.
Kali ini aku telah menulis beberapa puisi untuk kukirimkan ke redaksi majalah dinding agar karyaku ikut dimuat pada edisi berikutnya. Tempat pengumpulan karya ini termasuk tempat keramat bagiku. Mengapa keramat, karena aku jarang sekali menginjakkan kakikku di tempat dimana berjajarnya rak berisi buku-buku yang tertata rapi. Meskipun aku mencintai bahasa, namun aku tidak menyukai buku-buku yang bersifat akademik. Aku lebih cenderung membaca karya-karya sastra, seperti antologi, novel dan biografi. Namun, untuk kali ini aku terpaksa harus menunjungi tempat tersebut agar karyaku dapat terpublikasi. Dengan ditemani sahabat setiaku, Rosa, aku memasuki perpustakaan dengan raut wajah sedikit tak suka. Tepat seperti dugaanku, meski saat ini adalah waktu istirahat, namun tetap saja peminat perpustakaan dapat di bilang sangat kecil.
Setelah melepas sepatu dan menatanya di rak yang telah disediakan, aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan gudang ilmu tersebut. Kuedarkan pandanganku sekeliling ruangan. Terlihat seperti sedang mencari seseorang, tapi memang benar aku mencari seseorang. Aku mencari Kak Rio, sang ketua majalah, untuk mengumpulkan karyaku. Namun, setelah beberapa kali kuedarkan pandanganku, tak kunjung ku temukan sosok Kak Rio. Hanya ada teman sekelasnya yaitu Kak Adrian yang terlihat sibuk membaca buku biologi kelas XII. Sebenarnya aku tak punya banyak waktu di tempat ini, namun aku juga tak mau jika harus bertegur sapa dengannya. Aku masih menyimpan rasa malu dan bersalahku padanya yang waktu lalu belum tersampaikan. Akhirnya dengan sedikit paksaan dari Rosa, akupun memberanikan diri menyapanya terlebih dahulu. Namun, belum sempat aku memanggilnya, ia telah menyadari keberadaanku di dekatnya.
“Mau apa lagi ke sini?” tanyanya sinis.
“Mau nemuin Kak Rio. Kak Rionya mana?” tanyaku dengan segera duduk di sebelahnya.
“Oh, jadi kamu yang janjian sama Rio? Kamu siapanya Rio? Adiknya? Atau pacarnya?” deretan pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku ditutup dengan tawa khas darinya.
Tunggu, ada yang mengganggu pikiranku beberapa detik yang lalu saat Kak Adrian tertawa. Aku merasa tawanya sedikit goyah. Ini bukan tawa menghina, tapi aku ragu untuk memutuskan arti tawa Kak Adrian. Seperti ada dua perasaan yang bercampur dalam hatinya. Aku dapat memahami bagaimana ekspresi seseorang menyangkut parasaannya. Memang tak banyak yang mempunyai keahlian sepertiku. Aku pun tak tahu darimana aku mendapatkan keahlian semacam ini.
Lamunanku buyar ketika Rosa menggoyang-goyang tanganku. Aku menoleh ke arahnya, Rosa mengisyaratkan padaku bahwa aku melupakan maksud kedatanganku ke tempat ini. Pandanganku beralih kepada Kak Adrian. Sedikit terkejut memang, saat aku mengetahui bahwa ia tengah menatapku dengan tatapan menyelidik. Dari sanalah baru aku tersadar bahwa sedari tadi aku memperhtikan Kak Adrian tepat di matanya. Dengan sedikit salah tingkah aku berusaha mencairkan suasana.
“Apaan sih, Kak? Aku nitip ini aja, tolong kasihin ke Kak Rio. Makasih,” ujarku sambil menyerahkan beberapa lembar HVS berisi puisi-puisi karyaku.
“Oke,” jawabnya dengan menerima kertas-kertas yang aku sodorkan, kemudian memberikan jempolnya sebagai pelengkap jawaban.
“Ya udah, Kak. Kami permisi,” pamit Rosa tiba-tiba dengan senyumnya yang aneh. Usai berpamitan Rosa segera menarik tanganku dan memintaku segera keluar bersamanya.
--- Lat’z ---
Hari ini adalah hari yang sangat aku tunggu. Karena hari ini adalah hari dimana majalah dinding edisi bulan ini akan terbit. Aku sudah tak sabar menunggu karya-karyaku terpajang dan dapat menghipnotis setiap pembacanya. Diantara tema-tema majalah dinding yang lain, menurutku tema bulan ini sangat menarik dan menantang. Tema majalah dinding bulan ini adalah first love. Sebuah tema yang hangat diperbincangkan, namun asing bagiku. Pasalnya aku belum pernah merasakan yang namanya cinta pertama seperti yang orang-orang katakan. Jadi aku segera ingin tahu apakah imajinasiku tentang cinta pertama itu sendiri sudah cukup bagus bagi seorang yang belum pernah merasakannya seepertiku.
Bel istirahat pun berbunyi, guru juga sudah menutup kegiatan belajar. Aku langsung melesat menuju bangunan seberang kelasku dimana majalah dinding utama terpajang. Saat di perjalanan tak henti-hentinya aku menebar senyum gembaira. Namun, senyum itu kandas setelah aku mengetahui bahwa kolom puisi pada mading bulan ini bukan terisi oleh karyaku. Kecewaku datang. Bercampur rasa tak percaya, aku membaca kembali nama yang tertera sebagai penulis puisi tersebut. Adriando Pangestu. Mataku langsung terbelalak tak percaya dengan apa yang aku baca barusan. Bisa-bisanya puisi-puisiku terkalahkan oleh puisi karya seorang anak yang menggandrungi fisika. Sungguh menggelikan.
Dengan mata berkobar api kemarahan, aku segera berlari menuju kelas Kak Rio yang hanya berjarak beberapa ruangan dari tempatku berdiri saat ini. Terlihat dari kejauhan Kak Rio dan kawannya, Kak Adrian, sedang bersantai di depan kelas. Melihat kedatanganku Kak Rio langsung melambaikan tangan. Namun, aku tak membalas. Ku perlambat langkah kakiku saat telah berjarak beberapa meter dari mereka.
            “Kak Rio jahat. Kak Rio nggak adil,” makiku tiba-tiba kepada Kak Rio.
            “Maksud kamu apa? Aku salah apa sih?” tanyanya bingung.
            “Ah, kakak nggak usah sok nggak tahu. Apalagi kamu, perampas hak orang,” ujarku sambil menunjuk ke arah Kak Adrian.
            Kak Adrian yang merasa tersalahkan ikut ambil bagian, “Apa-apaan sih. Aku nggak tahu apa-apa kenapa disalahkan? Apa salahku padamu? Kenal saja tidak,”.
            Aku merasa kalimat terakhir dari Kak Adrian terlalu sakit untuk didengar dan diterima oleh hatiku. Aku pun mengambil sedikit napas dan memulai bicara. Tapi, tanpa aku sadari air mata yang sedari tadi kutahan ternyata jatuh juga.
            “Kak, aku salah apa? Apa karyaku sudah tidak bagus? Jika iya, bilang saja. Biar aku perbaiki. Tapi jangan tiba-tiba mengambil orang lain untuk menggantikanku. Aku perlu tahu kesalahanku, Kak,” ucapku pada Kak Rio dengan sedikit terbata-bata.
            “Loh, kamu kirim karya? Aku kira kamu libur edisi ini. Kata Adrian…” tiba-tiba kata-kata Kak Rio terhenti karena bungkaman Kak Adrian.
            Aku mulai merasakan keanehan di antara dua seniorku ini. Mereka berbicara lewat pandangan mata, bukan kata-kata. Setelah dirasa mereka telah mencapai kepahaman masing-masing. Kak Adrian melepas tangannya yang sedari tadi membungkam mulut Kak Rio. Belum sempat aku melontarkan protes atas sikap mereka, Kak Adrian sudah meraih tanganku dan menarikku menjauh dari  Kak Rio. Sekarang posisiku tidak lagi di sebelah Kak Rio, melainkan di sebelah Kak Adrian. Aku pun sedikit heran dengan keadaanku saat ini. Tiba-tiba semua terasa jelas saat Kak Adrian membuka suara.
            “Ri, sebenernya ada hubungan apa kamu sama Audy?” tanya Kak Adrian dengan sedikit emosi kepada Kak Rio. Sebelum menjawab, Kak Rio menatapku dan Kak Adrian bergantian kemudian tersenyum.
            “Aku pacarnya Audy. Kenapa?” jawab Kak Rio yang membuat tubuhku seperti tersengat aliran listrik.
            “Kak!” bentakku kepada Kak Rio yang menjawab asal-asalan.
            Bukannya menjawab, Kak Rio hanya mengisyaratkan agar aku hanya diam.
“Kenapa? Kamu ada rasa sama Audy?” tanya Kak Rio spontan kepada Kak Adrian.
Satu, dua, tiga, empat, lima detik berlalu dan tak ada jawaban yang keluar dari mulut Kak Adrian. Sesaat kemudian, Kak Adrian mengencangkan genggamannya pada tanganku yang sempat melemah saat Kak Rio mengatakan bahwa aku adalah pacarnya.
“Maafkan aku Rio,” ujar Kak Adrian sebelum menarikku pergi berlari meninggalkan Kak Rio dalam kebingungan.
Kak Adrian terus saja menarikku untuk mengikutinya. Aku tahu kemana ia akan membawaku, ke lapangan. Tepatnya dibawah pohon mangga yang rindang. Di sana, barulah Kak Adrian melepaskan genggamannya. Ia memutar tubuhku sehingga menghadap tubuhnya. Jarak kami terlalu dekat bagiku, namun aku hanya diam dalam kepasrahan. Selanjutnya ia mengangkat daguku sehingga wajahku mengahadap ke wajahnya.
“Audy, kali ini aku mengesampingkan hubunganku dengan Rio. Entah aku akan di cap sebagai sahabat yang menusuk teman atau apa, yang jelas aku hanya ingin kamu tahu kalau aku mencintaimu,” serentetan kata yang terucap dengan tegas dari seorang yang sebelumnya sangat aku benci, malah membuat debar jantungku meningkat.
Aku hanya terdiam dan tak berkutik.
“Kamu tahu? Tempat ini adalah tempat yang menjadi awal segalanya. Saat insiden itu terjadi, aku merasa bukan hanya tubuh kita yang terbentur. Tapi juga hati kita. Aku memperhatikanmu dari kejauhan, saat kau juga memperhatikanku. Tapi aku merasa kalah saat kau menyerahkan berlembar-lembar kertas kepada Rio yang kau titipkan padaku beberapa waktu lalu di perpustakaan. Aku tahu itu semua adalah karyamu yang akan kau kirim ke redaksi majalah dinding. Tetapi, lewat bahasa tubuhmu aku menangkap bahwa saat itu kau mengharap kehadiran Rio. Sehingga aku tak memberikan karyamu kepada Rio, dan sebagai gantinya aku membuat sebuah puisi untuk menggantikan karyamu agar dapat kuberikan kepada Rio. Semuanya kian jelas saat Rio menegaskan dia adalah pacarmu. Ya, mau apa lagi. Aku telah kalah. Tapi saat ini aku hanya mencoba menjadi lelaki yang tidak mau terkalahkan oleh keadaan. Maafkan aku memberi tahumu tentang yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu tahu, itu saja,” jelas Kak Adrian panjang sambil menggenggam tanganku kembali dan memandang lurus ke mataku.
Usai serentetan penjelsan itu terucap, barulah Kak Adrian melepaskan genggamannya dari tanganku. Aku masih terpaku dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba. Belum sempat aku menjawab perkataannya, ia melangkah meninggalkanku. Namun, dengan cepat aku mencegahnya.
“Tunggu, Kak” ucapku spontan.
Ia menoleh ke arahku, menyimpan sejuta tanya dalam kalbu. Seseorang yang ku nanti telah tiba, Kak Rio, dia yang akan mengakhiri semua ini. Pandanganku dan Kak Adrian beralih ke arah Kak Rio yang tidak datang sendiri, melainkan bersama Rosa.
“Adrian, harusnya kamu juga bertanya kepada Audy, apakah aku ini pacanya?” ujar Kak Rio dengan menahan senyum. Mimik wajah Kak Adrian berganti bingung, pandangannya beralih padaku dan mengisyaratkan agar aku cepat memberi jawaban. Namun, aku hanya tersenyum.
“Kalau kamu ingin tahu siapa perempuan yang aku cintai? Dia ada di sini sekarang,” perkataan Kak Rio menyimpan sejuta rahasia. “Ini adalah perempuan yang sejak dulu aku cintai,” ujar Kak Rio sambil menoleh kepada Rosa yang berada di belakangnya.
Bukan hanya aku dan Kak Adrian saja yang terkejut, tetapi Rosa juga terlihat lebih terkejut daripada kami berdua. Sedetik kemudian, Kak Adrian menatapku. Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya, namun tak bisa. Tak ada lagi yang dapat ku katakan, hanya tersenyum menjawab pandangan dari Kak Adrian. Senyumku telah mewakili segala jawaban di hatiku, aku yakin Kak Adrian sudah cukup pintar menerjemahkan senyumku.
Akhirnya, kami kembali ke area sekolah bersama-sama dengan perasaan bahagia. Aku tak menyangka jika selama ini Kak Rio ternyata menyimpan rasa kepada sahabatku sendiri, Rosa. Namun, yang lebih tidak dapat dipercaya lagi adalah Kak Adrian yang sangat dingin kepadaku dan aku sendiri tak begitu mengenalnya malah menyukaiku. Yang terakhir, aku sangat tidak percaya terhadap perasaanku sendiri bahwa aku telah menjatuhkan cinta pertamaku kepada lelaki yang pada awal jumpa denganku mengalami kejadian tidak menyenangkan. Kurasa inilah cinta yang sebenarnya, yang tak akan memandang kapan dan kepada siapa dia akan berlabuh.



Kau Telah Membawanya (Hatiku)
Fifi Tiara
Cuaca hari ini sangat cerah, matahari bersinar begitu terang memberikan kehangatan untuk semua insan di dunia, dan kehangatan itu semakin menambah semangatku. Hari ini aku berangkat sekolah dengan status yang berbeda. Kenalin aku Bulan, remaja dengan segudang bakat. Tinggi, putih, rambut lurus sebahu, dan ini adalah bagian yang paling aku suka yaitu mata. Kata orang mataku cantik, kata orang mataku mampu meyakinkan orang lain saat aku memaparkan gagasan, kata orang mataku mampu menggoyahkan pendirian, dan masih banyak mampu-mampu yang lain. Aku juga tergabung dalam ekstra beladiri di sekolahku, prestasi terakhir yang aku raih yaitu juara satu beladiri tingkat nasional, juara satu menulis cerpen tingkat provinsi , juara dua piano klasik tingkat nasional dan aku juga merupakan salah satu duta pariwisata dikotaku.
            Bagaimana para cowok? Bukankah aku tipe cewek idaman kalian? Tapi sayang kalian sudah tidak mempunyai peluang lagi karena hatiku sudah ada yang menempati. Kalian pasti sering mendengar ‘cinlok’ antara ketua OSIS dan sekretarisnya bukan? Hal itu aku alami sekarang. Awan ketua OSIS di SMA Permata, tinggi, kulit sawo matang, hidung mancung, bagian yang paling kusuka darinya adalah potongan rambutnya yang diatur sedemikian rupa hingga mirip dengan tokoh kartun captain Tsubasa Ozora, belum lagi ditambah dengan sikapnya yang sopan dan ramah, cewek mana yang tidak tertarik, bahkan hanya dengan melihatnya saja mampu membuat para cewek disekolah ternganga dan mereka langsung meleleh ketika sebuah senyuman tersungging dari bibir Awan. Eitss, tapi kalian sudah tidak mempunyai peluang lagi untuk memiliki Awan, kalian tahu kenapa? Karena dia sudah menjadi milik Bulan sekarang. Ya, baru kemarin kita jadian. Kami pasangan yang sangat serasi bukan? Jika aku jalan berdua dengan Awan pasti banyak tatapan iri, benci, marah, kesal, kecewa dan berbagai ekspresi lain yang tentu saja ditujukan padaku. Tapi aku tidak mempedulikan semua itu aku sudah bahagia, sangat bahagia. Tuhan memang tidak pernah mengingkari janjiNya, “Perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik, dan sebaliknya,” itulah janjiNya untuk kita.
“La!!!” teriak Mira histeris ketika dia melihat aku sudah berjalan dikoridor sekolah.
“Pagi Mira,” sapaku dengan senyum merekah.
“Lo bener jadian sama Awan?” dia menatapku serius. Mira ini sahabatku sejak kami duduk dikelas satu SMP, dan dia juga salah satu fans gelap Awan. Aku tidak tega melihat raut mukanya yang hampir menangis ketika mengucapkan pertanyaan itu.
“Iya, baru kemarin kita jadian,” aku menjawab dengan hati-hati supaya tidak menyakiti perasaannya.
“Hikksss.. gue udah nggak ada peluang dong?” dia menangis.
“Yah Ra kok lo nangis..Udah dong jangan nangis. Gue juga nggak tahu kalau bakal kayak gini, gue nggak ada maksud buat nyakitin lo, maaf,” ucapku merasa bersalah. Tapi tiba-tiba..
“Hahahaha... Bulan..Bulan..ngapain lo minta maaf sama gue. Gue cuma bercanda, lagian lo itu jadi cewek terlalu berperasaan. Selamat ya, lo beruntung dapetin cowok kayak Awan dan Awan juga beruntung dapetin lo pokoknya kalian pasangan yang paling serasi di dunia,” ucap Mira sambil memelukku.
“Dasar, lo itu kebiasaan ya gue kira persahabatan kita bakal berakhir hanya gara-gara gue jadian sama Awan, tapi btwthanks. Eh, ke kantin yuk gue traktir deh..” ajakku.
“Asyik..kebetulan banget gue tadi belum sarapan,” Mira nyengir menatapku.
            Selama perjalanan ke kantin banyak tatapan sinis yang aku terima dari para cewek bahkan beberapa menggunjingku, aku sudah menduga kalau berita ini akan cepat tersebar di seantero SMA Perdana. Tapi ya sudahlah. Ketika kami tiba di kantin ternyata Awan juga sedang sarapan disana bersama teman-temannya. Aduh kenapa gue deg-deg an ya? batinku. Padahal sebelum kami jadian aku biasa saja jika bertemu sama Awan, tapi kenapa sekarang seperti ini?
“Bulan!” Awan memanggilku, dia beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri aku dan Mira. Dia duduk tepat di depanku sedangkan Mira disampingku. Aku menunduk tak berani menatapnya.
“Hai, Ra,” Awan menyapa Mira.
“Em, La besok sore kamu ada acara nggak?” Awan bertanya padaku.
“Bukannya besok sore kita ada acara sama teman-teman OSIS ya?” tanya ku masih tidak berani menatapnya aku mengaduk-aduk jus jerukku.
“Iya, maksud aku setelah acara itu kamu ada acara lain nggak?” Awan sedikit menundukkan kepalanya.
“Eh, kayaknya nggak ada,” jawab ku salah tingkah. Sepertinya Awan tahu apa yang aku rasakan, maksudnya kegugupan ku karena aku mendengar dia tertawa geli. Haduh malu sekali aku.
“Ok, kalau gitu besok habis acara di sini kita jalan. Ya udah aku kesana dulu ya, ntar kalau aku disini kamu nggak jadi makan lagi,” candanya.
 Baru saja beberapa langkah ia pergi dan aku juga baru mengangkat wajahku Awan balik lagi. Kali ini aku tidak bisa menghindari tatapannya. Dia mendekat padaku dan aku mulai gugup.
“Jangan lupa bawa baju ganti,” jantungku berdesir hebat ketika dia mengucapkan kata-kata itu di dekat telingaku. Bukan karena kalimatnya melainkan karena jarak kami yang begitu dekat ketika dia bicara tadi. Oh Tuhan jantungku seperti mau loncat.
“Hmm??” aku menapnya penuh selidik. Tapi Ia hanya melemparkan senyum manisnya. Bukan Awan namanya kalau tidak penuh dengan kejutan.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku mampir sebentar ke toko baju dan sepatu, karena ini adalah kencan pertamaku jadi aku harus tampil perfect. Setelah berkeliling selama hampir satu jam pilihanku jatuh pada dress warna hijau selutut yang dipadu dengan warna putih dan tersemat sebuah pita yang ditata sedemikian rupa hingga terlihat sangat cantik dan juga sepasang high hills senada. Acaraku dengan teman-teman OSIS ini memang sedikit resmi semacam perpisahan sebelum kami naik ke kelas XII dan posisi kami akan digantikan oleh kelas XI kelak. Kubawa hasil belanja ku dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Pikiranku sudah melayang kemana-mana, aku jadi penasaran tempat seperti apa yang akan kami berdua kunjungi nanti dan mengapa Awan menyuruhku membawa baju ganti? Haahhh entahlah kita lihat saja. Senyum ku mengembang.
Sesampainya di rumah aku langsung mandi dan segera menyiapkan diri karena 15 menit lagi Awan menjemputku. Selama berias aku deg-degan karena Awan adalah laki-laki pertama yang berani datang ke rumahku dan meminta izin pada orang tuaku. Aku kenal betul sifat ayah, beliau sangat  keras dan selektif dalam masalah satu ini.Ya maklumlah aku anak satu-satunya, cewek pula.
Ting tong.. bel rumahku berbunyi.
“Haduh, itu pasti Awan. Oh Tuhan lancarkan jalan kami, mudah-mudahan moodayah hari ini lagi baik,” gumamku dalam kamar. 15 menit kemudian aku keluar dari kamar, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Ayah, Ibu dan Awan berbincang dan bercanda dengan asyiknya, seperti sudah kenal lama. Aku lega sekali,“Kayaknya aku dapat lampu hijau nih,” batinku riang.
“Aduh, aduh cantik sekali anak ibu,” pujian Ibu semakin membuatku salah tingkah, lagi-lagi aku tak berani menatap Awan.Tapi aku sempat meliriknya sedikit tadi dia tampan seperti biasa juga tak tertinggal kharismanya yang luar biasa.
“Emm, kalau gitu kami berangkat dulu ayah, ibu,” Awan pamit pada orang tuaku. Tapi eh, dia tadi memanggil orang tuaku apa, Ayah? Ibu? Sejauh itukah kedekatan mereka? Aneh sekali..
“Hati-hati ya nak Awan, Ibu titip Bulan,ibu berpesan pada Awan.
“Jangan pulang terlalu malam,” sambung Ayah.
“Siap,yah..” Awan mengangkat tangannya dan mengaturnya seperti posisi hormat.
“Bulan pergi,yah, bu..” aku berpamitan pada Ayah dan Ibu.
Sesampainya di depan Awan memberiku helm, dia menaiki motornya tapi aku masih berdiri mematung disampingnya.
“Kenapa?Ayo acaranya keburu mulai,” ucapnya sambil menarik tanganku lembut. Aku menurut saja, aku hanya canggung berada sedekat ini dengannya. Aku bisa menghirup parfumnya yang kalem seakan menggambarkan kepribadiannya. Awan segera menstater motornya, tak ada satu kata pun yang terucap dalam perjalanan, hening. Kami sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing, aku tidak berani melingkarkan tanganku di pinggang Awan, berada sedekat ini saja sudah membuat jantungku seperti mau meloncat keluar apalagi melakukan itu. Tapi tiba-tiba Awan seperti bisa membaca pikiranku, karena dia menariktangan ku dan melingkarkan pada pinggangnya. Aku bingung tak bisa mengelak.
 Kami seperti pasangan yang paling ditunggu-tunggu sore itu, tapi tetap saja banyak tatapan sinis yang aku terima. Kami hanya satu jam disana, setelah Awan memberikan sambutan kami pergi. Aku sudah mulai terbiasa berdekatan dengannya, jadi aku tidak merasa canggung lagi melingkarkan tanganku di pingganya. Aku mulai tidak sabar menanti kejutan Awan.
“Sebenarnya kita mau kemana sih?” tanyaku pada Awan ketika kami dalam perjalanan menuju tempat rahasia itu.
“Kalau aku kasih tahu nggak surprise dong” jawabnya.
“Hahh, iya baiklah,” aku menjawab sekenanya.
“Haha, jangan ngambek dong bentar lagi sampai kok,” Awan menoleh kebelakang sekilas.
            Ketika kita sampai disana Awan menutup mataku, aku jadi semakin penasaran.
“Ok, sudah sampai,” katanya sambil membuka tutup mataku.
Aku terkejut, melihat hidangan makan malam yang tersaji sedemikian rupa di pantai, belum lagi ditambah bunga mawar yang dibentuk menyerupai hati di sekeliling meja makan, dan lagi aku tidak tahu kalau di Bandung ternyata ada pantai yang begitu indah. Tempat ini memang sangat jauh dari rumahku sekitar 2 jam perjalanan.
“Bagaimana? “ tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Kamu yang nyiapin semua ini?” tanyaku kagum. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
“Suka?” tanyanya lagi, dan sekarang giliran aku yang mengangguk. Kami dinner dipantai. Sungguh moment yang sangat indah tak sedikitpun terbesit dibenakku kalau dia akan memberikan surprise seperti ini, so sweet..
Setelah makan malam kami sempat bermain air sejenak, ke pantai kalau tidak basah tidak afdhol bukan? Setelah puas main air kami duduk sebentar di pinggir pantai sambil bermain pasir.
Btw, makasih ya kamu udah nyiapin semua ini, aku suka, bagus,” kataku.
“Haah, iya sama-sama,” Awan tersenyum padaku, kali ini aku tidak menunduk aku membalas senyumnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu,
“Eh, aku penasaran deh selama aku ganti baju tadi waktu di rumah kalian ngomongin apa sih seru banget kayaknya,” tanyaku sambil konsentrasi pada istana yang aku buat.
“Rahasia dong,” jawab Awan singkat.
“Wan!!Terus kok kamu manggil orang tuaku ayah dan ibu?Aku heran kamu pasti pake pelet ya supaya ayah dan ibu merestui hubungan kita?” aku menyipitkan mata memandangnya.
“Hahaha, ya nggak lah, ngapain pake pelet segala. Kamu lupa kalau aku ini ketua OSIS aku pandai dalam berpidato belum lagi ditambah kharismaku ini, dijamin semua orang pasti yakin kalau aku anak baik-baik hanya dengan melihatku,” ucapnya bangga.
“Idih, kharisma darimana coba?” aku mengeluarkan ekspresi illfeel. Sedangkan Awan tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku.
“La..aku sayang kamu,” ucapnya tiba-tiba.
“Hmm? Apa nggak dengar” aku berpura-pura.
“Bulan, aku sayang kamu!!” Awan berteriak, untung disini sepi jadi aku tidak perlu menutupi mukaku karena malu. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Awan, aku juga sayang sama kamu!!” sekarang giliran aku yang meneriakkan kata-kata itu.
Malam itu sungguh moment yang tak bisa kulupakan seumur hidup. Awan dan Bulan, aku berharap hubungan kita langgeng. Kami sampai dirumah pukul 11 malam, aku sudah takut dengan omelan ayah, tapi apa yang aku terima ketika sampai rumah sungguh membuatku lega. ayah tidak memarahi kami, bahkan ayah sempat menawarkan Awan untuk mampir sebentar. Tapi ia menolak karena ini sudah malam.
“Aku pulang dulu ya, sweet dream” pamit Awan sambil memegang tanganku sekilas.
“Kamu hati-hati, kalau udah sampai di rumah kabarin aku,” jawab. Dia hanya mengangguk dan tersenyum sesaat sebelum pergi.
Sudah hampir satu bulan aku menyandang status sebagai pacar Awan. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Dia adalah laki-laki yang aku nantikan,  aku berharap dialah jawaban dari doa ku selama ini. Besok adalah hari ulang tahunku, juga sekaligus 1 bulan hubunganku dengannya. Aku tidak sabar menunggu hari itu.
“Ciye..sumringah banget sih. Ada apa? Dapet kejutan lagi ya dari Awan?” tanya Mira yang entah sejak kapan duduk disampingku.
“Kejutan apaan sih, nggak,jawabku sekenannya.
            Keesokan harinya aku pulang dengan perasaan yang kacau. Bayangin saja pacarmu lupa dengan hari ulang tahunmu dan juga anniversary hubungan kalian bagaimana coba persaanmu? Hari ini Awan tidak seperti biasanya, dia cuek sekali sama aku. Awalnya aku mengira kalau dia mau nyiapin surprise buat aku tapi kenyataannya sampai pulang sekolah tak ada apa-apa. Haaahh, inilah akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan. Bahkan dia tidak mengajakku pulang bareng seperti biasanya. Entahlah, aku juga menolak waktu Mira menawariku pulang bareng. Hari ini aku mau menyegarkan pikiranku aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Pukul 7 malam aku baru sampai di rumah, ku buka pintu tapi aneh kok lampunya belum dinyalain sih apa mungkin ayah sama ibu keluar ya? Tapi kan di rumah ada Bi Inem.
“Yah.. Bu..” tak ada jawaban.
“Bi Inem, kok lampunya nggak dinyalain sih” aku meraba-raba mencari stop kontak karena ini benar-benar gelap. Tiba-tiba..
Happy birthday Bulan.. Happy birthday Bulan.. Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday Bulan..,” aku tak bisa membendung air mataku. Rasa sesak didadaku kutumpahkan semua, kukira sudah tidak ada lagi orang yang peduli denganku. Ayah, ibu, Mira, teman-teman OSIS, Bi Inem mereka semua berbaris sambil membawa cup cake serta tak lupa lilin. Aku meniup lilin itu satu persatu di tangan mereka sambil terus mengusap air mataku. Barisan ini ternyata bermuara di taman belakang rumahku. Aku penasaran siapa yang membawa cake ke tujuh belasku, dan aku tekejut ketika Awan berdiri dihadapanku dengan cake ke tujuh belasku. Kukira dia sudah tak peduli denganku dan hubungan kita. Air mataku semakin deras mengalir, aku meniup lilinnya tapi tak berani menatapnya dengan wajah ku yang seperti ini aku pasti terlihat jelek sekali. Dia meletakkan cake itu di meja sementara  aku tetap berdiri mematung disana kemudian Awan kembali dan memelukku.
“Selamat ulang tahun ya, dan juga happyanniversary.Maaf  dari tadi pagi aku nyuekin kamu,” aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengusap air mataku.“Udah kamu mandi dulu sana, bau tau,” candanya, seketika aku tersenyum.
 Ya,sudah kubilang kan diawal cerita tadi, bukan Awan namanya kalau tidak penuh dengan kejutan. Rencananya membuat aku badmood benar-benar berhasil, begitu juga dengan kejutan yang dia siapin, ternyata satu minggu sebelum ulang tahunku dia sudah mengatur semuanya termasuk memberi tahu ayah dan ibu. Setelah ganti pakaian aku segera turun dan membaur dengan semuanya. Satu-persatu ucapan selamat keluar dari mulut teman-temanku, aku mengucapkan terima kasih pada mereka semua. Tapi aku tidak melihat Awan, dimana dia?
Di, lo lihat Awan nggak” tanyaku pada Dio, sahabat Awan.
“Kayaknya di taman depan deh,” jawabnya.
Thanks,” aku segera ke taman depan dan benar saja dia duduk dibangku taman depan rumahku.
“Hei, kok disini?”tanyaku.
“Langitnya lagi bagus.Sini deh!” kata Awan sambil memandang langit lalu menuntunku duduk disampingnya. Dia menggenggam tanganku erat.
“Maaf ya kamu hari ini pasti bete banget sama aku, karena dari tadi pagi aku nyuekin kamu,” ucapnya sambil memandangku.
“Iya, udah aku maafin.Justru aku yang terima kasih, kamu udah nyiapin semua ini, lagi-lagi rencana kamu sukses,” aku tersenyum memandangnya.
“La,” caranya memanggilku dan memandangku sedikit aneh.
“Hmm?”
“Aku sayang kamu.
“Iya, aku tahu. Aku juga sayang kamu.”
“Kamu milik aku selamanya, aku janji akan menjaga hubungan kita dan kepercayaan kamu,” ucapnya serius.
“Kamu kenapa sih, nggak usah serius gitu, aku takut tau,” kataku tersenyum geli.
“Nggak La, aku serius,” genggamannya semakin erat, itu tanda kalau Awan tidak becanda. Tapi ini aneh dia tidak biasanya bertingkah seperti ini.
“Iya, iya. Aku juga akan melakukan hal yang sama,” aku tersenyum lembut padanya.
            Acaranya selesai pukul 10 malam. Satu persatu temanku pulang hingga hanya tersisa Awan disini.
“Udah malam aku pulang dulu ya, besok kita jalan, kamu bisa kan?” tanyanya.
“Pasti. Kenapa buru-buru sih?” aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku, rasanya aku ingin berada lebih lama didekatnya.
“Haha, kamu masih kangen ya sama aku? Baru dicuekin satu hari efeknya udah kayak gini apalagi aku tinggal ya..” Awan memang suka menggodaku, tapi aku menangkap sesuatu yang ganjil pada ucapannya.
“Awan, kok kamu ngomongnya gitu sih?Pergi kemana?”
“Iya, iya. Duh..tambah cantik aja kalau ngambek kayak gini. Ya udah, keburu hujan aku pulang dulu, sweet dream” tak seperti biasanya, Awan mengecup keningku sekilas. Hatiku berdesir, tapi kenapa perasanku tidak enak ya?
“Sampai di rumah kabarin aku ya?” dia mengangguk aku bisa melihat senyumnya dari balik helmnya.
            Satu jam setelah Awan pulang aku mendapat kabar kalau ia kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Aku dan orang tuaku segera kesana, tapi setelah aku sampai disana ternyata Awan sudah dibawa pulang. Lalu kami segera pergi ke rumah Awan, mataku mulai memanas. Awan sudah dibawa kerumah itu berarti keadaan dia tidak parah tapi kenapa ada yang ganjil ya, dari kejauhan rumahnya aku melihat ada bendera putih. Tidak aku pasti salah lihat, mungkin saja itu bukan di depan rumah Awan tapi di rumah tetangganya. Ya rumah tetangganya, aku meyakinkan diriku sendiri. Aku menguatkan hati dan pikkiranku. Tapi ternyata salah, bendera itu memang benar berada di depan rumah Awan. Perasaan ku sudah kacau, aku segera berlari masuk dan kudapati orang tua Awan menangis tersedu-sedu di samping jenazah. Aku sudah tak bisa membendung air mataku.
“Nggak, ini nggak mungkin,” gumamku. Aku menghampiri tubuh Awan yang terbujur kaku, kubuka kain yang menutupi wajahnya, dan air mata ku semakin deras mengalir itu memang benar jasad Awan.
“Awan, kenapa kamu tinggalin aku, kamu kan janji besok mau mengajak aku jalan, dan kamu juga tahu kan kalau aku nggak bisa jauh dari kamu lama-lama karena efeknya pasti aku kangen berat sama kamu. Tapi kenapa sekarang...” aku tak sanggup lagi meneruskan kata-kataku.
“Sudah sayang.., biarkan Awan pergi dengan tenang,ibu menenangkanku. Aku terus menangis dan menangis di pangkuan Ibu sampai akhirnya semua berubah menjadi gelap. Aku sudah berada di kamarku saat aku terbangun,dan orang pertama yang aku ingat adalah Awan.
“Bu, kok kita disini?Pemakaman Awan jam berapa? Ayo kita kesana kasian kan Tante Indah sama Om Jamal ngurusin semuanya sendiri,” ucapku pada ibu.
“Sayang, kamu tenang dulu ya..Awan sudah dimakamkan 15 menit yang lalu,” jelas beliau yang semakin menambah keterpurukanku, hatiku kacau.
“Maafkan aku Awan aku nggak bisa nganter kamu untuk yang terakhir kali semoga kamu tenang disana,” ucapku dalam hati.
            Aku mencoba merelakan kepergiannya. Berat, sungguh sangat berat Awan, aku melewati hari-hari tanpa kamu, tanpa keusilanmu, tanpa senyumanmu, tanpa kejutanmu tanpa perhatianmu. Kamu telah sukses membobol hatiku, dengan kharisma mu yang luar biasa dengan perilakumu yang santun, semuanyaaku suka semua darimu. Kamu masih ingat janji kita berdua di taman depan rumahku? bahwa kita akan menjaga hubungan ini dan menjaga kepercayaan masing-masing. Kamu telah melakukannya dengan sukses juga, terimakasih telah datang di kehidupanku, terima kasih untuk satu bulan yang penuh kejutan, terima kasih karena kamu sudah menepati janjimu dan terima kasih karena kamu mau mencintai aku dengan segala kekuranganku. Kamu akan selalu ada di memory dan hatiku. Karena kamu telah berhasil membawanya, hatiku dalam keabadian.



Labirin Cinta
Lathifa Az-Zahra
Suasana gaduh menyelimuti atmosfir kelasku hari ini. Tepatnya saat pelajaran Story. Sesuai namanya, pelajaran ini membahas berbagai macam cerita dari berbagai belahan dunia. Tak hanya itu, pelajaran ini juga mempelajari berbagai genre cerita. Tahukah kalian tentang pelajaran ini? Mungkin sebagian dari kalian tak mengenal pelajaran yang satu ini, atau bahkan semuanya tak pernah mendengar jenis pelajaran ini? Hah, mungkin saja iya. Sangat bisa dimaklumi, mengingat pelajaran ini hanya ada di Lord High School. Tahukah kalian tentang Lord High School? Lord High School ini berada di sebuah negeri yang bernama Vortuna. Seperti namanya juga, negeri ini dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Vortuna. Simtem yang digunakan di negara ini semacam sistem pemerintahan di Inggris yang menggunakan sistem kerajaan dengan Ratu Elizabeth. Banyak orang mengatakan negeriku ini adalah negeri impian atau dream state.
Perkenalkan, namaku Chatalijne. Tapi beberapa orang terdekatku memanggil Chatty. Namaku berasal dari Bahasa Belanda yang mempunyai arti sesuatu yang bersih dan murni. Kurasa pantas jika nama itu tersemat pada diriku. Mengingat aku bisa dibilang mempunyai perawakan propotional. Tinggi, putih, semampai, rambut pirang tergerai indah hingga punggung, serta mata yang berwarna biru.Aku termasuk siswa idaman di Lord High School, terutama pada jenjang junior.Ya, perlu diketahui bahwa Lord High School terbagi menjadi dua jenjang, yaitu junior dan senior.
Kurasa cukup sudah perkenalannya.Sekarang kita kembali ke cerita yang sebenarnya.
            Di awal sudah kubilang bahwa kelasku sedang dalam keadaan gaduh saat pelajaran story.Betapa tidak, saat ini Bu Rose tengah menceritakan kepada siswanya tentang cerita cinta Romeo and Juliet.Bagi kami cinta merupakan hal baru yang asing didengar, apalagi di rasakan.Entah cerita itu benar atau tidak, yang jelas kami antusias.Meskipun sebenarnya masih terlarang bagi kami untuk mempelajari hal itu. Di Lord High School Seniorlah kami akan mendapat kajian mengenai cinta. Lucu bukan?Aku juga berpikir demikian.
            Oh, aku melupakan satu hal. Lord High School adalah sekolah khusus yang mempelajari tentang ilmu sihir.Jadi, kami yang bersekolah di sini adalah anak-anak pilihan yang mempunyai bakat khusus di bidang ilmu sihir. Perlu diketahui juga, Negeri Vortuna adalah negeri dimana semua penduduknya memiliki keahlian khusus, seperti dapat membaca pikiran atau dapat mengetahui masa depan. Di negeri ini, ilmu sihir adalah keahlian yang bisa dibilang paling banyak pemiliknya.Untuk itu dengan khusus Ratu Vortuna mendirikan Lord High School.
            Usai pelajaran Story, aku menuju perpustakaan. Sebenarnya ada mata pelajaran lain yang harus aku ikuti, namun aku sedang dalam perasaan buruk untuk mengikuti pelajaran itu. Perpustakaan bertempat di gedung C, sedangkan kelasku berada di gedung A. itu berarti aku harus melewati gedung B untuk dapat sampai ke gedung C. Melewati gedung B sama saja menguji nyali. Pasalnya gedung B adalah gedung dimana para senior bersarang.Kalian tentu tahu bagaimana rasanya seorang junior melewati sarang para seniornya.Mendebarkan.
            Ketika di perjalanan menuju perpustakaan, tepatnya saat di gedung B, aku melewati sebuah kelas yang terdengar lebih gaduh daripada kelasku beberapa waktu lalu.Awalnya aku tak menghiraukan hal itu, namun telingaku berdiri ketika aku mendengar satu kata yang langsng membuat hatiku berdesir.Cinta.Aku melangkah ke belakang beberapa langkah.Menyesuaikan tubuhku pada jendela agar aku bisa melihatdan mendegar dengan jelas.
            Terdengar sayup-sayup sang guru menerangkan apa itu cinta.
            “Kalian tahu, cinta adalah sebuah rasa yang pasti akan kalian rasakan.Perasaan yang bahagia ketika bertemu atau hanya memandang seseorang.Rasa mengagumi yang sangat.Namun, jangan sekali-sekali melanggar peraturan. Kalian tahu bukan bahwa di negeri ini cinta baru dapat di realisasikan ketika kalian lulus dari sekolah.”
            Aku terkejut dengan penjelasan guru itu.Ada-ada saja peraturan semacam itu.Tapi, memang itulah kenyataan di Negeri Vortuna ini.Aku merasa sudah cukup mendengar penjelasan illegal dari salah satu kelas seniorku ini. Aku akan segera beranjak melanjutkan perjalanan ke perpustakaan. Banyak yang akan aku lakukan di sana. Daripada aku hanya berdiam diri di sini dan mendengarkan hal yang belum menjadi porsiku.
            Aku mulai langkahku dengan satu langkah ke belakang, namun belum sempat aku melanjutkan langkah keduaku ke depan, tubuhku terasa menyentuh tubuh lain. Astaga, ada orang di belakangku.Aku ingin melarikan diri selagi bisa, namun terlambat sudah.
            “Estrofia Frozen,” sebuah mantra terucap dari seseorang di belakangku.
            Dengan mantra itupun seketika tubuhku seakan membeku, dan tak bisa berbuat apa-apa, aku pasrah. Kemudian tubuh itu bergeser menuju ke depan tubuhku, dan aku baru dapat melihat siapa seseorang itu. Ternyata ia adalah seniorku. Habislah aku ketahuan menguping.
            “Hei, anak kecil kenapa kau di sini?Kau menguping ya?” tanyanya padaku sambil mengarahkan telunjuknya padaku.Aku hanya bisa menggerakkan kedua bola mataku ke kiri dan ke kanan untuk menjawab pertanyaannya.
            “Kalau begitu kenapa kau berada di jendela kelasku?Hei, gadis kecil, tahukah kau perbuatanmu ini menyalahi peraturan sekolah kita.Bukankah kau tahu seorang junior dilarang mengetahui materi pelajaran seniorya?Kau tahu seberapa bahayanya jika kau mengetahuinya disaat yang belum tepat?” serentetan pertanyaan meluncur dengan cepat.Aku hanya diam.
            Sepertinya seniorku ini mengerti keadaanku. Akhirnya ia melepaskan mantra dari tubuuhku.
            “Eskafia Frozen.”
            Aku tersenyum membalasnya. Aku hendak melangkah pergi sebelum posisiku menjadi semakin dekat dengan seniorku ini saat ia semakin mendekat ke arahku. Sedangkan aku tak dapat merubah posisiku, karena aku sudah terpepet di dinding.Aku semakin takut dengan keadaan ini.Hampir aku berteriak, namun urung ketika tangannya dengan sigap menutup mulutku.
            “Aku akan melaporkanmu kepada guru kalau kau sudah melanggar peraturan Lord High School.Tapi, aku masih berbaik hati. Aku tidak akan mengadukanmu jika kau mau menuruti satu hal permintaanku. Bagaimana?” ujarnya mengajukan penawaran.
            Aku tak menjawab, hanya mengangguk pasrah.
            “Bagus, kau tahu kan dua hari lagi Lord High School akan merayakan hari ulang tahunnya. Kau pasti juga tahu tradisi di sini kan, meskipun kau masih seorang junior. Permintaanku mudah saja, kau hanya tinggal menjadi rekan dansaku saat malampuncak nanti.Setuju?” ucapnya dengan senyum licik.
            Aku terdiam lagi.
            “Baiklah, aku menganggap diammu adalah persetujuan.Temui aku di tempat pesta pukul 21.00, paham?”
            Usai mengatakan hal itu ia langsung melepas bungkamannya dan melenggang pergi meninggalkanku dalam kebingungan. Ya Tuhan, orang macam apa dia. Bisa-bisanya mengajak seorang gadis ke pesta dansa dengan cara seperti itu? Sangat tidak elite. Untunglah aku sempat melirik papan nama di dada kanannya. Newell Orlando. Nama yang cukup bagus.
*****
            Dua hari berlalu begitu cepat. Malam ini akan menjadi malam yang paling indah bagi seluruh siswa Lord High School. Namun, tidak denganku. Bagaimana tidak, sejak kejadian pemaksaan beberapa waktu lalu hampir tak dapat berpikir jernih, gara-gara otakku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi malam nanti.
            Ah, aku terlalu pusing untuk memikirkan hal itu lagi. Aku memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan dimana aku akan mendapatkan ketenangan dalam setiap detikku. Sejak kejadian beberapa waktu lalu aku jadi mempercepat langkah kakiku saat aku memasuki kawasan gedung B. Aku takut jika aku harus bertemu dengan senior Ando, Newell Orlando.Ketika aku sampai di perpustakaan barulah hatiku lega.
            Aku mulai memilah buku yang akan aku baca.
            “The Secrets of Love, Orlavondo,” aku mengucapkan mantra yang akan membuat buku yang aku mau datang ke tempaatku duduk saat ini. Menakjubkan bukan?
            Aku membaca lembar demi lembar.Aku sangat menyukai buku-buku, apalagi jika dalam buku itu menyimpan gambar. Karena buku di negeri ini yang di dalamnya terdapat gambar, gambar itu akan bergerak layaknya dalam film. Tiba-tiba sebuah surat bersayap datang di hadapanku dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Aku bingung. Tiba-tiba surat itu membuka dengan sendirinya. Mulai kubaca huruf demi huruf di dalamnya. Ternyata surat dari senior Ando yang memperingatkan aku tentang malam ini. Ya, aku tidak akan lupa.
*****
Malam ini aku tampil berbeda dari biasanya.Biasanya aku hanya mengenakan rok pendek dan blazer seragamku, atau jika aku di rumah, aku hanya mengenakan celana jeans dan kaus polos.Namun, tidak malam ini.Aku mengenakan gaun panjang hingga ekornya dapat menyapu lantai.Ini adalah kali pertama aku mengenakan pakaian semacam ini. Jika bukan karena ketentuan pesta, tak akan aku mau repot-repot berpakaian semacam ini.
Kembali kuperjelas, aku mengenakan gaun panjang berwarna putih dengan hiasan payet-payet berkilau di bagian dada dan hiasan bunga mawar putih mengelilingi pinggangku.Rambutku kutata sedemikian rupa hingga menyerupai gelungan indah. Tak lupa kusematkan jepit bulu putih yang akan memperindah rambutku. Aksesoris lain yang harus aku kenakan adalah topeng. Karena konsep pesta malam ini adalah pesta topeng.Satu lagi, aku juga mengenakan sepatu high heels warna perak yang juga menyempurnakan penampilanku.
Aku siap.Aku memasuki gedung pesta dengan perasan bercampur.Senang namun takut jika harus bertemu dengan senior Ando. Kuharap ia lupa dengan permintaannya. Baru saja aku berharap, sosok itu muncul dari kejauhan.Berdiri tegak menatap ke arahku. Aku tak begitu bisa menangkap ekspresinya, namun aku tahu kalau ia menatapku. Perlahan ia melangkah mendekati aku. Aku mulai bingung. Saat ia telah berjarak satu langkah dariku, ia memintaku menatap matanya.
“Feloshiane Ich Liebe,” ia mengucap sebuah mantra. Kemudian menariku meninggalakan keramain dalam gedung pesta.
Kami menuju ke labirin di tengah gedung A dan gedung B. Di sana lampu taman bersinar redup namun indah. Senior Ando membawaku semakin dalam ke dalam labirin ini.Tiba-tiba aku merasa gaunku tersangkut dan langkahku macet.Namun, karena senior Ando tetap menarikku, aku jadi terjatuh ke arahnya, dan kami berpelukan.Sungguh tak terduga. Tapi apa ini, mengapa jantungku berdegup dengan kencang? Astaga..
“Maaf,” ucapku pelan.
Kami melepas pelukan tak sengaja itu dengan cepat.Aku canggung.Senior Ando melepas topengnya.Mata indah itu menatapku dalam, aku takut menjawab pandangan itu.Namun, tiba-tiba tangan senior Ando melepas topengku, dan terlihat jelas wajahku di bawah sinar rembulan yang redup.
“Cantik,” sayup-sayup kudengar ia mengatakan hal itu.
Aku tersipu malu.Kemudian aku merasa wajahku disentuh olehnya.Ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku takut, aku memejamkan mataku.Aku merasakan sebuah sentuhan di bibirku.Sebuah ciuman.Aku membalasnya dengan senyuman, kemudian memeluknya.Erat. Seketika lampu taman mati, dan kami berada dalam kegelapan.
Kalian tahu apa arti senyumku? Aku menerima cinta senior Ando kepadaku. Berawal dari dia mengucapkan mantra di tengah-tengah pesta kepadaku, yang sebenarnya aku tahu itu adalah mantra yang akan membuat seseorang jatuh cinta kepadamu. Namun, sebenarnya mantra itu tidak bekerja terhadapku, karena mantra itu hanya bekerja ketika seseorang yang mengatakan sudah menginjak usia 20 tahun. Sedagkan senior Ando belum mencukupi usia tersebut.
Sebenarnya ada yang belum kalian ketahui tentang serba-serbi negeriku ini. Di negeriku ini, seseorang akan merasakan cinta jika seseorang yang mencintaimu telah menciummu, dan itu telah terjadi kepadaku. Jadi, bukan karena mantra yang ia ucapkan padaku sehingga aku mencintainya. Namun karena ciumannya kepadaku yang membuat aku membalas cintanya. Sebenarnya aku tahu jika hal ini sangatlah salah, namun biarlah lika-liku labirin dan redupnya sinar rembulan yang akan menutupi apa yang kami rasakan dari semua orang. Juga biarlah kami yang menjalani setiap belokan dan kebuntuan dalam labirin cinta kami, cinta pertama.




Musim Cinta
Aleya Najma
Kawan, akan kuceritakan padamu tentang tempat tinggal temanku, yang jika kuberitahu namanya, mungkin kau tak akan pernah tau tempat apa itu. Hidup satu abad di negerinya membuatku sedikit banyak mengerti tentang dunia mereka. Jangan salah sangka dulu. Aku bukanlah satu-satunya jenis manusia pitechantropus erectus yang masih tersisa di dunia ini. Jika kalian percaya, usiaku masih sangatlah belia, 17 tahun.
Asal kalian tau kawan. Satu tahun di negeri kita , sama dengan sepuluh dasawarsa di negeri mereka. Ya, satu abad. Yang membuatku lebih bingung adalah, satu abad di negeri mereka sama dengan 360 hari di negeri kita. Satu tahun. Kau tau kenapa? Temanku bilang, itu adalah kesalahan besar leluhur mereka yang mengganti istilah tahun dengan abad. Aku terpingkal ketika temanku menceritakan hal itu. Tapi lalu dipukulnya kepalaku penuh kekhawatiran.
“Kau tak boleh tertawa hingga terlihat gigi.
“Kenapa?”
“Di negeriku, tertawa hingga terlihat gigi itu pelanggaran norma kesopanan. Kau bisa dipenjara.”
Ini sangatlah menarik kawan. Bahkan ketika kau melihat hal terlucu sekalipun, kau harus mengatupkan dua bibirmu hingga rapat. Barulah kau boleh tertawa terpingkal sepuasmu. Ingat, jika sampai bibirmu membuka, kau akan dipenjara. Sulit dibayangkan? Tidak. Aku sudah pernah satu tahun hidup tanpa terbahak.
Aku semakin heran dengan tempat ini. Bahkan untuk tahu bagaimana aku bisa sampai di negeri ini, aku harus berkawan dengan entah. Saat itu ketika aku terbangun, tiba-tiba aku sudah berada di sebelah monumen wortel di tengah kota. Disekitarku muda-mudi seusiaku sedang malu–malu untuk saling menatap satu sama lain. Di sudut lain, yang kulihat adalah muda–mudi sedang bertukar surat, dan bersemu ketika masing-masing telah mendapatkan suratnya.
Hei, tak hanya mereka. Seluruh kota sepertinya penuh sesak oleh pasangan-pasangan yang bertingkah hampir sama. Apakah mereka sedang merayakan hari salah tingkah nasional? Kenapa yang melakukannya hanya anak mudanya saja?
Temanku menemukanku di antara pasangan muda-mudi itu. Melihatku hanya sendiri, ia menarikku menjauh dari kerumunan. Ia paham aku adalah makhluk asing yang tersesat di negerinya. Tak bisa heran. Di sini terlalu sering terjadi hal aneh yang tak bisa ditemukan di negeri kita. Seperti guide, dijelaskannya padaku tentang segala yang kulihat.
Negeri ini dipimpin oleh seorang Kepala Negara yang cakap. Kesopanan menjadi barang yang sangat murah. Kau tau? Barang termurah di negeri ini adalah senyuman. Kau bisa saja mendapatkannya secara cuma-cuma tanpa harus melakukan apapun dari setiap orang yang kau temui, sekalipun kau tak mengenalnya.
Seperti temanku ini. Laki-laki yang sangat gampang menebar senyum. Usianya sekitar 35 abad. Ia tinggal di rumah panggung di tepi kanal pinggir kota. Di tepi kanal itulah aku tinggal selama satu abad di negeri ini. Di tepi kanal itu pula kudapatkan banyak sekali cerita tak terduga tentang negeri ini.
It’s time to eat,” temanku menggandengku ke meja makan. Saat makan adalah best time. Manusia normal dibelahan bumi manapun pasti menyetujui pernyataan ini. Meja makan telah siap. Aku hanya tinggal duduk , mengambil roti, daging asap, telur mata sapi, selada, bawang bombay, dan sedikit maizena serta saus tomat sebagai topingnya. Sayangnya daging asap dan telur mata sapi yang kucari tak ada disana. Oh, aku lupa satu hal. Semua orang di negeri ini adalah vegetarian. Tak boleh ada unsur hewan apapun di makanan mereka. Jika di ketahui makanan mereka mengandung hewan, mereka akan terkena pasal “Penggunaan unsur hewan pada makanan” dan tentu saja dipenjara.
Ini sangat keren. Meskipun manusia-manusia di negeri ini tentu sangat rendah akan protein hewani.  Mereka tak pernah membunuh binatang untuk kepuasan sendiri. Apalagi sampai berburu menggunakan senapan yang bisa membuat punah hewan –hewan malang di hutan sana. Sangat tidak mungkin terjadi.
Urusan makan usai. Saatnya aku jalan-jalan berkeliling kota. Sangat indah. Sepanjang jalan yang kulihat adalah pohon oak berdaun sedikit di ujung-ujungnya. Ini musim semi, aku datang disaat yang amat tepat. Di musim ini aku bisa menyaksikan satu fenomena aneh. Musim semi, berarti musim jatuh cinta.  Muda–mudi berusia 17- 30 abad akan merasakan virus-virus jatuh cinta yang menyerang dengan ganas. Hanya bagi yang berusia 17-30 abad yang belum menikah. Bagi yang sudah pernah jatuh cinta, cintanya akan bersemi kembali. Sedangkan bagi yang belum pernah jatuh cinta, maka ia akan merasakan sensasi cinta pertama.
Tak heran jika sejak aku datang, taman kota selalu ramai dengan muda-mudi yang berkencan, pedagang bunga selalu kehabisan stok, penjual amplop surat sering memesan lebih banyak barang, dan tukang pos banyak berlalu –lalang dijalan raya. Musim semi rupanya juga membuat para-para itu kebanjiran rejeki.
Ini sangat lucu. Aku hanya bisa tersenyum saja melihat muda-mudi itu bertingkah. Berharap, kelak ketika aku kembali ke negeriku, aku juga akan merasakan jatuh cinta. Lebih tepatnya, cinta yang pertama.
Sayangnya ada cerita lain. Aku merasakan cinta pertama itu disini. Entahlah, padahal aku bukan penduduk asli yang mau tidak mau harus merasakan cinta sesuai musimnya. Kata temanku, itu karena aku sedang berada disini, maka aku harus mengikuti aturan main di tempat ini.
Aku jatuh cinta pada anak gadis tentangga. Seperti halnya muda-mudi lain, kami saling bertukar surat, bersemu saat bertemu, dan diam-diam saling memikirkan saat malam tiba, berdoa menjelang tidur supaya dipertemukan lewat mimpi malam ini.
Apa tadi? Aturan main? Apakah disini semuanya diatur, termasuk ketika harus jatuh cinta?
Tentang itu, ada cerita yang datang dari zaman beratus abad silam. Ketika itu, ilmuwan kota sedang bad mood berat. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia lalu dengan jailnya mengutak–atik software pembuat program. Meraciknya dengan berbagai bahan yang diinginkannya dengan serabutan. Jadilah  program love season. Tanpa pemikiran yang panjang, diterapkannya program itu. Sehingga yang terjadi di negerinya adalah sesuai dengan program yang dibuatnya.
Seluruh penjuru negeri resah minta ampun. Cinta yang seharusnya murni dan kekal, harus putus nyambung karena itu. Sang ilmuwan semakin tak peduli. Ia malah menambah karyanya dengan fitur–fitur yang lebih gila.
Suatu hari cinta sang ilmuwan terbalas. Ia tak lagi bad mood. Ia bermaksud menghapus program gila yang dipasanganya di komputer kota beberapa bulan silam. Tapi percuma. Ia lupa jika software nya dipasang permanen dan tidak bisa dihapus meski komputer telah rusak sekalipun.
Akhirnya dengan pikiran yang berbelit-belit, ia hanya bisa memperbaiki kejadian-kejadian yang diprogramkan. Soal cinta musiman itu, tak boleh ada sedikitpun harapan untuk lepas darinya. Selamanya cinta musiman akan terus terjadi di negeri itu, dan tentu saja menjadi ciri khas negeri itu.
Ada tiga musim lain lagi yang belum kuceritakan. Musim pertama setelah musim semi adalah musim panas. Seiring memanasnya suhu di kota ini, suhu percintaan yang melanda muda-mudi yang baru saja jatuh cinta di musim semi lalu juga memanas. Tempat-tempat diseluruh kota semakin ramai. Lebih ramai dibanding saat musim semi. Saat musim semi, mereka hanya salah tingkah bertemu pasangannya, duduk berjauhan, menunduk ketika diajak bicara, dan main lirik-lirikan tak berani memandang. Saat berjalanpun mereka minimal berjarak satu meter. Berbeda sekali dengan musim  panas. Mereka lebih banyak berkencan, duduk lebih dekat, memandang lekat-lekat ketika diajak bicara, seakan mereka sedang berlomba-lomba membuktikan bahwa mereka benar-benar sedang jatuh hati.
Kencan mulai merambah ke rumah-rumah. Pasangan-pasangan itu saling saling memperkenalkan diri kepada keluarga pasangannya. Bahkan bagi yang beruntung, cinta mereka akan terparkir di pelaminan. Berbeda dengan musim lalu , musim ini adalah rejeki nomplok bagi pedagang perhiasan. Cincin dan kalung adalah barang terlaku saat ini.  Sedikit pemandangan berbeda juga terlihat dijalanan kota. Tak ada lagi tukang pos yang berlalu-lalang  mengantarkan surat-surat cinta mereka. Musim ini bukan zamannya. Mereka sudah sangat sama-sama tahu tentang hati masing–masing. Tak ada yang lebih istimewa dibanding dengan bertemu langsung dengan pujaan hati.
Berada di musim ini sangat mengasyikkan. Kau bisa melihat cerita cinta jenis apapun disini. Serasa melihat 1000 film romantis setiap harinya. Cinta-cinta yang lebih bersemi dari sebelumnya. Tanpa sadar, ternyata cinta yang kuceritakan musim lalu tengah memperkenalkan diriku kepada orangtuanya.
Musim setelah ini adalah musim gugur. Bisa kutebak. Di musim ini akan banyak cerita yang berguguran. Tidak semuanya memang. Mereka yang sepakat untuk menikah di musim panas akan tetap melangsungkan pernikahannya. Hanya saja, nasib malang bagi yang belum ingin serius. Cinta mereka harus gugur dimusim ini. Mau tak mau, hidup mereka sedang dikendalikan oleh program ilmuwan ceroboh itu. Cinta yang sedang panas-panasnya bersemi,  jatuh gugur mengikuti musim.
Sebenarnya mereka bukannya menggugurkan cintanya secara sengaja. Tapi ada saja masalah yang ditemukan yang membuatnya harus berpisah. Mereka tak berpening-pening terlalu sakit hati. Toh, mereka akan menemukan gantinya si musim semi selanjutnya.
Aneka masalah melanda. Kebanyakan mereka gugur karena terhambat masalah persetujuan orangtua. Tak jarang diantara mereka berpisah karena ditemukannya pasangan mereka telah bermain serong.
Bagaimana sempat memikirkan untuk bermain serong jika dimusim panas lalu mereka sedang sibuk memanasi cinta dengan pasangannya?
Ternyata manusia-manusia yang berselingkuh itu melakukan perselingkuhannya dimusim panas juga. Ketika mereka tak puas dengan target cintanya di musim semi, mereka lalu memilih untuk mencari pasangan simpanan. Tapi percuma saja mereka menyimpannya rapat-rapat. Semuanya pasti akan terbuka dimusim gugur ini.
Tunggu dulu. Menyakiti hati orang itu bukan kesenangan penduduk negeri ini. Bahkan ini lebih parah dari sekedar melanggar norma kesopanan. Tentu mereka akan dipenjara, atau bahkan lebih parah bukan?
Tidak kawan. Pejabat kota tak akan mengambil kebijakan seperti itu mengenai masalah cinta musiman ini. Khusus untuk cinta musiman saja. Lagipula penduduk negeri ini tak se-lebay di negeri kita untuk masalah sakit hati karena putus cinta. Mereka tak sampai meneteskan air mata lalu mengobrak abrik seluruh isi rumah, bahkan sampai bunuh diri. Bagi mereka, sakit hati adalah hanya untuk sekedar kekecewaan. Tak lebih.
Oiya, bagaimana dengan cintaku tadi? Tentu saja musnah. Sama seperti cinta-cinta lain yang belum ingin serius.  Kandas. Orang tua gadis itu tak menyetujui. Mereka bilang , kami berbeda dunia, beda alam. Bagi mereka, aku tak lebih dari seorang makhluk asing yang menumpang hidup di negeri mereka. Lagipula, aku pun tak terlalu yakin dengan cinta yang ini. Hanya saja, aku  merasa hebat bisa merasakan cinta pertama di negeri antah-berantah yang jujur saja aku tak tau dimana ini.
Setelah ini musim dingin. Aku belum bisa memastikan apa yang akan terjadi. Sejauh ini yang kulihat adalah jalanan lengang yang memutih. Bulir-bulir putih lembut berguguran dari atas langit. Pohon-pohon yang baru saja keguguran daun di musim gugur membeku.  Dipeluk oleh benda putih dingin bernama slaju itu. Dingin. Sangat dingin. Apa yang terjadi dengan mereka yang bernasib malang?
Cinta mereka membeku. Seperti musimnya. Hati mereka juga membeku. Mungkin masih terbawa kecewa, dan tentu saja hati mereka telah terprogram untuk tak jatuh cinta di musim ini. Tak ada cinta muda-mudi 17-30 abad-an  di musim ini. Benar-benar bersih dari yang disebut cinta muda-mudi  yang belum menikah.
Aku salut dengan negeri ini. Bukan soal musim-musim cintanya. Tapi tentang pasangan –pasangan menikah yang cintanya tetap dan selalu bersemi  sepanjang tahun.  Tentang yang ini, bukan programan, tapi memang karena hati mereka telah yakin. Ini tak ada hubungannya dengan pemrograman cinta seperti cerita love season tadi.
Di negeri ini tak ada lembaga khusus yang menangani perceraian, karena memang tak pernah ada pasangan yang berpisah karena perceraian.  Hati mereka yang telah yakin berlabuh pada satu dermaga, akan selalu menjaga komitmen itu apapun yang terjadi. Semoga kelak ketika kembali ke negeriku, aku akan melihat hal-hal hebat  yang pernah kulihat di negeri ini.
Musim dingin ini hampir membuatku beku. Aku ingin pulang.



Why?
Aleya Najma

Aku baru saja melakukan riset asal- asalan tentang hatiku yang sering gundah akhir-akhir ini. Tentu tak akan kulakukan riset gila ini jika tak ada pemicunya. Entahlah apa namanya, belum bisa kujelaskan jenis benda aneh yang menggantung beberapa hari terakhir ini.
Mataku memanas jika menangkap bayangannya. Darahku serasa mendesir ganas ketika dia lewat di depanku.Jantungku seperti dibanting-banting ketika dia melemparkan senyum kepadaku. Sangat aneh, baru kali ini aku merasakannya. Pernah suatu ketika aku menanyakan hal ini pada abangku. Sial, habis aku di tertawakannya “Itu namanya kau sedang jatuh cintrong. Dasar anak SD.
Jatuh cinta? Oh, jadi begini rasanya.
Namanya Pipit. Gadis cantik kampung sebelah, dan dia adalah teman sekelasku. Badannya semampai, lebih tinggi dariku, matanya bulat teduh, pipinya tembem tanpa lesung, kulitnya bersih, dan bibirnya kemerahan. Jika ia tersenyum, wajah imut itu akan menampakkan keindahan tersendiri. Manis sekali.
Sebenarnya sudah lama aku mengenalnya. Tiga tahun di sekolah ditambah dua tahun di TK dulu. Akupun juga sangat gemar menjahilinya, dan selama itu pula, aku tak pernah terpikir untuk menyukainya. Semuanya berubah ketika aku mendengar berita bahwa ia mengagumiku.
“Katanya kamu unyu-unyu, Yu. Pipit ngefans kamu,” kata Deni terkekeh . Seketika wajahku serasa panas. Mungkin saat itu aku lebih mirip udang rebus baru diangkat dari panci. Parahnya lagi, berita itu cepat tersulut keseluruh pelosok sekolah.
“Cieeeh, si preman punya pacaaar,” seru segerombol gadis yang biasa kujahili ketika jam istirahat. Mereka lalu tertawa. Puas bisa membalasku.
“Heh, berani kalian denganku?” hardikku dengan gaya seperti biasa. Mata melotot, tangan di pinggang, dan satu kaki menghentak galak.
“Etetet, tuh ada Pipit,  jawab salah seorang lagi sambil menunjuk kearah belakangku. Perlahan aku menoleh, sesosok makhluk cantik lewat. Ia menoleh kearahku. Tersenyum, lalu mengangguk. Ah... ia membuatku meleleh..
“Ciiiieee...”
*****
Aku semakin penasaran dengan Pipit. Tak puas jika setiap hari hanya main lempar–lemparan senyum saja. Aku ingin tahu rumahnya dikampung sebelah. Masalahnya, aku sedang ada cekcok dengan anak-anak kampung sebelah. Gara –gara Deni memalak Uyun seminggu yang lalu, mereka jadi sensitif dengan anak-anak kampung kami.
“Den.
“Hm.
“Aku ingin tau rumah pipit.
“Di kampung sebelah?” Deni membelalak. Aku mengangguk.
“Gila kau. Tak mau. Bisa jadi pepes aku jika injakkan kaki di kampung itu.
Aku manyun, “Ah, kau Den. Dengan kawan saja tak mau bantu.
“Bukan begitu, tapi tahulah kau masalahku dengan bocah – bocah sialan itu, dengan yang lain saja Yu, Dimas bisa kan.
Aku diam serius. Mencari-cari cara lain supaya bisa menjangkau rumah Pipit. Baru kali ini aku berfikir serius sampai tak bergerak barang sedikitpun. Biasanya aku hanya berfikir sekedarnya saja. Satu jam aku mematung , akhirnya  bertemu jalan juga.
“Dim,” teriakku pada Dimas yang sedang bersantai diranting pohon karsen belakang rumahnya.
“Apa Yu?”
“Punya kenalan anak kampung sebelah tidak?”
“Ada.
“Ada yang kenal dengan Pipit?”
“Santi karibnya Pipit, temanku cari  tebu. Aku juga sering main dengan Pipit jika sedang mencari tebu.
“Serius kau Dim?” aku terlonjak semangat, Dimas mengangguk.
“Asek, berarti bolehlah kapan–kapan aku ikut kau cari tebu?”
Dimas mengangguk lagi. Aku loncat-loncat kegirangan, mirip orang sedang kesetanan lutung. Dimas hanya memandangku datar.
“Jangan loncat-loncat, kau sudah mirip anak-anak perempuan yang genit itu, jika ada yang melihat, hilanglah citra kau sebagai jagoan kampung.
Aku manyun.
“Tau rumah Pipit Dim?”
“Tau, kau ingin ajak aku kesana?”
“Pandai kau, Dim.                                                       
“Ah, aku sudah bisa menebak modusmu. Minggir! Aku mau turun. Kita kesana sekarang,” kata Dimas jutek. Aku terkekeh senang. Kami menyambar dua sepeda milik kami, lalu mengayuhnya ke kampung sebelah. Tak lama setelah kami masuk gerbang kampung, Dimas menunjuk –nunjuk rumah bercat merah muda disebelah kanan jalan.
“Ini rumah Pipit, Dim?” tanyaku semangat.
Dimas tertawa tertahan “Bukan, ini rumah Santi rumah Pipit di belakangnya, pipiku memerah . Lalu sepeda kami melaju ke arah 90 derajat dari jalur semula. Gang kecil berpaving rapi. Dimas lalu berhenti di depan rumah mungil berkelir hijau segar. Di depannya halaman luas bertaman. Perpaduan yang asri.  
“Ke rumah Pipit untuk pertama kalinya,” gumamku dalam hati. Tiba–tiba darahku kembali berdesir kencang.
*****
Gel pengatur rambutku berfungsi lagi. Setelah vacum satu bulan tak terpakai. Terakhir aku menyentuhnya ketika mamak mengajakku datang ke pernikahan Bang Nanang keponakan mamak. Aku memang hanya memakainya jika datang ke acara penting saja.
Hari ini pun aku akan datang ke acara penting. “Cari Tebu Bersama Pipit”, terdengar konyol memang. Akupun sadar sepenuhnya. Memakai gel rambut lalu berlama–lama dibawah sinar matahari hanya akan merusak rambutku. Tapi, aku ingin membuat Pipit terpesona dengan penampilanku. Aku bisa pikirkan urusan rambut rusak nanti saja.
“Wahyu,” sayup –sayup suara yang sudah kukenal mengaung dari depan rumah. Itu Dimas. Segera kubereskan barang-barang didepanku, dan bergegas menghambur ke sumber suara.
“Tak jadi ikut?”
“Jadilah... tak lihat kau aku sudah tampan macam ini.
Dimas terkekeh tertahan, sambil menutup mulutnya.
“Mau cari tebu apa mau kondangan kau Yu?”
“Mau kondangan di sawah tebu,” Aku manyun.
“Jahat Kau Dim, menghina kawan saja bisamu,” protesku tak terima. Tanganku mengibas ringan ke pundaknya. Dimas semakin terbahak.
“Jadi ikut tidak? Kalau tidak, aku berangkat sendiri ya?” Dimas mengancam.
“Etetet.. kebiasaan kau, berangkat!”
Aku dan Dimas lalu mengayuh sepeda perlahan. Rencananya kami akan mencari tebu di sawah paman Jarwo. Abangku bilang, akan ada panen besar-besaran di sawah paman Jarwo. Siapa tahu kami nanti diberi seikat besar tebu-tebu montong. Tapi entahlah. Kata orang–orang kampungku, Paman Jarwo itu pelit. Ia kadang hanya memberi satu batang saja pada anak –anak yang meminta. Padahal di atas dua hektare tanahnya, sudah pekat diselimuti tebu semua. Itu kata orang–orang. Aku sendiri belum pernah mencari tebu kesana. Biasanya jika sedang ingin makan tebu, aku bisa saja menebang satu atau dua batang disawah kakek. Ini kali pertama aku harus berlalah-lelah mengayuh sepeda untuk mencari tebu. Lebih detailnya untuk mencari tebu bersama Pipit.
“Pipit itu cantik ya, Dim?” tanyaku usai melamunkan Pipit.
“Ya iyalah cantik. Kau benar–benar suka,Yu? Kau jatuh cinta?”
“Tak taulah, Dim. Kalau sudah bertanya aneh macam ini, namanya jatuh cinta kah?
“Apa? Jadi kau belum pernah jatuh cinta sebelumnya?”
Aku menggeleng, “Ini yang pertama, Dim, darahku berdesir lagi. Jantungku berdegup–degup cepat.
Satu kilometer kami berdua mengayuh. Perjalanan pendek ini berujung pada deretan sawah yang sebagian besar ditanami padi. Hanya beberapa petak saja yang ditanami tebu. Mungkin itu yang disebut-sebut sebagai sawah Paman Jarwo.
Aku dan Dimas lalu menepi. Memarkir sepeda di tanggul sungai sebelah sawah, lalu duduk di risdam sungai. Sebentar kemudian, aku dikagetkan oleh sebuah suara.
“Dimas,” suaranya terdengar agak jauh. Kami menoleh untuk jarak pandang dekat ke kanan dan ke kiri. Namun tak juga menemukan pemilik suaranya.
“Dimas,” nama Dimas kembali terpanggil. Dua orang gadis terlihat berlari–lari kecil dari kejauhan, tangannya melambai-lambai. Itu Pipit dan Santi.
Kami lalu melambaikan tangan untuk menjawabnya.
“Sudah lama kau disini?” Santi terengah-engah.
“Tidak. Baru saja sampai. Duduklah dulu, tak lelahkah kalian berlari–lari?” Dimas menepuk–nepuk ris kosong disebelahnya. Santi menurut.
“Eh, Wahyu ikut juga kau?” Pipit berseru melihatku. Matanya berbinar. Senyumnya yang seperti gula-gula itu mengembang. Ia terlihat gembira sekali. Heuh, terbang aku dibuatnya. Ragu –ragu kujawab dengan senyum canggung dan satu anggukan pelan.
“Tumben? Tebu disawah kakek kau sudah habis kah?” gadis itu lalu duduk disebelahku. Si jantung kembali beraksi. Seperti berdisko di dalam, dadaku bergerak-gerak. Kucoba mengubah posisi duduk supaya tak terlihat grogi. Sial, aku malah salah tingkah. Lagipula dari mana Ia tau kalau selama ini aku hanya mencari tebu disawah kakek. Jangan-jangan ia memerhatikanku? Kepo tentangku?Kau membuatku GR, Pit,” batinku.
“Tidak, ingin cari suasana baru saja” jawabku canggung, persis seperti orang baru berkenalan. Padahal biasanya aku selalu berteriak koar-koar memangilnya dengan nama Sapi jika bertemu. Kali ini aku benar-benar speechless. Seperti ada yang memporak-porandakan kata-kataku yang akan keluar.
“Kenapa kau, Yu? Tak sedang sakit kan? Biasanya gemar sekali kau ajak aku ribut kalau sudah bertemu begini,” alis Pipit mengerut. Tangannya yang halus itu mendarat di dahiku, lalu menariknya kembali ketika tak ditemukannya suhu tinggi .“Ah, sebentar lagi aku leleh,” batinku.
Badan kecilku serasa tergoncang ringan. Keringat dingin mulai bercucuran. Kulirik Dimas dan Santi disebelah kananku. Mereka sedang tertawa heboh hingga hampir jungkir balik. Sial, hilang sudah citraku sebagai jagoan sekolah.
Aku mencoba menanggapinya sesantai mungkin. Tapi rupanya aura Pipit menculik tabiatku yang satu ini. Aku kehilangan kata-kata, gojlokan, kebiasaan koar-koar, bahkan hasrat untuk menjahilinya. Aku seperti diikat kencang –kencang sampai berkedip pun susah.
Untung saja Dimas cepat bertindak. Diajaknya kami bertiga masuk ke rimbunan batang manis yang kira–kira tingginya dua kali badan kami. Sedikit lega lah, setidaknya ikatan ditubuhku mulai mengendur.
Tangan Dimas mulai bekerja. Menyentil-nyentil batang tebu yang menarik matanya. Jika dirasa cocok, tangannya akan meraba benda yang menggantung di pinggangnya, dan bagai algojo, ditebaskannya beberapa kali golok tajam itu ke batang yang di sentil-sentilnya tadi.  Begitulah, sang ahli tebu selalu berhasil mendapatkan tebu yang empuk, renyah, manis, dan tentu saja besar. Itupun yang dilakukannya ketika sedang mencari tebu disawah kakekku. Jika sedang mencari tebu dengan Dimas, kami tak perlu repot-repot  memotong banyak tebu. Tugasku hanya membawakan tebu-tebu pilihan bernasib malang itu. Sedang Pipit dan Santi membantu Dimas menyeleksi batang tebu mana yang nantinya akan disentil-sentil Dimas. 
Tak perlu menunggu lama. Sepuluh menit kami berpetualang, karung kami sudah berisi delapan batang tebu yang montong-montong. Jumlah itu sudah sangat lebih dari cukup untuk kami makan. Mengingat jumlah kami hanya empat, kurasa kami akan berpesta tebu hari ini.
“Menurut kau, kita mencuri tidak, San?” aku mengupas satu batang tebu. Sial, ujungnya boleng. Semoga dalamnya tidak.
“Ya mencurilah... Kita belum permisi dengan Paman Jarwo kan?” Santi menggigit ujung tebu yang sudah dikerat. Ekspresinya sangat innocent.
“Hoiiii!! Aku masih takut dosa kawan. Lalu bagaimana dengan tebu-tebu ini?” seperti memegang api, reflek kulempar batang tebu yang masih setengah kupasan tadi.
“Heleh, preman masih takut dosa juga kau, Yu?” Pipit terkekeh lepas. Dilemparkannya satu kerat bonggol tebu kepadaku. Sepertinya Ia mulai mengajakku ribut. Anehnya, aku hanya senyum–senyum saja. Tak seperti biasanya yang langsung nyerocos ketika ada rangsangan begini.
“Tak apa, nanti kalau kapan-kapan kita bertemu Paman Jarwo, kita baru minta izin. Sudahlah Yu, makan saja itu tebu, sayang kalau kau buang–buang.” Dimas menyela.
“Tapi kan telat, Dim,” aku masih ragu.
“Yang penting izin,”jawab Dimas tak menggubris. Ia sibuk dengan batang tebu keduanya. Pipit dan Santi terpingkal puas.
“Kau berdua ini dari tadi gemar sekali manertawaiku. Sudah puas? Hah?” kuberanikan diri menanggapi yang satu ini.
“Kau itu lucu ya, Yu?Kalau sedang tak galak, unyu-unyu,” Pipit masih terkekeh. Mukaku panas. Didalam dada sana sedang terjadi desiran kencang.
Kau membuatku grogi Pit,” lagi-lagi aku hanya bisa berkata dalam hati.
*****
Sejak tragedi tebu itu, kami berempat jadi sering bersama. Biasanya Santi dan Pipit yang main ke kampungku. Tapi lebih sering aku dan Dimas yang main ke kampung mereka. Kami bahkan telah lupa jika kampung kami sedang berseteru.
Aku menyebut kejadian itu tragedi, karena hari itu adalah hari yang bersejarah untukku. Pertama kalinya main diluar rumah dan diluar sekolah dengan Pipit. Kami bermain apapun. Petak umpet, patil lele, apolo, lipat-lipat kardus bekas rokok, layangan, cari kacang, cari tebu, membuat gubuk-gubukan, sampai permainan gadis macam pasaran pun sering kami kerjakan.
Hari ini, jadwal kami sepulang sekolah adalah main layangan. Meskipun perempuan, Pipit dan Santi adalah ahlinya di dunia perlayang-layangan. Mereka mengerjakannya sendiri. Meraut bambu, membuat kerangka, menempeli kertas, membuat ekor, sampai menerbangkannya pun mereka lakukan dengan sempurna.
Aku jadi semakin kagum dengan Pipit. Cantik, pandai, manis, tak manja seperti umumnya gadis-gadis lain, dan menurut berita yang kudapat dari Santi, Pipit itu pandai memasak. Hampir sama denganku yang suka mengutak–atik pekerjaan mamak jika sedang di dapur.
Ah, kenapa setiap ingat gadis itu aku jadi seperti mengalami masalah di otak kecilku? Macam kehilangan keseimbangan. Salah tingkah tak karuan. Aneh sekali orang jatuh cinta itu. Sekarang aku baru tau, kenapa abangku sering senyum-senyum sendiri sepulang dari surau, atau loncat-loncat sambil mengepalkan tangan ke udara sepulang sekolah. Pasti ia baru saja mendapat sesuatu entah senyum entah apa dari Teh Lilis. Kakak cantik pindahan dari Bandung satu tahun lalu itu.
Lamunanku terpecah ketika kudengar isak tangis disekitarku
PIPIT?
“Kenapa dia, San?” tanyaku panik.
“Layangannya putus, Yu. Sudahlah Pit, nanti kita buat lagi ya. Kamu.........”aku tak dengar lagi kata Santi setelah itu, yang harus kulakukan adalah mengejar layangan yang berlari ke utara itu. Aku harus dapat.
0,5 km aku berlari. Hup, dapat. Untung saja dia takluk tersangkut di pohon trembesi di depannya. Jika tidak, bisa kurus mendadak aku mengejarnya.
“Pit..” aku mencoba menenangkan. Pipit masih saja memeluk lutut sambil terisak sesak dibawah pohon jati dipinggir sungai.
“Aku sedang tak ingin bergurau, Yu. “
“Aku tak ingin mengajakmu bergurau, Pit. Lihatlah dulu aku pegang apa.
Pipit lalu bangun dari tundukannya. Matanya sedikit sembab. Pipi tembemnya basah. Tak tega aku melihatnya.
“Mengapa kau pegang-pegang benang,Yu? Aku ingin layanganku. Aku bahkan harus mecari 15 lembar koran bekas untuk membuat ekornya. Aku ingin layanganku, Yu,kembali dibenamkannya kepalanya ke tangan yang melingkar diatas lutut.
“Lihat dulu kemana ujung benang ini, Pit,” aku menggoncang tangannya pelan. Pipit lalu terbangun. Diikutinya arah benang hingga ke ujung
“Itu?”
 “Iya, ini layanganmu,” kuserahkan ujung benang ini ke tangannya. Pipit masih tak percaya.
“Dia mengejarkannya untukmu, Pi.Jangan menangis lagi ya,Santi menepuk-nepuk pundak Pipit, lalu melirik wajahku dan mengedip. Begitupun yang dilakukan Dimas. Wajahku memanas.
Senyum Pipit mengembang lagi. Air matanya kembali menetes. Mungkin dia bahagia layangannya kembali. Masih saja aku tak tega melihatnya menangis. Rasanya ingin kuhapus titik air di pipinya itu, tapi aku tak kuasa menggerakkan tanganku. Pada akhirnya, Dimaslah yang menghapus air mata Pipit. Dimas?
*****
 “Kau ini kenapa,Yu? Sedih sekali sejak kemarin. PMS kau?” Dimas mengejarku. Aku menggeleng, merajuk, dan ngeloyor pergi. Dimas masih saja membuntutiku. Mulutnya tak berhenti bergerak, menjelaskan berbagai hal padaku. Aku tetap tak peduli, yang ku tahu  Dimas menghapus air mata Pipit.Entah apa maksudnya, aku sakit hati. Sangat amat sakit sekali kuadrat.
“Tak ingin melihat wajahmu lagi aku, Dim. Jangan temui aku lagi,” aku lalu berlari. Dimas tak mengejarku lagi, yang kudengar hanya ia memanggilku, setelah itu aku tak peduli.
Aku telah sampai di tanggul danau. Agendaku hari ini adalah memancing ikan dengan Pipit dan Santi. Tanpa Dimas. Kucoba memasang wajah seceria mungkin.
“Tumben tak datang dengan Dimas?” Santi telah standby di tepi danau. Lengkap dengan seperangkat alat pancing sederhana, disampingnya Pipit tengah menggelar alas duduk  untuknya menunggu pancing di tenggak.
“Sakit,” jawabku sekenanya.
“Sakit? Aneh sekali. Kemarin Dimas mengantar lemang kerumahku. Dia sehat-sehat saja,” Santi heran.
“Tidak tau, tadi ia tak mau berangkat. Katanya sedang tak sehat,” aku berbohong. Tak mau keributanku dengan Dimas diketahui oleh mereka. Apalagi penyebab kami ribut adalah karena Pipit.
“Ooo..” Santi dan Pipit serentak. Mereka agak tak memerhatikanku. Aku paham tentang ini. Mereka sebenarnya harus konsentrasi penuh pada kail pancing mereka. Lama kami terdiam. Tiba-tiba senar Santi bergerak-gerak. Sudah bisa ditebak. Pancingnya di tenggak. Diangkatnya satu ekor lele danau berukuran jumbo dari pancingnya, lalu dimasukkannya ke timba yang sudah disiapkan.
Senyum puas mengembang dari wajah Santi. Pipit yang melihat temannya berhasil  juga ikut gembira. Wajahnya terlihat lebih bersemangat.
Berdesir lagi sesuatu didalam tubuhku sana. Wajah ayu itu mendinginkan hatiku yang sedang kalut. Diam-diam aku mengamatinya lebih lekat. Sangat menenangkan. Apalagi wajahnya lebih ceria ketika tak lama setelah pancing Santi ditenggak, pancingnya pun juga ikut ditenggak.
Aku lalu memecah lamunanku sendiri. Ketika kulihat  sekitar 50 meter dari tempatku duduk ada sesuatu yang menarik. Kuhampiri benda itu, sebuah batu yang amat cantik. Warnanya putih, bentuknya menyerupai hati. Ukurannya juga tak terlalu besar untuk disimpan . Tak perlu mengambil pikiran yang panjang. Aku lalu mengambilnya, dan kembali ke tempat semula.
Senyumku mengembang. Seakan mengganti kegusaranku yang tadi, ditanganku telah ada simbol hatiku. Simbol jatuh cinta.
“Cantik sekali, Yu,” Pipit yang tak sengaja melihatku itu kagum. Aku tersenyum lalu mengangguk.
“Untukmu, Pit.
“Ah, bagaimana bisa?”gerutuku dalam hati, aku benar-benar reflek. Belum pernah merencanakan sebelumnya, yang ingin ku tahu adalah bagaimana perubahan air mukaku sekarang. Jantungku sudah berlari-lari kencang sekali.
“Untukku? manis sekali,”Pipit menerimanya. Santi yang sejak tadi konsen dengan pancingnya sedang ber-cie ria. Wajah Pipit bersemu Ia terlihat sangat gembira, dicubitnya dengan gemas pipiku yang tak kalah chubby dari pipinya.Rasanya aku ingin menepi dari sini, dan berteriak kencang-kencang sekarang juga. Tak salah lagi. Pipit pasti juga tak hanya mengagumiku. Aku yakin, ia pasti suka denganku.
Semoga kau paham Pit. Batu itu, tentang hatiku,” harapku dalam hati.
*****
Besok adalah tepat 10 tahun Pipit dilahirkan. Aku harus memberikan kado istimewa untuknya. Tak perlu berpelik-pelik memikirkan kado apa dan dimana aku bisa mendapatkannya.
Santi bilang, Pipit sedang ingin gelang hitam kecil-kecil yang sedang trend sekarang . Pipit belum sempat membelinya, karena ia harus ke kota kecamatan yang jaraknya tidak dekat jika harus mendapatkannya. Apa lalu aku harus ke kota kecamatan untuk mendapatkannya? Tentu saja.
Setelah menabung berhari-hari dan mengayuh sepeda terjauh yang pernah kulakukan, dapat juga akhirnya. Lima buah gelang hitam kecil-kecil, dan sepasang jepit rambut berwarna ungu. Warna kesukaan Pipit.
Kado sudah cantik terbungkus. Saatnya aku beraksi. Rencananya aku sekaligus menembak Pipit. Sebelum diserobot oleh Dimas tentunya. Tekanan dan dorongan dari berbagai unsur ternyata membuatku kuat juga. Selain itu, ekspresi Pipit yang selama ini salah tingkah saat aku menggombal pun juga rambu-rambu bahwa Pipit tentu juga merasakan hal yang sama denganku.
Gadis cantik itu sedang duduk mengayun-ayunkan kaki di tongkrongan belakang kelas. Aku menghampirinya. Seperti biasa jantungku berdebar–debar, darah mendesir kencang, keringat dingin berguguran, dan muka mulai terasa panas. Satu lagi, kakiku lemas. Benar-benar lemas. Jika dilihat sepintas, mungkin aku lebih mirip seperti penderita penyakit jantung yang sedang kambuh. Untuk menghilangkan gerogi, kuhentak-hentakkan kakiku tiga kali ke tanah. Kembali meluruskan niat.
“Pipit, selamat ulang tahun ya,” aku gugup. Kuserahkan kotak kecil berpita ini. Pipit menerimanya dengan riang.
“Waa..., makasih Wahyu. “
“Sama–sama. Emm... aakuu, mau bilang sesuatu boleh?” hampir saja penyakit gerogiku kambuh lagi. Tapi segera hilang ketika Santi mengacungkan jempolnya padaku. Pipit menjawab dengan satu anggukan pelan.
“Aku suka kamu, Pit,” praktis,lugas, padat, jelas.
Air muka Pipit berubah. Sepertinya ini pertanda buruk, dari kejauhan Dimas berlari-lari kearah kami. Jangan-jangan?
“Lalu selama ini apa,Pit? Ada apa dengan pipimu yang tiba-tiba bersemu ketika aku menggombalimu?”
Pipit menunduk.
“Atau jangan–jangan kau sudah menjadi pacarnya?” aku menunjuk Dimas yang baru saja hadir ditengah-tengah kami. Pipit menggeleng cepat. Dimas hanya melongo tak tau maksudnya.
“Maaf Yu, aku hanya bisa menganggap kau sebagai adikku. Aku hanya mengagumimu yang lucu. Tak lebih, dan tentang tingkahku yang itu,  bukankah kau sudah paham? 5 tahun sekelas denganku harusnya kau sudah hafal jika itu memang sifatku. Siapapun yang bertingkah manis padaku, mukaku akan bersemu. Bukan hanya kau.
Aku berlari meninggalkan mereka bertiga. Aku sangat malu. Pertama kali jatuh cinta, pertama kali menembak, dan pertama kali di tolak.
Ini bukan jalan cerita yang kuinginkan. Harusnya cinta pertamaku berakhir bahagia. Tapi, kenapa dia tak menerimaku? Why? Kenapa?
My first love broke my heart for the first time.

0 komentar:

Posting Komentar