RSS

Espresso, Cerpen Bersama


Di bawah ini adalah cerpen yang di buat oleh tangan orang banyak. Minggu lalu saya dapat tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk membuat cerpen berkelompok.karena ide kami seringkali terputus -putus, makanya teman satu kelompok harus bisa menyambung ide yang di maksud, jadi maklum kalau hasilnya acak-acakan. hehe. ini jadinya  

 
ESPRESSO


Langit muram, angin tak berhembus. Dingin musim hujan diselubungi udara lembab. Mendung yang bergelantungan di langit, membawa serta titik air yang siap terjun. Salsa duduk mematung seorang diri memandang hampa. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sengaja ia buat untuk menghangatkan tubuhnya. Begitu kebiasaan Salsa setiap pagi. Ia bisa saja bertahan untuk beberapa lama hanya untuk menuntaskan agenda wajibnya itu sebelum berangkat sekolah.
Kebiasaan Salsa meminum kopi tidak hanya berlangsung di pagi hari. Ia selalu melakukan hal yang sama saat jam istirahat di sekolah, saat pulang les di sore hari, ataupun saat matanya mulai terkantuk saat ia sedang belajar. Berkali-kali ia mendapat peringatan dari berbagai pihak yang mengkhawatirkannya, namun Salsa tak pernah menghiraukan. Baginya, kopi adalah......
Isi cangkir Salsa sudah mulai surut saat jam tangan digitalnya berbunyi. Jam 6 tepat, artinya Salsa harus menyudahi acara minum kopinya. Di depan gerbang kosnya, klakson sepeda motor Ochi sudah terdengar berkali-kali. Salsa menyambar tas ranselnya yang tergeletak di meja teras, lalu menghambur keluar gerbang.

***

            Malam ini Salsa lembur. Setumpuk tugas sekolah harus diselesaikannya malam ini juga. Padahal matanya sudah sulit diajak kompromi.Salsa menarik napas. Mengembalikan diri dari lamunan panjang. Dipaksakannya kembali berkonsentrasi pada soal-soal trigonometri di depannya.

            “ Kenapa tadi melamun?” Fifi yang sedari tadi mengerjakan tugasnya tak sengaja melihat Salsa.
            “Kalau sedang  mengantuk, aku selalu melamun. Semacam pembukaan kalau ingin tidur. Makanya aku tadi menarik napas panjang supaya tidak terlanjur tidur.”
            “Dasar aneh.” Teman sekamar Salsa itu kembali mengerjakan tugasnya.
            Salsa beranjak membuka lemarinya dan mengambil sesuatu di rak paling bawah. Sambil membawa termos Salsa menghilang dibalik pintu kamarnya. Sesaat kemudian Salsa kembali ke kamar membawa termos yang sama.
            “Kopi lagi?” Fifi membelalak. Salsa hanya tersenyum innocent.
            “Jangan gila kamu Sa! Pagi tadi kamu kan sudah habiskan 2 cangkir, tadi siang di sekolah beli 2 gelas cappucino, tadi sore pulang les 2 cangkir espresso, dan sekarang kamu akan habiskan saatu termos kopi susu?” Fifi geleng-geleng tak percaya.
            “Kamu kan tau Fi, aku ini pecandu berat. Aku bisa sakaw sehari saja tanpa kopi.” Jawab Salsa sembari menuang cairan hitam dari termosnya.
            “Kasian lambungmu Sa.” Wajah Fifi memelas seakan meminta Salsa menghentikan hobi buruknya itu.
            All is well Fi.” Salsa tersenyum meyakinkan.
***
            Hari ini sepulang sekolah sudah ada yang menunggu Salsa di depan gerbang sekolah. Dengan ditemani sebuah motor sport  warna putih keluaran terbaru, seseorang itu melaju membonceng Salsa memecah keramaian kota. Jika ditanya siapakah seseorang itu, Ia adalah teman baru Salsa, Ochi.
            “Kemana Sa?” Kata Ochi.
            “Aku mau tunjukan kamu sebuah tempat.”
            “Tempat apa? Jangan bilang kamu akan membawaku ke toko pernak-pernik perempuan atau apalah itu namanya.” Ochi mendengus kesal, mengingat kelakuan Salsa beberapa hari yang lalu yang berhasil membuatnya mati bosan ketika Salsa mengajaknya ke girlshop.
            “Tenang saja. Kamu pasti akan suka, perempatan depan belok kiri ya.”
            Tidak terlalu jauh, motor itupun telah mengantarkan tuannya ke sebuah kedai yang cukup ramai dipadati oleh anak-anak muda, mengingat jam-jam sekolah adalah waktu paling tepat untuk bermain sepulang sekolah. Salsa dan Ochi mulai memasuki kedai tersebut. Terlihat muda-mudi yang hanya sekadar berkumpul dan melepas penat pelajaran. Salsa mengajak Ochi duduk di pojok kedai. Tempat paling nyaman menurutnya. Dari sana ia bisa melihat lalu lalang kota ini dari sudut kecil kota yang tak banyak orang mengetahuinya. Tak butuh waktu lama seseorang menghampiri mereka.
            “Hai Sa, kesini lagi?” tanya seseorang yang akrab dengan Salsa.
            “Hai Mal! Eh iya, kenalin nih temen baru aku, namanya Ochi.” Kata Salsa sembari menunjuk Ochi yang sedari tadi memperhatikan mereka yang sedang bercakap-cakap.
            Amal tersenyum  pada Ochi dan langsung dibalas senyum oleh Ochi.
            “Mau pesan apa Sa?” Tanya Amal.
            “Biasa..espresso dua ya mal!” Sahut Salsa. Amal pun kembali menuju sisi belakang kedai memenuhi permintaan pelanggan setianya itu. Amal adalah pemilik Amaliah’s coffeshop, kedai yang sedang dikunjungi Salsa dan Ocha saat ini.
            “Kamu sering kesini ya Sa?” Ochi melepaskan tas yang sedari tadi menggelatung di pundaknya. Salsa hanya mengangguk sok imut.
            “Tiap hari kalau tak ada les.”
            “Selalu pesan menu yang sama?”
            “Menurutmu?”
            Ochi mengedikkan bahu. Salsa hanya tersenyum.
            “Menurut artikel yang pernah kubaca, kopi itu nyandu lo Sa. Dalam kasus yang berat, pecandu parah bisa saja menghabiskan bercangkir-cangkir kopi per hari, dan yang lebih parah lagi, pecandu itu bisa menderita migran jika telat minum.”
            “Itu kata orang-orang, tapi sejauh ini aku baik-baik saja tuh.” Jawab Salsa enteng.
            “Atau jangan-jangan kamu memang sudah candu?” mata Ochi menyelidik. Yang dituju hanya senyum-senyum meremehkan. Di tengah perdebatan tak imbang itu, espresso mereka datang. Keduanya terdiam menyambutnya. Salsa merasa bahagia tonggak hidupnya datang. Sedang Ochi masih sebal dengan temannya yang aneh itu.
            Asap kopi yang mengepul menggoda Ochi. Diseruputnya minuman Itali kegemaran Salsa itu.
            Enak juga, pantas saja si aneh ini sampai nyandu, tapi seenak-enaknya minuman ini tetap saja berdampak buruk. Batin Ochi.
            Espresso di tangan masing-masing semakin menghangatkan perbincangan di antara keduanya, hingga espresso Salsa habis terlebih dahulu. Sore pun sudah kian menua, Ochi mengajak Salsa pulang walaupun espressonya belum habis sempurna. Hal itu dilakukannya sebagai upaya mencegah Salsa memesan espresso keduanya.
            Jalanan kota terlihat lengang karena jam pulang kantor belum di mulai. Langsung saja Ochi melajukan motornya lebih kencang demi menghindari kemacetan. Sepanjang perjalanan Salsa hanya terdiam tak seperti biasanya.
            Gerbang kos Salsa masih tertutup rapat saat keduanya tiba. Ketika Ochi telah mematikan mesin motornya, Salsa tak kunjung turun dan masih berpegang erat pada jaket Ochi.
            “Sa, udah sampai nih. Ayo lekas turun.” Ochi mencoba bicara. Namun tetap tak ada jawaban. Ochi menggoyang-goyangkan motornya untuk membangunkan Salsa yang kemungkinan tengah tidur pulas. Namun di luar dugaan. Salsa terkuyung dan jatuh tergeletak di tanah. Dengan perasaan takut dan kaget Ochi segera memarkir motor dan mengguncang-guncang tubuh Salsa. Tak ada tanda-tanda Salsa bergerak. Ochi semakin gelisah. Di ambilnya handphone Salsa yang tergeletak di sampingnya dan menelepon Fifi. Tak lama kemudian gerbang kos Salsa terbuka. Seorang gadis yang sedang menempelkan handphone di telinganya muncul. Melihat Salsa tergeletak, Ia langsung panik dan segera mencari angkot yang lewat di depan kos untuk membawa Salsa ke klinik di ujung jalan. Tak terlalu jauh angkot telah berhenti di depan klinik dokter Ida.
            Fifi yang sedang panik menggedor-gedor pintu klinik. Sebenarnya sekarang bukan jam praktik. Tapi Fifi tak peduli, temannya butuh pertolongan dokter Ida sekarang juga. Lagipula Salsa pernah bilang dokter Ida adalah tantenya. Dokter Ida pasti mengerti.
            “Dokter..dokter, Salsa dokter.” Tak ada jawaban. Sekali lagi Fifi menggedor-gedor pintu.
            “Dokter..dokter, tolong Salsa dokter.” Kegelisahan Fifi hampir berlipat-lipat ketika seorang wanita muda membukakan pintu.
            “Ya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita muda itu.
            “Dokter Ida, tolong Salsa dokter.” Fifi yang tengah panik tak bisa berkata-kata dengan jelas.
            “Salsa? Kenapa Salsa? Ayo sini dibawa masuk.” dokter Ida setengah terbelalak dan mengambil stetoskop di dinding ruang praktiknya. Dokter Ida lalu memeriksa kondisi tubuh Salsa. Matanya, mulutnya, telinganya, denyut nadinya, dan yang terakhir tensi darahnya. Membaca tanda-tanda yang tak beres dengan Salsa, dokter Ida mengerutkan dahi.
            “Ada yang tau, tadi Salsa makan apa?”
            “Setahu saya, Salsa belum makan apapun dari pagi. Sebelum berangkat sekolah, Salsa hanya minum kopi. Tadi di sekolah juga hanya minum cappucino cincau, selebihnya saya tidak tau dokter.” Fifi menjelaskan. Ochi menepuk dahi menyadari bahwa Salsa pasti sedang terkena dampak kebiasaan anehnya. Ini tak bisa dibiarkan, Salsa harus berubah.
            “Pulang sekolah tadi Salsa menghabiskan satu cangkir espresso dokter. Sepertinya Salsa sudah kecanduan kopi.”Ochi menambahkan.
 Dokter Ida menghembuskan napasnya berat memandangi Salsa yang sedang tergeletak lemah.
            “Saya tidak mengira, kebiasaan Ibunya turun juga kepada Salsa.”
            Fifi dan Ochi berpandangan. Dalam otak mereka berkecamuk pikiran yang sama. Kebiasaan Salsa bukan maunya sendiri. Bagaimanapun Salsa harus sembuh.
            Sepulang dari klinik dokter Ida, Fifi mengawasi Salsa lebih ketat. Kepeduliannya kepada teman tak bisa hanya berdiam diri. Fifi menyita bubuk-bubuk kopi yang dimiliki Salsa. Tentu saja tidak semuanya. Fifi hanya menyisakan seperdelapan dari jumlah keseluruhan karena menyita semuanya hanya akan menyiksa Salsa. Salsa adalah pecandu kopi. Ia bisa saja pusing kalau tidak meminum kopi. Paling tidak kebiasaannya meminum 6-8 gelas kopi perhari bisa menjadi 1 gelas saja atau bahkan tidak meminum sama sekali. Target Fifi adalah membuat Salsa amnesia dengan kopi. Bagaimanapun, lambung Salsa sudah terlalu rapuh untuk terus-menerus disiram cairan “nyandu” itu.

            Untuk misi ini Fifi tidak bisa bekerja sendiri. Ia harus bekerja sama dengan Ochi, teman baru Salsa. Fifi khawatir Salsa dan Ochi akan sering hangout untuk menikmati kopi bersama.
            Usaha Fifi ternyata tak sia-sia. Dalam 1 minggu terakhir Salsa sudah tak pernah menyentuh kopi lagi. Tak mudah memang bagi Salsa. Tapi Salsa sendiri ingin sembuh. Ia juga tak ingin mengecewakan kedua sahabatnya yang mati-matian berusaha menjauhkannya dari kopi.
***
            Motor sport Ochi sudah sedari tadi terparkir di seberang jalan sekolah Salsa. Tak seperti biasanya, hingga sekolah sepi Salsa tak kunjung muncul. Padahal jelas-jelas Salsa yang memintanya untuk menjemput. Ochi masih bersabar dengan penantiannya. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.
            “Ochi ngapain di sini?” Sapa Fifi yang cukup membut Ochi terkejut dan melompat dari motor.
            “Eh kamu ngagetin aja. Biasalah Fi, nungguin Salsa. Tadi  dia minta jemput, tapi sampai sekarang belum juga muncul batang hidungnya.” Jelas Ochi.
            “Loh, Salsa udah pulang dari tadi tuh. Bel pulang berbunyi dia langsung pergi. Pas aku tanya kemana, dia bilang lagi kangen sesuatu. Aku kira dia pergi sama kamu.” Terang Fifi pada Ochi.
            “Tunggu Fi, kangen sesuatu? Jangan-jangan...” Ochi dan Fifi saling berpandangan. Sepertinya pikiran mereka sama.
            Langsung saja Ochi dan Fifi meluncur ke suatu tempat dimana kemungkinan besar Salsa berada. Benar saja, Salsa tengah berada di tempat yang beberapa waktu lalu menjadi rumah kedua baginya, Amaliah’s coffeshop. Salsa terlihat tengah berbincang santai dengan Amal, temannya yang tak lain adalah pemilik kedai kopi ini.
            “Hei Sa, kamu ternyata di sini. Ochi nungguin kamu di gerbang sekolah tadi.” Fifi langsung menyapa Salsa.
            “Eh iya, sorry lupa.” Jawabnya dengan cengirannya yang khas.
            “Jadi, lagi kangen Amal?” tanya Fifi penasaran
            “Eh bukan.” Salsa langsung membantah.
            “Tunggu Sa, kamu.....” Ucap Ochi dan Fifi bersamaan setelah melihat secangkir espresso di tangan Salsa.
*****


Oleh :

·        Dianah Salsabila                       (12)
·        Luthfiana Ratnawati                  (14)
·        Asmaul Hidayah                       (18)
·        M. Sochi Safiul Anam               (23)
·        Amaliah Nurlaili                        (26)

0 komentar:

Posting Komentar