RSS

HADRATUSSYAIKH K.H. HASYIM ASY'ARI


HADRATUSSYAIKH  ULAMA PEDULI UMAT DAN BANGSA


Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang akrab dipanggil Kiai Hasyim- adalah sosok dua abad terakhir. Ia mempresentasikan karakter ulama khas Indonesia. Selain sebagai sosok yang mempunyai kecerdasan intelektual, ia juga seorang organisatoris, pendidik , bahkan warga masyarakat yang mempunyai etos kerja dan asketisisime yang tinggi.
Tidak hanya itu, kelahiran Nahdhatul Ulama dalam konteks Islam Indonesia telah menjadikan Kiai Hasyim tidak hanya dikenal di tanah air , tetapi juga menarik perhatian banyak kalangan. James J. Fox (1999) , antropolog dari Australian National University , menyebutnya sebagai salah satu wali yang sangat berpengaruh di Jawa karena mempunyai kedalaman ilmu yang diyakini membawa berkah bagi pengikutnya. Selain itu juga Kiai Hasyim sebagai sosok yang istimewa serta mempunyai hubungan keluarga dengan para kiai di Jawa dan Prabu Brawijaya.
Di samping itu, satu hal yang patut dicatat dari keteladanan Kiai Hasyim , ia seorang Ulama yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap umat dan bangsa yang majemuk. Sebagi seorang ulama, sudah tentu ia mempunyai kepedulian terhadap umat. Sebab, ulama bukanlah identitas yang terisolasi dengan realitas sosial. Ulama adalh pemimpin umat, perannya melakukan pencerahan dan pemberdayaan umat.
Sebagai seorang warga negara, ia merupakan simbol dari ulama’ nasionalis, yang hidupnya dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Peran Kiai hasyim dalam kemerdekaan tidaklah diragukan.sejarah mencatat , ia berjibaku melawan penjajah dan tak mau bertekuk pada kehendak mereka. Tidak hanya itu, ia turut membangun bangsa ini melalui pendidikan keagamaan yang memperkukuh semangat kebangsaan dan kemajuan.
Kiai Hasyim adalah sosok yang tumbuh dewasa dan menghabiskan masa hidupnya di pesantren, pendidikan pesantren yang begitu khas telah membesarkannya menjadi sosok yang alim dal dalam keagamaan , juga mempunyai concernterhadap pemberdayaan umat.
Kiai Hasyim lahir pada hari Selasa , 14 Februari 1871, atau bertepatan dengan 24 Dluz Qa’dah 1287, di Pesantren Gedang, Tambakrejo, Jombang. Pesantren ini berada 2 kilometer ke arah utara kota Jombang. Keluarga Kia Hasyim dikenal sebagai keluarga ulama asal Demak dan kakaknya , Kiai Usman, adalah pendiri Pesantren Gedang, Jombang.
Kiai Hasyim lahir dari “trah” yang sangat terhormat, seorang alim, dan mempersunting putri dari Kiai karismatik . Saat masih dalam kandungan Nyai Halimah, ibu Kiai Hasyim , melihat tanda-tanda yang luar biasa. Pada suatu malam, ia bermimpi bulan jatuh dari langit dan hinggap di kandungannya. Tentu mimpi tersebut merupakan sebuah pertanda yang sangat baik, bahwa anak yang akan lahir merupakan sosok istimewa di kemudian hari, yang mempunyai kecerdasan talenta, dan bimbingan dari Allah SWT. Tanda-tanda lainnya, Kiai Hasyim berada dalam kandungan ibunya kurang lebih 14 bulan, yang juga di tafsir orang sebagai sebuah kistimewaan. Kiai Hasyim diperkirakan akan menjadi tokoh besar, dan perkiraan itu benar terbukti di kemudian hari.
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam K.H. Hasyim Asy’ari :Figur dan Pejuang Sejati,Nyai Halimah dikenal sebagai perempuan yang taat beribadah . Konon , ia berpuasa selama tiga tahun berturut-turut , puasa tersebut diniatkan untuk sebuah kebaikan. Puasa pada tahun pertama diniatkan untuk diri sendiri. Puasa pada tahun kedua diniatkan untuk anak cucunya. Puasa pada tahun ketiga diperuntukkan bagi para santrinya agar mereka senantiasa dilindungi Tuhan dan sukses dalam menjalani hidup.
Kiai Hasyim adalah putra ke tiga dari 11 bersaudara. Ayahnya adalah Kiai Asy’ari asal Demak, seorang santri brilian di pesantren Kiai Usman . Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri Kiai Usman. Sang ibu merupakan anak pertama dari tiga laki –laki dan dua perempuan. Adapun putra dan putri Kiai Usman yang lain adalah Muhammad , Leler, Fadhli, Nyai Arif. Dari pernikahan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah , lahirlah Kiai Hasyim. Ia mempunyai 10 saudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hasan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksun, Nahrawi, dan Adnan.
Nenek moyangnya juga sangat istimewa.dari garis keturunan ayah, ia seorang kiai yang mempunyai pertalian darah dengan Maulana Ishaq hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir. Adapun dari sang ibu, ia mempunyai pertalian darah dengan Raja BrawijayaVI (lembu peteng), yang mempunyai anak bernama Jaka Jaka Tingkir atau Karebet. Jaka berarti seorang pemuda yang berasal dari Tingkir, yaitu sebuah desa kecil dekat Salatiga, Jawa Tengah. Karebet berarti seorang bangsawan atau pangeran. Jaka Tingkir sendiri adalah raja Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Karakter keulamaan yang melekat pada Kiai Hasyim bermula dari pendidikan orang tuadan kakeknya yang dikenal sebagai ulama. Ia diasuh oleh kakeknya hingga usia 6 tahun. Sejak kecil, ia ditempa dengan pendidikan dan lingkungan pesantren. Jika setiap orang dilahirkan keadaan fitrah, maka fitrah Kiai Hasyim adalah dunia pesantren yang identik dengan pendidikan keislaman.
Kiai Asy’ari, ayahnya , adalah seorang kiai di Jombang yang mendirikan sebuah pesantren yang disebut dengan Pesantren Keras. Pesantren ini bukan berarti mengajarkan paham keagamaan yang keras, melainkan karena lokasinya berada di Keras , Jombang selatan.Pesantren ini dahulu dikenal sebagai laboratorium pendidikan keagamaan yang moderat karena yang diutamakan adalah kedalaman ilmu dan moralitas yang tinggi. Pesantren ini didirikan pada tahun 1876.
Konon, Pesantren Keras merupakan hadiah dari kepala desa setempat, yang kemudian digunakan untuk membangun pesantren. Pada mulanya, pesantren tersebut adalah lembaga pendidikan yang sederhana. Di situ hanya terdapat masjid, tempat pemukiman para santri yang sangat sederhana, dan rumah kiai yang juga sangat sederhana. Biasanya , masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga tempat pendidikan kitab kuning , yang dilaksanakan setiap selepas shalat. Kurikulumnya pun mengacu pada kitab yang dijadikan pegangan.
Pada awal pendirian pesantren keras, usia Kiai Hasyim masih 6 tahun. Ia menyaksikan secara langsung perjuangan ayahnya untuk mendidik umat dan menyelamatknan mereka dari kubangan kebodohan.ia pun menjadi santri di pesantren tersebut dalam rangka mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Dalam hal ini, semakin dini seseorang mendalami keagamaan, hal tersebut akan memberikan dampak yang sangat besar dalam pertumbuhan hidupnya. Konon ulama-ulama besar , seperti Imam Syafi’i , adalah sosok yang memang ditempa melalui pendidikan sejak dini, yang dalam sejarah disebutkan sudah bisa menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun.
Begitu pula Kiai Hasyim yang pada usia muda merupakan sosok sederhana dan gemar bergaul. Teristimewa, jiwa kepemimpinan dan kebrilianannya sudah bisa dilihat pada masa kecilnya. Di antara teman –temannya, ia dikenal sebagai teladan yang baik karena kerap kali  melerai pertengkaran yang terjadi saat bermain. Ia suka menegur teman-temannya  apabila ada sebuah kejanggalan, tetapi hal itu tidak membuat mereka tersinggung . mereka mengerti betul bahwa apa yang dilakukan Hasyim kecil merupakan sebuah sikap yang lahir dari niat yang tulus.
Kecerdasannya mulai terlihat saat ia berusia 13 tahun. Pada usia yang relatif muda, ia dipercaya ayahnya untuk mengajar para santri di Pesantren Keras dan dianggap sudah mempunyai kapasitas keilmuan yang memungkinkan Kiai Hasyim mengajarkan ilmunya kepada para santri. Meskipun ditunjuk sebagai guru pengganti, hal itu merupakan sebuah penghargaan atas kecerdasannya.
Satu hal yang merupakan keistimewaannya sejak muda ialah kemandirian. Tidak seperti putra kiai lain, ia adalah sosok yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Kiai Usman , sang kakek, kerap mendidiknya agar mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain.Karena itu, Kiai Hasyim sejak kecil terbiasa mencari nafkah sendiri dengan cara bertani dan berdagang. Hasil yang diterimanya digunakan untuk menuntut ilmu.
Pengalaman hidup seperti itu membentuk karakter keulamaan tersendiri, di mana ulama pada hakikatnya seorang yang mandiri, yang tidak mudah tergiur dengan cara-cara yang tidak mulia. Kiai Hasyim sejak mudamembiasakan diri untuk mencari nafkah sehingga tidak tergiur pada gemerlap dunia.
Meskipun sudah ditunjuk sebagai pengajar di pesantren dalam usia yang sangat muda, ia tidak pernah mengurungkan niat untuk mengarungi lautan ilmu. Pada usia 15 tahun, ia berinisiatif menimba dan menambah ilmu di pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo, Jombang. Lalu , ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Pesantren Wonokoyo, Probolinggo.
Kemudian Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Pesantren Langitan, Tuban. Hingga akhirnya ia mendalami ilmu keagamaan di Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura. Pesantren ini menjadi sangat populer di kalangan Muslim Tradisional karena pendirinya adalah Kiai Cholil bin Abdul Latif, seorang kiai yang pertama kali memopulerkan kitab babon bahasa Arab , yaitu Alfiyah Ibnu Malik, dan juga dianggap sebagai waliyullah. Hingga sekarang, makam beliau masih ramai diziarahi kalangan Muslim tradisional, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Di pesantren tokoh alim tersebut, Kiai Hasyim menempuh pendidikan selama 3 tahun.
Pada tahun 1891, Kiai Hasyim melanjutkan petualangan ilmiahnya di Jawa setelah tiga tahun belajar di “Pulau Garam” Madura. Kini pilihannya adalah pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Ya’qub. Sebagaimana di Madura, Kiai Hasyim belajar agak lama di pesantren ini selama kurang lebih 5 tahun. Hingga akhirnya Kiai Ya’qub menyampaikan proposal untuk menikahkan putrinya, Khadijah , dengan Kiai Hasyim.
Saat Kiai Ya’qub menawarkan minatnya untuk mempersuntingkan putrinya dengan santri cemerlang itu, Kiai Hasyim sempat menolak karena masih senang mencari ilmu dan belum terpikirkan untuk naik ke pelaminan. Bahkan, ia meminta agar diberikan tugas yang lebih berat daripada menikahi putri Kiainya.
Menurut Solichin Salam (1963), Kiai Ya’qub berhasil meyakinkan Kiai Hasyim seraya berkata ,”Hasyim ,anakku! Soal mencari ilmu sebenarnya memang betul, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya,  Minhaj al-Yaqin , bahwasanya orang yang memperdalam ilmu agama adalah laksana orang berenang dalam lautan, kian jauh orang berenang di laut bukannya bertambah sembip laut itu dalam pandangannya , bahkan sebaliknya, semakin luas dan dalam. Tak tampak olehnya pantai dan tak dapat pula diketahuinya dengan pasti berapa lebar dan dalamnya laut kala itu di sekelilingnya. Lagipula, tak ada alasan yang tepat bagi seorang untuk menganggap bahwasanya perkawinan, bahkan mengemudikan rumah tangga sekalipun, untuk dijadikan sebab berhenti dan mencari ilmu serta menuntut pengetahuan, asal saja dalam dada orang tadi masih menyala-nyala api semangat, ingin menjadi orang besar dan berarti pula dalam masyarakat ramai kelak di kemudian hari. Dan memang , hanya didalam rongga dada calon orang besar sajalah terdapat rasa kurang puas terhadap keadaan yang sedah dicapainya itu.”
Mendengar ungkapan tersebut , Kiai Hasyim mulai memikirkan baik-baik niat baik gurunya. Kiai Ya’qub , yang nantinya menjadi mertuanya . Namun ada satu hal yang harus dilaluinya sebelum menempuh ke jenjang pernikahan, yaitu restu kedua orang tuanya . karena itu, setelah mendapatkan persetujuan orang tuanya, Kiai Hasyim melangsungkan pernikahan dengan Nyai Khadijah pada tahun 1892.
Dalam tradisi pesantren, pernikahan antara santri dan putri kiai merupakan salah satu bentuk tradisi yang bertujuan melestarikan perjuangan dan pengorbanan dalam membina umat. Apalagi jika sang kiai tidak mempunyai seorang putra yang akan melanjutkan estafet kepemimpinannya. Namun, khusus untuk Kiai Hasyim, pernikahannya dengan putri Kiai Ya’qub merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap kealiman dan trah biru yang terdapat dalam diri Kiai Hasyim.
Bagi seorang alim, tidak sempurna jika tidak menunaikan ibadah haji. Apalagi bagi kalangan Muslim tradisional , ibadah haji merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, Kiai Hasyim, istri, dan mertua memutuskan untuk menunaikan ibadah haji.
Pada masa lalu, menunaikan ibadah haji tidak hanya sekedar berniat melaksanakan rukun Islam yang kelimaitu, tetapi juga menambah ilmu. Para ulama berdatangan dari berbagai belahan dunia untuk belajar dan mengajar ilmu keagamaan. Adapun ibadah haji merupakan puncak dari petualangan ilmiah, begitu pula setelah pelaksanaan ibadah haji, pendidikan keagamaan terus berlangsung.
Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Hasyim tidak langsung kembali ke tanah air. Ia menetap beberapa bulan untuk mendalami ilmu –ilmu keagamaan, terutama ilmu hadis, yang merupakan salah satu bidang ilmu yang paling di gemarinya. Hal itu bisa dilihat, buku-buku yang di tulis Kiai Hasyim selama hidupnya merupakan pembahasan yang berisi hadis-hadis.
Setelah 7 bulan berada di Makkah, Kiai Hasyim tidak hanya dikaruniai ilmu. Lebih dari itu, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abdullah . nama tersebut dalam rangka mencari berkah pada nama ayah Nabi Muhammad SAW . istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kehadiran Abdullah.
Namun, tidak lama setelah itu, kegembiraan berubah menjadi kesedihan yang amat mendalamkarena istri tercinta Khadijah, dipanggil oleh Allah SWT . Bukan hanya itu, sekitar 40 hari kemudian, Abdullah , putra yang amat di sayanginya juga meninggal dunia. Kesedihan tersebut dilaluinya dengan senantiasa memohon pertolongan dan petunjuk kepada Allah . setelah peristiwa yang menyedihkan tersebut, Kiai Hasyim kembali ke tanah air untuk mengantarkan mertuanya.
Makkah telah memberinya kenangan dan pengalaman yang sangat berharga, terutama gudang ilmu yang diraihnya selama berada di kota suci tersebut dan tentu saja nikmatnya beribadah setiap saat di depan Ka’bah. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1893 Kiai Hasyim memutuskan berangkat kembali ke tanah suci Makkah untuk melanjutkan petualangannya menuntut ilmu.
Dalam keberangkatannya yang keduaini, ia diteman adik kandungnya, Anis. Namun  Allah mempunyai kuasa dan kehendak. Anis juga dipanggil oleh Yang Mahakuasa. Peristiwa tersebut membuatnya semakin dekat dengan Allah dan ia tidak mau terlalu lama larut dalam kesedihan.
Setiap Sabtu pagi, Kiai Hasyim kerap berziarah ke Gua Hira, yang terletak di Jabal Nur. Jarak yang harus ditempuh dari tempat tinggalnya ke Gua Hira kurang lebih 10 kilometer. Kegiatan tersebut dalam rnagka napak tilas perjuangan Rasulullah SAW pada masa awal Islam, ketika beliau menerima wahyu pertama kali di gua bersejarah itu. di samping itu, kegiatan rutin tersebut juga di gunakan sebagai momen untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Rasulullah SAW dan mengkhatamkan Al-Qur’an.
Setiap kali berangkat ke Gua Hira, Kiai Hasyim tidak lupa membawa bekal makanan untuk jatah enam hari. Ia menetap semala berhari-hari di Gua Hira, dan turun dari Jabal Nur pada hari Jum’at untuk melaksanakan Shalat Jum’at di Masjidil Haram. Kebiasaan ber-tahannuts­ di Gua Hira dilakukan selama berbulan-bulan . Disamping itu, Kiai Hasyim juga gemar berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.
Gairah Kiai Hasyim mencari ilmu sangat tinggi. Sepanjang hidupnya digunakan untuk menuntut ilmu. Selama di Makkah, ia menggunakan waktau sebaik mungkin untuk beribadah dan menimba ilmu sebelum akhirnya kembali ke tanah air. Sederet syaikh  ternama pernah menjadi gurunya, yaitu Syaikh Syu’aib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudz al –Turmusi, Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Amin al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadhal.
Kiai Hasyim belajar ilmu hadis dari Syaikh Mahfudz al-Turmusi, ulama asal termas. Ia dikenal sebagai ulama ahli hadis yang mengajarkan kitab Shasih Bukhari  di Makkah. Dari Syaikh Mahfudz, Kiai Hasyim mendapatkan ijazah dan mengajar kitab babon dalam hadis tersebut. Adapun dari Syaikh Ahmad Khatib, Kiai Hasyim belajar fikih Mahdzab Syafi’i . konon, K.H. Ahmad Dahlan , pendiri Muhammadiyah , juga salah satu murid Syaikh Ahmad Khatib.
Kegemaran dan kesungguhan Kiai Hasyim dalam menuntut ilmu membuahkan hasil yang manis. Ia di tunjuk sebagai salah satu guru di Masjidil Haram bersama para ulama asal Indonesia. Diantara nama ulama tersebut adalah ulama yang terkenal di Timur Tengah karena kedalaman ilmu dan karya mereka yang mengharumkan Tanah Air hingga sekarang. Bahkan sulit mencari sosok ulama yang sepadan dengan keduanya dalam beberapa tahun terakhir.
Selama mengajar di Masjidil Haram, Kiai Hasyim mempunyai sejumlah murid, antara lain Syaikh Sa’dullah al-Maimani (mufti India), Syaihk Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), al-Syihab Ahmad bin Abdullah ( Suriah), K.H. Wahab Hasbullah (Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), K.H. Dahlan (Kudus), K.H. Bisri Syansuri (Jombang), dan K.H. Shaleh(Tayu).
Pada tahun 1899, Kiai Hasyim memulai hidup baru. Ia menikahi Nyai Nafisah, putri Kiai Romli dari desa Karangkates, Kediri. Pertemuan tersebut bermula pada musim haji. Ketika Kiai Romli dan putrinya melaksanakan ibadah haji. Kekaguman Kiai Romli terhadap Kiai Hasyim telah mendorongnya untuk menikahnkan putrinya dengan Kiai Hasyim.
Setelah 7 tahun menetap dan belajar di kota Makkah, Kiai Hasyim akhirnya kembali ke Tanah Air . kepulangannya kali ini berbeda dengan kepulangannya yang pertama karena ia merasa sudah punya modal keilmuan yang  mumpuni. Bekal ilmu yang diterimanya di Makkah sudah lebih dari cukup untuk membimbing umat negeri yang di cintainya.
Pada tahun 1899, Kiai Hasyim kembali ke kampung halaman. Pada mulanya ia tinggal di rumah mertuanya di Kediri. Lalu ia membantu kakeknya Kiai Usman , mengajar di Pesantren Gedang. Akhirnya ia membantu ayahnya Kiai Asy’ari mengajar di Pesantren Keras, Jombang. Kiai Hasyim memulai kembali aktifitas yang sangat di gemarinya, yaitu mengajar. Selain belajar, ia dikenal suka menjadi pengajar, pembelajar, pendengar, dan setidaknya pendengar.
Predikat keulamaannya semakin dikukuhkan tatkala guru yang sangat di hormati Kiai Hasyim, yaitu Kiai Cholil , Bangkalan, datang ke Tebuireng, Jombang, hanya untuk belajar hadis. Kiai karismatik tersebut telah mengukuhkan bahwa Kiai Hasyim yang dulu menjadi santrinya di Pesantren Kademangan , Bangkalan, kini menjadi gurunya dalam bidang hadis.Kita tahu bahwa Kiai Cholil adalah ulama ahli bahasa Arab. Ia sengaja datang ke Tebuireng untuk menambah wawasan dalam bidang hadis, terutama setelah mendengar kabar dari banyak orang yang pulang haji bahwa Kiai Hasyim telah menjadi seorang ulama yang kedalaman ilmunya tidak diragukan lagi, khususnya dalam disiplin ilmu hadis.

sumber: HADRATUSSYAIKH ULAMA PEDULI UMAT DAN BANGSA -Karya Zuhairi Misrawi

Espresso, Cerpen Bersama


Di bawah ini adalah cerpen yang di buat oleh tangan orang banyak. Minggu lalu saya dapat tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk membuat cerpen berkelompok.karena ide kami seringkali terputus -putus, makanya teman satu kelompok harus bisa menyambung ide yang di maksud, jadi maklum kalau hasilnya acak-acakan. hehe. ini jadinya  

 
ESPRESSO


Langit muram, angin tak berhembus. Dingin musim hujan diselubungi udara lembab. Mendung yang bergelantungan di langit, membawa serta titik air yang siap terjun. Salsa duduk mematung seorang diri memandang hampa. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sengaja ia buat untuk menghangatkan tubuhnya. Begitu kebiasaan Salsa setiap pagi. Ia bisa saja bertahan untuk beberapa lama hanya untuk menuntaskan agenda wajibnya itu sebelum berangkat sekolah.
Kebiasaan Salsa meminum kopi tidak hanya berlangsung di pagi hari. Ia selalu melakukan hal yang sama saat jam istirahat di sekolah, saat pulang les di sore hari, ataupun saat matanya mulai terkantuk saat ia sedang belajar. Berkali-kali ia mendapat peringatan dari berbagai pihak yang mengkhawatirkannya, namun Salsa tak pernah menghiraukan. Baginya, kopi adalah......
Isi cangkir Salsa sudah mulai surut saat jam tangan digitalnya berbunyi. Jam 6 tepat, artinya Salsa harus menyudahi acara minum kopinya. Di depan gerbang kosnya, klakson sepeda motor Ochi sudah terdengar berkali-kali. Salsa menyambar tas ranselnya yang tergeletak di meja teras, lalu menghambur keluar gerbang.

***

            Malam ini Salsa lembur. Setumpuk tugas sekolah harus diselesaikannya malam ini juga. Padahal matanya sudah sulit diajak kompromi.Salsa menarik napas. Mengembalikan diri dari lamunan panjang. Dipaksakannya kembali berkonsentrasi pada soal-soal trigonometri di depannya.

            “ Kenapa tadi melamun?” Fifi yang sedari tadi mengerjakan tugasnya tak sengaja melihat Salsa.
            “Kalau sedang  mengantuk, aku selalu melamun. Semacam pembukaan kalau ingin tidur. Makanya aku tadi menarik napas panjang supaya tidak terlanjur tidur.”
            “Dasar aneh.” Teman sekamar Salsa itu kembali mengerjakan tugasnya.
            Salsa beranjak membuka lemarinya dan mengambil sesuatu di rak paling bawah. Sambil membawa termos Salsa menghilang dibalik pintu kamarnya. Sesaat kemudian Salsa kembali ke kamar membawa termos yang sama.
            “Kopi lagi?” Fifi membelalak. Salsa hanya tersenyum innocent.
            “Jangan gila kamu Sa! Pagi tadi kamu kan sudah habiskan 2 cangkir, tadi siang di sekolah beli 2 gelas cappucino, tadi sore pulang les 2 cangkir espresso, dan sekarang kamu akan habiskan saatu termos kopi susu?” Fifi geleng-geleng tak percaya.
            “Kamu kan tau Fi, aku ini pecandu berat. Aku bisa sakaw sehari saja tanpa kopi.” Jawab Salsa sembari menuang cairan hitam dari termosnya.
            “Kasian lambungmu Sa.” Wajah Fifi memelas seakan meminta Salsa menghentikan hobi buruknya itu.
            All is well Fi.” Salsa tersenyum meyakinkan.
***
            Hari ini sepulang sekolah sudah ada yang menunggu Salsa di depan gerbang sekolah. Dengan ditemani sebuah motor sport  warna putih keluaran terbaru, seseorang itu melaju membonceng Salsa memecah keramaian kota. Jika ditanya siapakah seseorang itu, Ia adalah teman baru Salsa, Ochi.
            “Kemana Sa?” Kata Ochi.
            “Aku mau tunjukan kamu sebuah tempat.”
            “Tempat apa? Jangan bilang kamu akan membawaku ke toko pernak-pernik perempuan atau apalah itu namanya.” Ochi mendengus kesal, mengingat kelakuan Salsa beberapa hari yang lalu yang berhasil membuatnya mati bosan ketika Salsa mengajaknya ke girlshop.
            “Tenang saja. Kamu pasti akan suka, perempatan depan belok kiri ya.”
            Tidak terlalu jauh, motor itupun telah mengantarkan tuannya ke sebuah kedai yang cukup ramai dipadati oleh anak-anak muda, mengingat jam-jam sekolah adalah waktu paling tepat untuk bermain sepulang sekolah. Salsa dan Ochi mulai memasuki kedai tersebut. Terlihat muda-mudi yang hanya sekadar berkumpul dan melepas penat pelajaran. Salsa mengajak Ochi duduk di pojok kedai. Tempat paling nyaman menurutnya. Dari sana ia bisa melihat lalu lalang kota ini dari sudut kecil kota yang tak banyak orang mengetahuinya. Tak butuh waktu lama seseorang menghampiri mereka.
            “Hai Sa, kesini lagi?” tanya seseorang yang akrab dengan Salsa.
            “Hai Mal! Eh iya, kenalin nih temen baru aku, namanya Ochi.” Kata Salsa sembari menunjuk Ochi yang sedari tadi memperhatikan mereka yang sedang bercakap-cakap.
            Amal tersenyum  pada Ochi dan langsung dibalas senyum oleh Ochi.
            “Mau pesan apa Sa?” Tanya Amal.
            “Biasa..espresso dua ya mal!” Sahut Salsa. Amal pun kembali menuju sisi belakang kedai memenuhi permintaan pelanggan setianya itu. Amal adalah pemilik Amaliah’s coffeshop, kedai yang sedang dikunjungi Salsa dan Ocha saat ini.
            “Kamu sering kesini ya Sa?” Ochi melepaskan tas yang sedari tadi menggelatung di pundaknya. Salsa hanya mengangguk sok imut.
            “Tiap hari kalau tak ada les.”
            “Selalu pesan menu yang sama?”
            “Menurutmu?”
            Ochi mengedikkan bahu. Salsa hanya tersenyum.
            “Menurut artikel yang pernah kubaca, kopi itu nyandu lo Sa. Dalam kasus yang berat, pecandu parah bisa saja menghabiskan bercangkir-cangkir kopi per hari, dan yang lebih parah lagi, pecandu itu bisa menderita migran jika telat minum.”
            “Itu kata orang-orang, tapi sejauh ini aku baik-baik saja tuh.” Jawab Salsa enteng.
            “Atau jangan-jangan kamu memang sudah candu?” mata Ochi menyelidik. Yang dituju hanya senyum-senyum meremehkan. Di tengah perdebatan tak imbang itu, espresso mereka datang. Keduanya terdiam menyambutnya. Salsa merasa bahagia tonggak hidupnya datang. Sedang Ochi masih sebal dengan temannya yang aneh itu.
            Asap kopi yang mengepul menggoda Ochi. Diseruputnya minuman Itali kegemaran Salsa itu.
            Enak juga, pantas saja si aneh ini sampai nyandu, tapi seenak-enaknya minuman ini tetap saja berdampak buruk. Batin Ochi.
            Espresso di tangan masing-masing semakin menghangatkan perbincangan di antara keduanya, hingga espresso Salsa habis terlebih dahulu. Sore pun sudah kian menua, Ochi mengajak Salsa pulang walaupun espressonya belum habis sempurna. Hal itu dilakukannya sebagai upaya mencegah Salsa memesan espresso keduanya.
            Jalanan kota terlihat lengang karena jam pulang kantor belum di mulai. Langsung saja Ochi melajukan motornya lebih kencang demi menghindari kemacetan. Sepanjang perjalanan Salsa hanya terdiam tak seperti biasanya.
            Gerbang kos Salsa masih tertutup rapat saat keduanya tiba. Ketika Ochi telah mematikan mesin motornya, Salsa tak kunjung turun dan masih berpegang erat pada jaket Ochi.
            “Sa, udah sampai nih. Ayo lekas turun.” Ochi mencoba bicara. Namun tetap tak ada jawaban. Ochi menggoyang-goyangkan motornya untuk membangunkan Salsa yang kemungkinan tengah tidur pulas. Namun di luar dugaan. Salsa terkuyung dan jatuh tergeletak di tanah. Dengan perasaan takut dan kaget Ochi segera memarkir motor dan mengguncang-guncang tubuh Salsa. Tak ada tanda-tanda Salsa bergerak. Ochi semakin gelisah. Di ambilnya handphone Salsa yang tergeletak di sampingnya dan menelepon Fifi. Tak lama kemudian gerbang kos Salsa terbuka. Seorang gadis yang sedang menempelkan handphone di telinganya muncul. Melihat Salsa tergeletak, Ia langsung panik dan segera mencari angkot yang lewat di depan kos untuk membawa Salsa ke klinik di ujung jalan. Tak terlalu jauh angkot telah berhenti di depan klinik dokter Ida.
            Fifi yang sedang panik menggedor-gedor pintu klinik. Sebenarnya sekarang bukan jam praktik. Tapi Fifi tak peduli, temannya butuh pertolongan dokter Ida sekarang juga. Lagipula Salsa pernah bilang dokter Ida adalah tantenya. Dokter Ida pasti mengerti.
            “Dokter..dokter, Salsa dokter.” Tak ada jawaban. Sekali lagi Fifi menggedor-gedor pintu.
            “Dokter..dokter, tolong Salsa dokter.” Kegelisahan Fifi hampir berlipat-lipat ketika seorang wanita muda membukakan pintu.
            “Ya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita muda itu.
            “Dokter Ida, tolong Salsa dokter.” Fifi yang tengah panik tak bisa berkata-kata dengan jelas.
            “Salsa? Kenapa Salsa? Ayo sini dibawa masuk.” dokter Ida setengah terbelalak dan mengambil stetoskop di dinding ruang praktiknya. Dokter Ida lalu memeriksa kondisi tubuh Salsa. Matanya, mulutnya, telinganya, denyut nadinya, dan yang terakhir tensi darahnya. Membaca tanda-tanda yang tak beres dengan Salsa, dokter Ida mengerutkan dahi.
            “Ada yang tau, tadi Salsa makan apa?”
            “Setahu saya, Salsa belum makan apapun dari pagi. Sebelum berangkat sekolah, Salsa hanya minum kopi. Tadi di sekolah juga hanya minum cappucino cincau, selebihnya saya tidak tau dokter.” Fifi menjelaskan. Ochi menepuk dahi menyadari bahwa Salsa pasti sedang terkena dampak kebiasaan anehnya. Ini tak bisa dibiarkan, Salsa harus berubah.
            “Pulang sekolah tadi Salsa menghabiskan satu cangkir espresso dokter. Sepertinya Salsa sudah kecanduan kopi.”Ochi menambahkan.
 Dokter Ida menghembuskan napasnya berat memandangi Salsa yang sedang tergeletak lemah.
            “Saya tidak mengira, kebiasaan Ibunya turun juga kepada Salsa.”
            Fifi dan Ochi berpandangan. Dalam otak mereka berkecamuk pikiran yang sama. Kebiasaan Salsa bukan maunya sendiri. Bagaimanapun Salsa harus sembuh.
            Sepulang dari klinik dokter Ida, Fifi mengawasi Salsa lebih ketat. Kepeduliannya kepada teman tak bisa hanya berdiam diri. Fifi menyita bubuk-bubuk kopi yang dimiliki Salsa. Tentu saja tidak semuanya. Fifi hanya menyisakan seperdelapan dari jumlah keseluruhan karena menyita semuanya hanya akan menyiksa Salsa. Salsa adalah pecandu kopi. Ia bisa saja pusing kalau tidak meminum kopi. Paling tidak kebiasaannya meminum 6-8 gelas kopi perhari bisa menjadi 1 gelas saja atau bahkan tidak meminum sama sekali. Target Fifi adalah membuat Salsa amnesia dengan kopi. Bagaimanapun, lambung Salsa sudah terlalu rapuh untuk terus-menerus disiram cairan “nyandu” itu.

            Untuk misi ini Fifi tidak bisa bekerja sendiri. Ia harus bekerja sama dengan Ochi, teman baru Salsa. Fifi khawatir Salsa dan Ochi akan sering hangout untuk menikmati kopi bersama.
            Usaha Fifi ternyata tak sia-sia. Dalam 1 minggu terakhir Salsa sudah tak pernah menyentuh kopi lagi. Tak mudah memang bagi Salsa. Tapi Salsa sendiri ingin sembuh. Ia juga tak ingin mengecewakan kedua sahabatnya yang mati-matian berusaha menjauhkannya dari kopi.
***
            Motor sport Ochi sudah sedari tadi terparkir di seberang jalan sekolah Salsa. Tak seperti biasanya, hingga sekolah sepi Salsa tak kunjung muncul. Padahal jelas-jelas Salsa yang memintanya untuk menjemput. Ochi masih bersabar dengan penantiannya. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.
            “Ochi ngapain di sini?” Sapa Fifi yang cukup membut Ochi terkejut dan melompat dari motor.
            “Eh kamu ngagetin aja. Biasalah Fi, nungguin Salsa. Tadi  dia minta jemput, tapi sampai sekarang belum juga muncul batang hidungnya.” Jelas Ochi.
            “Loh, Salsa udah pulang dari tadi tuh. Bel pulang berbunyi dia langsung pergi. Pas aku tanya kemana, dia bilang lagi kangen sesuatu. Aku kira dia pergi sama kamu.” Terang Fifi pada Ochi.
            “Tunggu Fi, kangen sesuatu? Jangan-jangan...” Ochi dan Fifi saling berpandangan. Sepertinya pikiran mereka sama.
            Langsung saja Ochi dan Fifi meluncur ke suatu tempat dimana kemungkinan besar Salsa berada. Benar saja, Salsa tengah berada di tempat yang beberapa waktu lalu menjadi rumah kedua baginya, Amaliah’s coffeshop. Salsa terlihat tengah berbincang santai dengan Amal, temannya yang tak lain adalah pemilik kedai kopi ini.
            “Hei Sa, kamu ternyata di sini. Ochi nungguin kamu di gerbang sekolah tadi.” Fifi langsung menyapa Salsa.
            “Eh iya, sorry lupa.” Jawabnya dengan cengirannya yang khas.
            “Jadi, lagi kangen Amal?” tanya Fifi penasaran
            “Eh bukan.” Salsa langsung membantah.
            “Tunggu Sa, kamu.....” Ucap Ochi dan Fifi bersamaan setelah melihat secangkir espresso di tangan Salsa.
*****


Oleh :

·        Dianah Salsabila                       (12)
·        Luthfiana Ratnawati                  (14)
·        Asmaul Hidayah                       (18)
·        M. Sochi Safiul Anam               (23)
·        Amaliah Nurlaili                        (26)